ALMARHUM Paul Widyawan (74) plus Romo Karl-Edmund Prier dan Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta adalah dua sisi dalam satu keeping mata uang.
Paul Widyawan dan Prier adalah PML Yogyakarta dan PML Yogyakarta takkan mungkin lahir, kalau kedua manusia itu tidak bersinergi “melampiaskan” talenta khusus mereka di bidang musik dalam wujudnya yang kini kita kenal sebagai musik dan lagu-lagu liturgi.
Inkulturasi iman melalui musik liturgi
Musik dan lagu-lagu liturgi besutan kedua maetro di balik layar altar misa itu juga tidak akan mendapat hati di semua orang Katolik Indonesia, kalau keduanya tidak meretasnya dalam buku madah pujian Madah Bakti yang selalu kita bawa setiap kali mengikuti Perayaan Ekaristi.
Lalu, kiprah mereka mengaransemen dan menciptakan lagu-lagu liturgi yang bercitarasa “sangat Indonesia” itu juga tidak akan sepopuler di Indonesia, kalau mereka hanya berdiam diri di “bengkel musik” PML Yogyakarta.
Ternyata, mereka bukan orang yang hanya suka “bekerja di balik layar”. Melainkan, bersama Romo Prier SJ itulah, almarhum Paul Widyawan juga rajin menyambangi seluruh kawasan di Indonesia.
Dari mereka inilah, lalu lahir program-program lokakarya musik dan lagu-lagu liturgi. Tujuannya antara lain guna mendukung para pemusik lokal dan pencipta lagu setempat agar bisa berkreasi memanfaatkan kekayaan budaya lokal mereka di bidang musik untuk sebuah tujuan luhur.
Namanya adalah inkulturasi iman di bidang musik dan lagu-lagu liturgi.
Vocalista Sonora
Tuhan ternyata tidak hanya memberi almarhum Paul Widyawan bakat untuk mengaransemen dan mencipta lagu dan musik liturgi semata. Ia juga dikarunia talenta luar biasa menjadi seorang konduktor grup musik dan penyanyi.
Dan yang lebih nges lagi, tentu saja kepiawaiannya menjadi “sutradara” di balik teater drama musik dan nyanyian berlabel Vocalista Sonora atau Vocason.
Sudah pada tahun 1975-an, Vocason mampu memukau penonton ketika mereka menggelar pentas drama musik dan nyanyi itu di depan altar Gereja St. Maria Bunda Kristus Paroki Wedi di selatan Klaten, Jateng.
Pentas di Wedi, Klaten, waktu itu tampaknya menjadi semacam “gladi resik” bagi kelompok Vocason sebelum grup teater musik yang dikomandoi almarhum Paul Widyawan ini pergi naik pentas keliling Eropa.
Dan pentas-pentas semacam ini terjadi di mana-mana. Sebelum bertolak membawa puluhan para penyanyi dan seperangkat alat musik khas Indonesia, Vocason biasanya mempertontonkan kebolehannya meramu seni musik dan menyanyi plus “main teater” dalam satu paket bersama di atas panggung pentas.
Berjaya di Eropa
Itulah kelebihan Vocalita Sonora alias Vocason yang barangkali tidak pernah tertandingi oleh grup-grup musik dan penyanyi berskala besar –lantaran jumlahnya peserta naik panggung itu lumayan banyak— pada zamannya. Andaikata pada zaman itu sudah ada “amplifier” bernama gadget HP Android, maka ketenaran Vocason besutan Paul Widyawan bersama Romo Prier SJ akan lebih bisa bergaung lebih “mendunia” lagi.
Namun tanpa itu pun, Vocason sudah sangat terkenal di belahan dunia Eropa. Sudah banyak kali dan selalu membawa anggota rombongan berbeda, Vocason selalu berhasil merebut hati para penonton Eropa.
Yang menjadikan Vocason jadi bergengsi di Eropa tentu bukan saja karena berhasil mengaransemen lagu dan”main teater” bercitarasa musik. Lebih dari itu, Vocason juga berjaya karena memadukan seni-seni tradisi lokal khas Indonesia dan kemudian menyajikannya secara apik di atas panggung.
Yang dibuat almarhum Paul Widyawan tidak hanya sekedar membawa orang pintar menyanyi dengan kualitas suara bagus. Tetapi juga, para penyanyi di panggung “teater musik” itu dilatih memperkenalkan kekayaan budaya tradisi khas Indonesia yang sangat beragam dan kemudian menyajikannya secara memukau di atas panggung pentas teater musik.
Dengan demikian, almarhum Paul Widyawan tidak hanya berjaya di panggung altar Gereja Katolik Indonesia melalui buku Madah Bakti di mana dia hanya bisa berdiri “di balik layar” semata. Namun di atas panggung pentas teater musik, Paul Widyawan benar-benar menjadi seorang maestro.
Bukan saja Paul Widyawan selalu mampu memukau penonton dalam perannya sebagai konduktor (dirigen) kelompok paduan suara. Tapi, almarhum juga seorang maestro promosi kekayaan budaya khas Indonesia ke pentas nasional dan internasional.
Semangat rendah hati
Tidak banyak orang Indonesia mengerjakan hal ini dengan semangat “rendah hati” seperti duet Romo Prier SJ dan almarhum Paul Widyawan.
Kalau saja masa-masa ketenaran mereka itu oleh “amplifier” bernama gadget HP Android lalu digaungkan kemana-mana melalui alat komunikasi nirkabel ini, bisa saja Paul Widyawan sudah menyabet banyak bintang penghargaan dan milyaran konten komentar di jagad medsos.
Paul Widyawan meninggal dunia di RS Panti Rapih Yogyakarta hari Sabtu dinihari tanggal 10 Agustus 2019 dalam usia 94 tahun.
Jasadnya akan hilang ditelan zaman.
Namun, karya-karyanya akan abadi dikenang oleh ratusan anggota Vocalista Sonora yang pernah dibawanya keliling Eropa guna mengharumkan kekayaaan tradisi kultural bangsa Indonesia dan gerakan inkulturasi iman melalui musik liturgi khas Gereja Katolik Indonesia.
Requiescat in pace et vivat ad aeternam. (Berlanjut)
Selamat Jalan maestro musik liturgi inkulturasi gereja Katolik Indonesia. Kami mengenang dan mendoakamu. Semoga karyamu abadi seabadi jiwamu dalam kehidupan kekal bersama dalam surga Kritis Penebus yang engkau muliakan lewat nyanyian-nyanyian liturgismu. Selamat Jalan….selamat jalan. Ya Tuhan Bapa surgawi teeimalah dia.