PENGELOLAAN limbah medis di Rumah Sakit (RS), baik limbah padat ataupun cair, sudah diatur secara ketat. Namun demikian, masyarakat sekitar RS di DIY masih sering merasa cemas, berkeberatan dan terganggu, bahkan menuntut secara berlebihan.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis, yang harus sesegera mungkin diolah setelah dihasilkan, sedangkan penyimpanan menjadi pilihan terakhir, hanya jika limbah tidak dapat langsung diolah.
Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan RS dari pencemaran limbah yang dihasilkannya, maka RS harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri, yang ditetapkan melalui KepMenKes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan RS.
Pertama berupa Fasilitas Pengelolaan Limbah padat, yaitu setiap RS harus melakukan reduksi limbah, dimulai dari sumbernya dan harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun (B3).
Selain itu, setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis di RS, mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan, harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang. Kedua berupa Fasilitas Pengolahan Limbah Cair, karena limbah cair harus dikumpulkan dalam container, yang sesuai dengan karakteristik kimia, radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya.
RS harus memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri, sebelum akhirnya dialirkan ke tempat lain sesuai ketentuan.
Selain itu, Permenkes Nomer 7 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Lingkungan RS, pada pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa, penyelenggaraan RS ramah lingkungan antara lain meliputi pengembangan tapak atau lahan RS, penghematan energi listrik, juga penghematan dan konservasi air.
Selain itu, pengaturan tentang limbah medis cair dan konservasi air, juga dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah, yang mengatur secara cukup rinci.
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah, saat akan dibuang atau dilepas ke dalam media air, misalnya sungai atau riol dari suatu usaha dan atau kegiatan, termasuk RS.
Riol (riool) kota adalah jaringan saluran pembuangan air kotor di dalam kota, yang menghubungkan saluran riol gedung dengan unit pengolahan air kotor di dalam kota. Oleh karena di Indonesia sistem pengaliran air kotor dengan sistem pengaliran air hujan terpisah, maka fungsi riol kota hanya untuk mengalirkan air kotor atau limbah cair dari rumah tangga dan juga dari RS.
Bupati atau walikota setempat dalam menerbitkan izin pembuangan air limbah ke sumber air, wajib menggunakan baku mutu lebih ketat, yang diperoleh dari hasil kajian dokumen lingkungan atau kajian pembuangan air limbah ke sumber air.
Beberapa parameter limbah cair RS sebelum dialirkan ke sungai harus dipenuhi, termasuk parameter fisika yang meliputi suhu air dan kandungan zat padat terlarut ataupun tersuspensi.
Parameter kimia meliputi pH, minyak lemak, dan amonia nitrogen. Juga parameter mineral meliputi besi, mangan, barium, tembaga, seng, krom, merkuri, timbal, stanum, arsen, selenium, nikel, kobal, sianida, sulfida, fluorida, klorin, amoniak, nitrat, nitrit dan fenol, semuanya harus di bawah ambang batas aman.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah DIY Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah, meliputi air limbah yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu industri, pelayanan kesehatan dan jasa pariwisata.
Untuk air limbah dari pelayanan kesehatan atau RS, tidak hanya berlaku ketentuan parameter fisika dan kimia saja. Namun demikian, juga dipersyaratkan para meter mikrobiologi, yaitu kandungan bakteri Coliform maksimal 5.000 MPN/100 ml, sedangkan bakteri patogen lainnya, yaitu Salmonela, Shigela, Vibrio Cholera, dan Streptococus harus negatif.
Debit limbah cair yang diijinkan dibuang ke sungai atau riol paling banyak tergantung dari tipe RS, yaitu tipe A 600, B dan C 500, sedangkan D dan RS khusus maksimal 450 liter/bed/hari.
Saat ini permasalahan pelik yang dihadapi oleh banyak RS di DIY terakit pengolahan limbah, pada dasarnya bersifat administratif terkait dengan dokumen lingkungan, izin lingkungan, dan persyaratan lainnya.
Misalnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan, dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL dan UPL) RS tidak mencakup kegiatan Pengolahan Limbah B3.
Mungkin saja RS telah memiliki dokumen Amdal dan UKL/UPL, tetapi tidak memiliki izin lingkungan, juga perbedaan persepsi kewenangan penilaian AMDAL antara Dinas Provinsi DIY dan Kabuapten atau Kota, sehingga ada beberapa Dinas Kabupaten atau Kota yang tidak mengeluarkan izin lingkungan.
Sedangkan untuk masalah pada persyaratan lainnya, misalnya lokasi RS berdekatan dengan fasilitas pendidikan, berada di daeah lembah, atau RS tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk lokasi insinerator.
Ketatnya pengaturan limbah medis cair dari RS, tentu saja menuntut investasi yang cukup besar, yang sangat mungkin memberatkan RS kecil.
Dengan demikian kecemasan masyarakat di sekitar RS akan bahaya limbah cair dari RS dan kendala administratif perijinan lingkungan, perlu mendapatkan terobosan yang cepat, adil, dan terjangkau bagi semua pihak.
Sudahkah kita bertindak bijak?