In Memoriam Pastor Frangky Rengkung MSC (36 th): Eulogi untuk Sang Penulis Produktif (4)

0
1,509 views
RIP Pastor Frangky "Eki" Rengkung MSC. (Dok MSC/Sesawi.Net)

MASIHkuingat saat pertama bertemu denganmu di refter rumah Provinsialat MSC yang terletak di seberang Gereja Bunda Hati Kudus Kemakmuran, Jakarta Pusat. Itu terjadi di bulan Mei 2016. Saat itu, pas ulang tahun Pastor Yance Mangkey MSC dan saat cikal bakal Komunitas Kawanua Katolik membentuk sel hidup yang akan lahir (dideklarasikan) pada beberapa bulan kemudian, yakni Agustus, tepatnya tanggal 26.

Ya, pada saat itu ada rapat perdana formatur yang keputusan utamanya adalah pembentukan tim kepanitiaan. Dibentuk untuk sebuah acara bersama guna mengumpulkan umat Katolik yang berasal dari tanah Minahasa khususnya. Kebetulan saya yang ditunjuk oleh rapat menjadi ketua panitia.

Saat itu, saya kaget melihat wajahmu pucat dengan bibir membiru dengan tatapan sendu, apalagi balutan kasa putih di lenganmu yang merah kebiruan, namun tetap nampak ramah, halus, penuh kerendahhatian. Sekilas memahami keadaanmu, walau hanya sedikit bercerita, itu cukup membuatku segera sadar bahwa engkau sedang dalam proses awal menjalani tindakan medis bagi pasien gagal ginjal: cuci darah.

Duh sungguh tak bisa berkata apa pun, selain hanya berusaha diam dan coba memahami sebisanya saya yang jauh lebih tua darimu. Saat itu saya baru tahu, engkau ternyata pernah bertahan pelayanan diakonal di paroki asal saya di pinggiran danau Tondano Minahasa.

Sebelumnya saya sudah mendengarkan beberapa cerita tentangmu yang begitu membaur bersama umat tak terkecuali kaum mudanya yang penuh semangat di Paroki Tataaran, tempat kelahiran Mgr. Petrus Turang, Uskup Agung Kupang.

Pengenalan saya tentangmu masih terbatas dan hanya dari orang lain yang kau layani. Sudah termasuk di dalamnya juga cerita dari dosenmu, Romo Albertus Sujoko MSC, melalui kata pengantar buku berjudul Iman Harapan Kasih Kristiani (Cahaya Pineleng, Jakarta: 2016). Kebetulan saya terlibat dalam rangka publikasi buku yang ditulis oleh frater-frater mayor atau pasca sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng itu.

Salah satu tulisan yang menonjol yang menarik perhatian saya adalah bab “Teologi Pengharapan menurut Jurgen Moltmann” yang ditulis oleh Fr. Franky Rengkung MSC, SFil. Begitu namamu ditulis dalam buku itu. Bahasanya enak dan dikupas secara sangat memadai dan cukup lengkap walau hanya dalam beberapa halaman. Tidak heran, penugasanmu sebagai neomis adalah di dunia media penerbitan, dunia tulis menulis dan publikasi: Percikan Hati.

Proses penerbitan itu sendiri tak luput dari beberapa keahlian teknis yang ternyata engkau kuasai dan menjadi bagian pekerjaanmu juga, mulai dari pengadaan naskah, proses editting, proses proof reading, layoutting desain isi dan cover.

Hal ini saya tahu dari buku terakhir, Batalion R Djin Kasuang, Biografi Ronny Senduk (Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018), yang kebetulan saya juga terlibat langsung di dalamnya sebagai penerbit.

Kecuali desain cover, semua proses penerbitan, dikerjakan sendiri olehmu. Suatu penguasaan yang jarang dimiliki oleh para pekerja di dunia media penerbitan. Mungkin saja karena kekurangan orang di tempat kau ditugaskan sehingga kau berusaha mempelajari semua keterampilan teknis itu yang di dunia profesional biasanya dikerjakan oleh masing-masing orang sesuai spesialisasinya.

Setahu saya naskah biografi ini sudah engkau garap sejak masih bertugas diakonal di Paroki St. Antonius Padua Tataaran. Masih sebagai frater diakon. Naskah yang ditulis seorang tokoh masyarakat warga Protestan, tapi tetap menarik perhatianmu sebagai seorang gembala Roma Katolik.

Sudah barang tentu ada nilai yang kau lihat dan hendak angkat dalam naskah Biografi tersebut. Bukan sekedar melengkapi dua bukumu, yakni Permesta: Mata-Mata, Alrev, dan CTP (2015) dan Kisah Permesta: Sambar Nyawa (2016) yang diterbitkan oleh Percikan Hati, Pineleng. Bukan juga sekedar nilai dokumenter sejarah, namun juga pedagogis, dan nilai-nilai tauladan lainnya yang bisa diwariskan bagi generasi selanjutnya.

Kau ramu naskah tersebut sedemikian rupa agar menarik dibaca. Kau perkaya dan lengkapi dengan sumber-sumber referensi untuk memberi bobot serta perspektif yang komprehensif, juga dengan melalui pendalaman wawancara dengan sang biograf bahkan sampai meninggalnya, lalu lanjut dengan anaknya, juga dengan beberapa tokoh saksi kau wawancarai, baik di Minahasa maupun di Jakarta.

Ya, pas kau sudah mulai mengolah naskah ini di tanah Minahasa, masih sebagai calon pastor, pas berada di wilayah gerilya tokoh utama dan batalyonnya, antara pegunungan Masarang dan Tampusu, Danau Tondano dan Danau Linau, serta kampung-kampung di dalamnya: Tataaran 1, 2, Koya, Pangolombian, Tampusu, dan Tonsaru.

Dan tulisan ini kau akhiri di Jakarta, April 2018 (tahun terbit), dan engkau sudah sebagai imam, tapi dengan beban yang semakin berat karena sakit penyakit yang tak terhindarkan. Ya sudah sebagai imam, dan masih imam. Lebih tegas lagi sebagaimana menjadi judul bukumu yang ketiga Sekali Imam, Tetap Imam (Percikan Hati, Pineleng 2015).

Dan buku ini adalah buku kelima yang engkau kerjakan sampai publikasi, bahkan kau bagikan, dan mendapatkan sedikit imbalan dari para pembeli yang menghargai sebuah karya tulis.

Buku ini menjadi saksi akhir dari perjuanganmu dengan menanggung derita sakit penyakit karena gagal ginjal. Namun dalam pengharapan iman yang teguh, saya yakin Pastor Eky sudah menyelesaikan pertandingan dengan penuh kemenangan, tiada kesia-siaan perjuanganmu apalagi sebagai imam baik dan setia. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here