LUKISAN Kardinal Darmojuwono di sebuah gereja di Roma itu langsung mengingatkan kami akan pemikiran-pemikiran visioner Kardinal Darmojuwono dalam mengembangkan Gereja Lokal KAS dan Gereja Katolik Indonesia.
Selama empat tahun kurun waktu 2012-2016, saya mendapat pengutusan pertama sebagai imam baru untuk berkarya pastoral di Paroki yang didirikan oleh Kardinal Darmojuwono, setelah ia mengundurkan diri dari Uskup Agung Semarang tahun 1981.
Namanya Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik, Semarang.
Di paroki yang kecil itu di garis batas antara Semarang Selatan dan Ungaran di Jateng ini, Kardinal Darmojuwono mengisi masa pensiunnya sebagai pastor paroki sederhana selama sekitar 13 tahun sampai wafatnya 3 Februari 1994.
Sampai sekarang masih banyak saksi hidup atau umat yang mempunyai kesan dan kenangan istimewa terhadap Kardinal Darmojuwono selama menjadi pastor di paroki itu.
Maka, saat merayakan 100 tahun kelahirannya, bekerja sama dengan Penerbit Kanisius diterbitkanlah sebuah buku berjudul “Jangan Mengejar Harta, Kejarlah Surga -Masa Senja Kardinal Darmojuwono.
Buku itu berisi aneka keutamaan dan kesaksian umat akan sosok Kardinal Darmojuwono pasca pensiun sebagai Uskup Agung Semarang.
Gereja yang tangguh
Sebagai bentuk nyata untuk mengembangkan Gereja yang lebih tangguh, mandiri dan misioner, Bapak Kardinal Darmojuwono menekankan pelaksanaan prinsip desentralisasi dan subsidiaritas dalam Gereja KAS.
Pembagian wilayah Keuskupan menjadi empat Kevikepan yang ditopang oleh keterlibatan umat paroki-paroki dan wilayah-wilayah menjadi jalan untuk menumbuhkan keterlibatan umat dalam kehidupan Gereja.
Dengan demikian, Gereja benar-benar mengakar dalam masyarakat setempat.
Pada tanggal 7 Oktober 1966, Bapak Kardinal membagi wilayah KAS ke dalam 3 Kevikepan, yaitu: Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta.
Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1967 ditetapkan adanya Kevikepan Kedu.
Setiap Kevikepan dipimpin oleh seorang Vikaris Episkopalis (Vikep) sebagai Wakil Uskup di masing-masing wilayahnya.
Dengan dibentuknya kevikepan-kevikepan ini, banyak hal dipermudah dan menjadi lebih efektif, seperti: pertemuan para imam, kunjungan Bapak Uskup, penataran dan lokakarya, serta pertemuan antara Kuria Keuskupan (Uskup, Vikjen, Sekretaris, dan Ekonom).
Untuk kepentingan membangun Gereja Lokal yang mandiri, Bapak Kardinal Darmojuwono memberi perhatian besar terhadap perkembangan jumlah panggilan imam, religius, dan rasul-rasul awam.
Selama Kardinal Darmojuwono menjadi Uskup Agung Semarang, jumlah imam yang ditahbiskan mencapai 188 orang:
- 53 imam diosesan
- 93 imam SJ
- 35 imam MSF.
- 3 imam OCSO.
- 3 imam O.Carm
- 1 imam SCJ.
Seminari Tahun Rohani untuk “Ngunjal ambegan”
Untuk meningkatkan kualitas imam-imam diosesan, Bapak Kardinal Darmojuwono memprakarsai berdirinya Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) Sanjaya di Jl. Jangli No. 2 Semarang bagi calon-calon imam diosesan KAS.
Seminari TOR ini diresmikan oleh Bapak Kardinal Darmojuwono pada tanggal 3 Juli 1981 ini, bertepatan dengan diterimanya pengunduran dirinya sebagai Uskup Agung Semarang. Pembinaan yang semakin bermutu diharapkan membentuk imam-imam diosesan yang semakin tangguh.
Seminari yang merupakan bagian dari Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan ini dibangun sebagai tempat untuk ‘ngunjal ambegan’ (menghela nafas sesaat) bagi para seminaris sebelum memasuki Seminari Tinggi.
Setelah dilihat betapa ketatnya program dan tuntutan belajar di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi, Kardinal Darmojuwono berkeyakinan bahwa perlu waktu bagi para seminaris untuk bisa ‘menghela nafas sesaat’.
Durasi masa formatio di Seminari TOR selama satu tahun.
Selama setahun para seminaris atau frater diajak untuk mengarahkan perhatian pada Dia yang memanggil mereka dengan olah rohani dan kepribadian. Selain itu juga mengajak para frater untuk lebih memahami jalan panggilan menjadi imam diosesan KAS.
Untuk menciptakan suasana rohani atau devosi pada Bunda Maria, dibangunlah Taman Doa Maria Fatima, yang disponsori oleh awam dari Kota Kudus. Taman doa ini diresmikan oleh Bapak Kardinal Darmojuwono pada tanggal 8 Juli 1982.
Dan sejak itu diadakan Misa Novena Maria Fatima yang dihadiri oleh umat sekitar Semarang setiap tanggal 13 dari bulan Februari sampai Oktober sampai sekarang.
Menurut Mgr. Julianus Sunarka SJ yang pernah menjadi Ekonom Keuskupan Agung Semarang, kebijakan untuk mendirikan Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) Sanjaya tersebut didasari oleh keprihatinan sehubungan dengan pendidikan rohani, jati diri dan spiritualitas imam diosesan.
Diungkapkannya sebagai berikut: “Rama Justinus Kardinal Darmojuwono mempunyai keprihatinan besar dalam menanggapi arahan Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Imam sehubungan dengan pendidikan rohani. Beliau merasa bahwa pendidikan rohani untuk para seminaris sampai saat itu belum memadai. Perlu dirintis suatu langkah lain. Harus ada waktu khusus dalam jenjang pendidikan imam.”
Lebih lanjut diungkapkan,”Masalah yang juga menjadi keprihatinan Rama Kardinal Darmojuwono adalah tentang jatidiri dan spiritualitas imam diosesan.
Pada saat itu, hal ini hangat dibicarakan di kalangan para Uskup di seluruh Indonesia. Banyak Uskup yang tidak memahami dan mempersoalkan keberadaan imam diosesan. Situasi ini mendorong Rama Justinus Kardinal Darmojuwono untuk mewujudkan Seminari TOR”.
Kebijakan Kardinal Darmojuwono untuk mendirikan Seminari TOR merupakan suatu langkah strategis dan berani dalam pendidikan calon imam diosesan di KAS.
Langkah ini diambil tidak hanya sebagai usaha untuk memecahkan permasalahan yang ada, tetapi juga sebagai landasan dan dasar untuk menatap masa depan berhadapan dengan perkembangan dunia modern dan menghadapi tantangan hidup menggereja di KAS.
Singkatnya, Seminari TOR yang ditempatkan di antara jenjang pendidikan Seminari Menengah dan Seminari Tinggi ini mempersiapkan para calon imam secara intensif, sehingga mereka mempunyai kepribadian yang matang, kehidupan rohani yang mendalam dan kuat, serta motivasi yang benar untuk menjadi imam diosesan.
Bersolider
Solidaritas di kalangan umat digerakkan dengan prinsip bahwa tidak ada umat yang terlalu lemah, sehingga tidak bisa berperan dan memberi sumbangan bagi Gereja.
Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) mulai digalakkan untuk membangun solidaritas dan kemandirian umat.
Semangatnya ”sithik ora ditampik, akeh tansaya pekoleh” yang artinya memberi dana sedikit pun diterimanya, apalagi memberi dana yang banyak akan sangat bermanfaat.
Dalam Sidang MAWI –kini bernama KWI– di Klaten pada bulan Oktober 1968, diputuskan agar setiap tahun, masing-masing keuskupan mengadakan kegiatan aksi puasa pada Masa Prapaskah.
Maka, sejak Prapaskah tahun 1969, Keuskupan Agung Semarang mulai menyelenggarakan Aksi Puasa.
Umat diajak untuk mengumpulkan uang yang hasilnya tidak dipakai untuk kepentingan Gereja sendiri, tetapi untuk kepentingan umum atau masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan praktis terkait dengan pelayanan kepada umat, Bapak Kardinal Darmojuwono mengangkat beberapa Diakon Awam yang kini disebut Prodiakon atau pelayan luar biasa yang ikut membagi komuni suci di masing-masing paroki.
Mereka diberi tugas pokok untuk membantu pelayanan para imam dalam membagikan komuni dalam Perayaan Ekaristi dan mengirim komuni kepada orang sakit.
Bila tidak ada imam, mereka juga diberi wewenang untuk memimpin Ibadat Sabda. Dari data Sekretariat KAS, tercatat sudah ada 1.216 Surat Pengangkatan diakon awam di seluruh paroki KAS sampai pada tahun 1981.
Dalam konteks yang lebih luas, solidaritas Gereja KAS tampak dalam pengiriman para imam diosesan KAS untuk menjadi misionaris domestik di berbagai keuskupan sejak tahun 1970 seperti di:
- Keuskupan Ketapang.
- Keuskupan Agung Pontianak.
- Keuskupan Malang di mana para imam misionaris KAS ini ikut merintis berdirinya Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII di Malang,
- Keuskupan Agung Medan dan berkarya di Seminari Tinggi Santo Petrus di Sinaksak, Pematangsiantar.
- Berbagai keuskupan di Flores di mana para imam diosesan KAS itu antara lain ikut mengampu karya pendidikan calon imam di Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Flores, dsb.
Gerakan solidaritas ini juga ditanamkan Bapak Kardinal Darmojuwono dalam diri para imam diosesan yang tergabung dalam UNIO KAS kepada para calon imam yang sedang dididik di seminari.
Caranya dengan memberikan sumbangan dana untuk pendidikan seminari dan menyediakan pastoran untuk para frater saat liburan seminari.
Lukisan Kardinal Justinus Darmojuwono di Chiesa Santissimi nomi di Gesù e Maria, Roma, Italia, mampu menghadirkan kembali kenangan-kenangan indah akan sosok gembala dan pemikiran visioner dari Kardinal Darmojuwono.
Dan itu terekam kuat pada sosok almarhum yang sangat peduli pada pendidikan calon imam, semangat berbagi dan solider, memberdayakan kaum awam dalam kehidupan Gereja, dsb, bagi kami para imam Diosesan Semarang yang sedang studi di Roma ini.
Hal ini sekaligus memberikan tantangan bagi kami untuk meneruskan pemikiran-pemikiran Kardinal Darmojuwono dalam mengembangkan Gereja KAS secara khusus dan GerejaIndonesia pada umumnya pada zaman now.
Dirgahayu Gereja KAS.