30 Mei 2012 ini, Seminari Menengah St. Petrus Canisius di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, genap berumur 100 tahun. Peringatan Pesta Seabad Seminari Mertoyudan akan digelar meriah dengan berbagai acara pada hari Sabtu, 2 Juni 2012.
Untuk menyambut hari bahagia ini, Sesawi.Net akan menurunkan beberapa artikel berkaitan dengan lembaga pendidikan calon imam di Keuskupan Agung Semarang yang boleh dikata merupakan seminari menengah pertama dan tertua di Indonesia.
Karena itu, Sesawi.Net ingin mengucapkan terima kasih atas paparan kilas balik sejarah Seminari Mertoyudan yang ditulis oleh Romo Fl. Hasto Rosariyanto SJ, doktor sejarah Gereja alumnus Universitas Gregoriana Roma yang kini Rektor Kolese St. Ignatius (Kolsani) Yogyakarta. Terima kasih juga kepada Panitia 100 Tahun Seminari Mertoyudan c.q. Mas Dwikoratno –alumnus Mertoyudan tahun 1980– yang telah memfasilitasi ketersediaan naskah berharga ini.
—————————————-
“Untuk membangun Gereja Katolik Indonesia, perlulah bahwa pengajaran agama diberikan oleh orang-orang pribumi (guru) dan pimpinan Gereja juga di tangan pimpinan pribumi (imam)”. Romo van Lith SJ
LAHIRNYA pendidikan calon imam di Indonesia pada awal abad XX membuka babak baru dalam perkembangan karya Misi Katolik di Indonesia. Pendidikan calon imam ini pun menjadi salah satu pintu utama dalam mendirikan Gereja Lokal yang berwajah khas Indonesia. Tujuan akhir dari seluruh Karya Misi Gereja Katolik adalah berdirinya Gereja Lokal. Salah satu strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut adalah mempersiapkan munculnya tenaga pastoral imam lokal (pribumi).
Munculnya pendidikan calon imam di Indonesia sebenarnya merupakan buah dan berkat strategi misioner visioner kontekstual dari misionaris Jesuit yang berkarya di Indonesia sejak akhir abad XIX. Pendidikan calon imam di Indonesia mulai terlahir dan tumbuh di tanah Jawa seiring dengan munculnya pendidikan formal bagi para anak pribumi demi mempersiapkan kader Gereja masa depan.Tanggapan proaktif yang muncul di antara para pemuda pribumi generasi pertama umat Katolik di Jawa juga merupakan faktor vital yang memungkinkan lahirnya pendidikan imam di Indonesia. Kerjasama unik antara para misionaris dan para pemuda pribumi ini menjadi bagian dari Penyelenggaraan Ilahi demi lahir dan berkembangnya iman Katolik di Indonesia.
Harus dicatat sejak awal bahwa berbicara tentang Lembaga Seminari berarti berbicara tentang sebuah lembaga “dengan dua sayap” sekaligus. Maksudnya, di satu sisi seminari adalah sebuah lembaga pendidikan dengan segala peraturan dan kaitan yang harus dihormati; di sisi lain seminari adalah juga tempat pembinaan calon imam dengan segala kurikulumnya yang khas. Dua sisi atau “dua sayap” inilah yang coba mau dipaparkan dalam uraian ini.
Bagian pertama akan dibicarakan Seminari Mertoyudan sebagai Lembaga Pendidikan; sementara bagian kedua akan bicara tentang Seminari Mertoyudan sebagai Tempat Pembinaan calon imam.
1.1 Seminari Menengah di Muntilan
Munculnya pendidikan calon imam di tanah Jawa ini dimulai ketika Kweekschool di Muntilan memberikan ijazah kepada 4 orang lulusannya pada tanggal 13 November 1911. Dari keempat lulusan ini, dua di antaranya berkehendak untuk menjadi imam. Niat itu disampaikan kepada Pater van Lith SJ dan Pater Mertens SJ. Permintaan kedua lulusan untuk diperkenankan menjadi imam ini akhirnya dipertimbangkan oleh kedua romo Yesuit ini..
Oleh karena kedua pater tersebut amat mengenal para pemuda didikannya dan juga sifat bangsanya, maka pertimbangan yang dibuat tidak terlalu lama dan segera dikabulkan. Meski demikian, Uskup Vikariat Apostolik Batavia saat itu yakni Mgr. E. Luypen tidak segera bersedia menyetujui dibukanya pendidikan calon imam di tanah Misi Jawa. Alasan beliau: para pemuda yang menghendaki dididik sebagai calon imam pribumi ini merupakan generasi pertama umat Katolik di Jawa. Meskipun tidak mendapatkan dukungan, Pater van Lith SJ dan Pater Mertens SJ tetap melaksanakan pendidikan awal bagi kedua pemuda pribumi tersebut, karena keduanya yakin akan muncul benih panggilan imamat di antara para muridnya.
Sejak tanggal 13 November 1911 tersebut, dimulailah pendidikan calon imam pertama di Jawa dan itu berlangsung di Kolese Xaverius Muntilan dengan seminaris pertama berjumlah dua orang: FX.Satiman dan Petrus Darmaseputra. Kurikulum pendidikan yang diberikan kepada kedua seminaris ini pun masih sangat sederhana. Pada siang hari, kedua calon imam ini membantu mengajar bahasa Melayu dan bahasa Jawa di Kolese Xaverius, sementara pada sore hari mereka mendapatkan pelajaran bahasa Latin dan Yunani. Harapannya, setelah mendapatkan pelajaran yang cukup tentang bahasa Latin dan bahasa Yunani, kedua calon ini akan dikirim ke seminari di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan seminari pada umumnya.
Pada tanggal 30 Mei 1912, Pater Jenderal Jesuit F. Wernz menyetujui usaha pembukaan seminari oleh Pater van Lith SJ dan Pater Mertens SJ di Muntilan. Sejak saat itulah, secara resmi pendidikan calon imam pribumi pertama di Indonesia yang dimulai dari Muntilan ini berdiri.
Pada tahun 1912 tidak ada lulusan Kweekschool Muntilan yang hendak melanjutkan sebagai calon imam, namun tahun 1913 dan tahun-tahun berikutnya muncul kembali lulusan yang menyatakan diri untuk dididik sebagai calon imam. Seminari di Muntilan masih menumpang di Kolese Xaverius dan semua seminarisnya merupakan tamatan Kweekschool Xaverius Muntilan. Dengan sendirinya, karya pendidikan para calon guru yang dirintis oleh Pater van Lith SJ dan Pater Mertens SJ juga berkembang menjadi pendidikan calon imam pribumi.
Pada tahun 1913, terdapat seorang lulusan Xaverius Muntilan yang hendak menjadi imam dan masuk seminari Muntilan; selanjutnya pada tahun 1914 masuk lagi sejumlah 3 seminaris. Agaknya pendidikan seminari di Muntilan pada tahun-tahun awal belum tertata dengan baik, sehingga pada tahun 1916 dikirim kembali 4 seminaris dari Muntilan untuk melanjutkan pendidikan ke Uden, di sebuah college para Pater Salib Suci (OSC). Mereka adalah Adrianus Djajasepoetra (kelas menjadi Uskup Agung Jakarta), Aloysius Prawirapratama, Linus Sardal, dan Athanasius Djajengutama.
Pada tahun 1918, pendidikan di seminari Muntilan mulai tertata ketika dua orang pemuda pribumi tamatan Normaalschool masuk seminari. Kedua seminaris ini harus menjalani kelas BC (by course) terlebih dahulu untuk memperdalam bahasa Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, seminari di Muntilan mulai mengalami berbagai macam pembenahan dalam kurikulum pendidikannya.
Ketika Mgr. Luypen digantikan oleh Mgr. A. van Velsen (1924-1933) sebagai Vikaris Apostolik Batavia, pendidikan calon imam pribumi mulai lebih mendapatkan perhatian. Salah satu keputusan yang muncul berkaitan dengan pendidikan calon imam adalah didirikannya Seminari Kecil St. Petrus Canisius di Yogyakarta pada bulan Mei 1925. Pendidikan calon imam pribumi yang semula menjadi tanggung jawab penuh Jesuit mulai saat itu menjadi tanggung jawab Vikariat Apostolik Batavia.
Meski seminari kecil di Yogyakarta telah didirikan, namun seminari menengah di Muntilan masih tetap berlangsung hingga akhirnya bergabung pada tahun 1927. Pada awal berdirinya, seminari kecil Yogyakarta menerima juga para pemuda yang baru tamat Hollands-Inlandse School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS)-semacam sekolah dasar. Sementara itu, Seminari Muntilan tetap menerima seminaris lulusan Normaalschool, Kweekschool dan MULO (semacam Sekolah Menengah Pertama).
Pada tahun 1924, seminari Muntilan mendidik 11 orang seminaris dengan empat kelas. Semua seminaris merupakan lulusan sekolah lanjutan atas atau MULO, dan semuanya adalah pemuda pribumi Indonesia. Mulai pada tahun 1924 ini, Seminari Muntilan mulai menerima seminaris berkebangsaan Eropa. Pembenahan pendidikan terjadi lagi ketika pada tahun 1925, Seminari Muntilan mulai menerima murid-murid tamatan sekolah rendah. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan didirikannya seminari kecil di Yogyakarta.
Pada tanggal 1 Mei 1927, Mgr. van Velsen meletakkan batu pertama untuk gedung baru yang akan digunakan oleh seminari menengah. Tanggal 20 Desember 1927, Seminari Yogyakarta diberkati dan diresmikan oleh Mgr. van Velsen. Pada tahun itu pula, Pater FX Strater SJ, rektor Seminari Muntilan, memindahkan seminaris dari Muntilan ke Yogyakarta. Mereka menempati gedung yang belum seluruhnya selesai dibangun itu.
Seminari Yogyakarta ini merupakan seminari pertama di Indonesia sehingga seminarisnya pun berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia: Padang, Manado, Pulai Kei, dsb. Seminari kecil akhirnya disatukan ke Yogyakarta dengan nama Seminari Menengah St. Petrus Canisius dan menjadi tanggung jawab penuh Vikariat Apostolik Batavia. (Bersambung)
Kredit Foto : Buku Kenangan Pesta Peringatan 100 Tahun Seminari Mertoyudan
- 100 Tahun Seminari Menengah Mertoyudan: Bertempat di Yogyakarta Kurun Periode Vikariat Apostolik Batavia (2)
- Periode Vikariat Apostolik Semarang: Seminari Menengah St. Petrus Canisius di Mertoyudan (3)
- Periode Vikariat Apostolik Semarang: Seminari Menengah St. Petrus Canisius in Diaspora (4)
- Seminari Mertoyudan pada Kurun Perubahan Pasca Konsili Vatikan II (6)
- Misa Akbar Pesta 100 Tahun Seminari Mertoyudan: Undangan Terbuka untuk Para Romo Alumni dan Non Alumni
[…] 100 Tahun Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan: Pioner Pembinaan Imam Pribumi (1) […]
[…] 100 Tahun Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan: Pioner Pembinaan Imam Pribumi (1) […]
mau tanya pingin tahu riwayat singkat santo floribertus terima kasih