In Memoriam Romo FX Wiyono Pr, Gencar Kenalkan Budaya Jawa pada Anak-anak (3)

1
1,407 views
Imam Diosesan KAS sekaligus dalang Wayang Wahyu: almarhum Romo FX Wiyono (1942-2019) by Romo Augustinus Handi Setyanto Pr

Pengantar Redaksi

BULAN Juni 2013, di media bulanan untuk Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang yakni Majalah Salam Damai, kami mengangkat tema tentang pewartaan iman melalui budaya. Dalam kulit depan di majalah produksi KAS itu tersajikan laporan utama tentang sosok dan kiprah Rama FX Wiyono Pr.

Sejak lama Romo FX Wiyono Prdikenal sebagai “Romo dalang” Wayang Wahyu. Ia mewartakan iman Katolik melalui media budaya, secara khusus pagelaran Wayang Wahyu dan melatih menabuh gamelan (karawitan).

Sebagai ungkapan in loving memory, berikut dibagikan tulisan tentang sosok dan kiprah almarhum Romo  FX Wiyon Pr yang pernah dimuat di Majalah Salam Damai edisi Juni 2013.

Tulisan ini disusun oleh penulis,  Romo Y. Gunawan Pr bersama Agung.

Romo Wiyono, sugeng tindak. Selamat jalan bergabung dengan para kudus dan para malaikat di surga memuji Allah. Doakanlah kami yang masih berziarah di dunia ini.

 ————-

Usia boleh tua, tetapi semangat tetap muda. Inilah yang menjadi pendorong bagi Romo FX Wiyono Pr untuk terus berkarya dan membaktikan dirinya pada umat. Pada tahun 2013 silan,  usianya memang sudah 71 tahun.

Untuk melakukan aktivitas, beliau  harus hati-hati karena tubuhnya tak lagi sekuat ketika masih muda.

Almarhum Romo FX Wiyono Pr di tahun 2013. (Majalah Salam Damai)

Gumregah tak kenal usia 

Namun jangan tanya untuk urusan kesenian dan kebudayaan khususnya wayang purwa (wahyu).

Rama Wiyono bisa langsung gumregah (semangat) dan menceritakannya secara detil. Ya, ia memang Romo Dalang karena kepiawaiannya mendalang. Bahkan untuk lakon pentas semalam suntuk, masih berani manggung di atas pentas.

“Mungkin masih kuat, kemungkinan lho karena itu memang kegemaran saya hehehe…tapi belum pernah dicoba. Lha tidak ada yang ngundang untuk pentas je,” seloroh Romo kelahiran 19 Februari 1942 ini.

Rama yang bernama lengkap Franciscus Xaverius Wiyono Pr ini ditahbiskan pada Hari Raya St. Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, 8 Desember 1970 bersama dengan almarhum Mgr. Yohanes Hadiwikarta (Uskup Keuskupan Surabaya, RIP tahun 2003-red.).

Mereka ditahbiskan imam di Gereja Marganingsih Kalasan oleh Bapak Justinus Kardinal Darmojuwono.

Latar belakang keluarga yang menyukai kesenian tradisional menjadikan Wiyono kecil tumbuh menjadi sosok yang menggemari wayang dan karawitan. Sebenarnya ia ingin menjadi penari, namun tak kesampaian karena persoalan teknis, jauhnya tempat kursus menari.

Tempat tinggalnya di Berbah, Kalasan, Sleman sedangkan lokasi kursus di Keraton Yogyakarta. Ia tak sanggup bolak-balik bersepeda, lelah.

Rumah keluarganya di Berbah dulu sering menjadi tempat belajar karawitan, gending Jawa dan pentas wayang kulit. Dari situlah ia memperoleh ilmu tentang wayang, nembang, memainkan gamelan dan menulis lagu Jawa.

Ia belajar dari pengalaman, membaca buku, menonton pentas, lalu mempraktikkannya.

Diplekotho

Pengalaman mendalang pertama dialamina di Seminari Mertoyudan tahun 1960-an. Ketika itu ada dua imam yang bersaudara dan menduduki posisi penting di lingkungan Gereja Katolik Indonesia.

Romo Wiyono muda diminta untuk mendalang dalam rangka syukuran terpilihnya Rama Antonius Soenarja SJ (Rama Rektor Seminari Mertoyudan waktu itu sebagai Provinsial Ordo Serikat Jesus (SJ) dan adik kandungnya Romo Leo Soekoto SJ sebagai Uskup Agung Keuskupan Agunng Jakarta.

Ref: Java: raccontare il Vangelo, con il teatro delle ombre giavanesi

Tak ada yang berani tampil dalam acara itu karena waktunya sangat sempit.

”Syukuran dilakukan di seminari. Waktu itu persiapan hanya sepekan. Tidak mungkin para seminaris latihan drama yang menjadi unggulan seminari waktu itu. Lalu saya diplekotho (dipaksa –red.) untuk mendalang”, kenang Rama Wiyono yang sampai sekarang masih mencipta tembang Jawa bernuansa ajaran Gereja.

”Saya memberanikan diri untuk mementaskan lakon Wahyu Makutha Rama. Sebuah lakon yang berisi wejangan Prabu Ramawijaya kepada Raden Gunawan Wicaksana dengan ajaran Hastabrata. Para romo  itu diharapkan bisa menjadi pemimpin umat yang bijaksana. Setelah itu,  ketagihan ndalang hehehe…,” tutur Romo Wiyono.

Dikenalkan oleh Br. Timotius Wignyosubroto FIC

Hobi mendalang tersalurkan, ketika Bruder L. Timotius Wignyosubroto FIC mengenalkan Wayang Wahyu untuk pewartaan ajaran Gereja. Beberapa orang awam bisa memainkannya, namun hanya Rama Wiyono yang rohaniwan.

Ref:  Indigenous Jesus

Beberapa lakon yang pernah dipentaskan Rama Wiyono, antara lain:

  • Kisah Susana (kesetiaan perkawinan).
  • Kisah Yudit (pahlawan wanita).
  • Kisah Daud (pahlawan rakyat jelata).
  • Kisah Yusuf (perdamaian).
  • Sabda Rahayu/Bahagia.
  • Kisah Natal-Paskah.
  • Kisah Yohanes Pembaptis (kemartiran).
  • Kisah Anak yang Hilang (pertobatan), dsb.

Biasanya lakon wayang wahyu itu dipentaskan selama tiga jam.

Sekian puluh tahun berlalu, tak ada generasi biarawan yang mewarisi jadi dalang. Baru beberapa waktu terakhir ini muncul dua imam muda  yang bisa memainkan wayang kulit.

Betapa gembiranya Rama Wiyono karena bakal ada yang menggantikan dirinya menjadi dalang penyebar ajaran cinta kasih Yesus Kristus.

Kesenian dan kebudayaan Jawa memang bisa dipelajari, tetapi untuk menjadi dalang belum tentu bisa. Memang ada sekolah dalang, tapi malah banyak dalang terlahir dari bakat alami, talenta dari Sang Pencipta.

“Apa saja bisa dipelajari termasuk menjadi dalang, namun untuk benar-benar menjadi dalang tampaknya tak mudah. Seorang dalang harus mengerti gending-gending Jawa, gamelan dan memainkannya,” tegasnya.

Mengajar karawitan Anak SD

Di tengah kesibukannya sebagai pastor di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta, Rama Wiyono meluangkan waktu mengajar karawitan anak-anak SD Kanisius Kumendaman.

Sekolah ini merupakan Sekolah Dasar Kanisius tertua di Yogyakarta. Didirikan tahun 1918. Sekolah yang nyaris ditutup karena jumlah muridnya sangat sedikit itu membuat Romo Wiyono prihatin.

Ia lantas minta pada Yayasan Kanisius supaya membatalkan rencana penutupan sekolah.

“Saya bilang: jangan dulu ditutup dan saya akan membantu mengajar di sini agar anak-anak memiliki nilai lebih dibandingkan yang lain. Nilai lebihnya ada pada kesenian tradisional memainkan gamelan dan nembang,” kata Romo Wiyono.

Ternyata anak-anak antusias dan sangat berminat belajar karawitan. Anak-anak mulai fasih memainkan gamelan dan nembang. Mereka sering diundang mengisi berbagai kegiatan di sekitar sekolah dan Kota Yogyakarta.

Sekolah SD Kanisius Kumendaman akhirnya tak jadi ditutup.

Di samping di SD, ia melatih siapa saja yang mau belajar karawitan di gereja. Cukup banyak peminat, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Mereka memanfaatkan seperangkat gamelan yang ada di gereja. Karawitan tak cuma untuk pelayanan di Gereja, tapi juga mengikuti serangkaian kegiatan di luar.

Mereka sering tampil di festival kesenian maupun acara-acara non formal.

Tetap optimis

Banyak pihak khawatir kesenian dan kebudayaan lokal bakal hilang tergeser budaya asing.

Apa komentar Romo Wiyono?

“Saya tidak khawatir. Tak begitu mudah,  karena budaya lokal ini punya nilai tinggi, adi luhung. Kesenian dan kebudayaan bercita rasa tinggi tak akan mudah punah,” tandas imam yang pernah mementaskan Wayang Wahyu di Jerman.

Imam sepuh ini merupakan segelintir dari sekian banyak rohaniwan yang peduli dengan kebudayaan lokal. Kendati demikian ia optimis bakal ada penerus yang tak hanya bisa bicara soal kesenian dan kebudayaan, tetapi sekaligus menerjuni dan menekuninya.

Ia masih punya jadwal tetap pentas di RRI Yogyakarta, setiap Natal dan Paskah. Pendengarnya juga cukup banyak, tak cuma umat Katolik. Mereka mengapresiasi dirinya sebagai rohaniwan yang sekaligus dalang wayang kulit.

Romo FX Wiyono melihat Wayang Wahyu sangat relevan untuk penyebaran ajaran kekatolikan. Sebagian anggota masyarakat masih mencintai kesenian tradisional.

Lewat media gending dan wayang diyakini bahwa Sabda Gembira dapat diwartakan kepada umat Jawa. Pewartaan Kerajaan Allah dapat ditangkap orang Jawa dengan wayang.

Menurutnya, hal ini dipahami betul oleh Romo van Lith SJ waktu itu. Untuk bisa masuk dalam diri orang Jawa, Romo van Lith mempelajari dulu budaya Jawa.

Ia ikut bermain gamelan dan nonton wayang. Budaya dan pendidikan bagi Romo van Lith menjadi sarana yang efektif dalam pewartaan.

”Kita tahu pendekatan ini lebih berhasil daripada pendekatan sosial-ekonomi yang diterapkan oleh Romo Hoovenars SJ,” ujar Romo Wiyono yang pernah bertugas di Seminari Tinggi St. Petrus Pematang Siantar.

In Memoriam Romo FX Wiyono Pr: Inspiratorku Mendalang Wayang Wahyu, Tetap Iman Sampai Mati (2)

Romo Wiyono melihat Gereja secara formal belum tertarik untuk nguri-nguri atau melestarikan Wayang Wahyu. Bisa jadi alasan mahalnya biaya pentas atau anggapan tak bisa menarik massa dalam jumlah besar, menjadikan wayang ini seperti tertelan bumi.

“Efektif atau tidaknya pewartaan ajaran Gereja melalui wayang itu tergantung cara membawakannya. Kalau ala kadarnya dimainkan, kaku dan seperti membaca Kitab Suci, ya pasti membosankan. Lain halnya kalau pembawa bisa meramu menjadi tontonan yang menyenangkan dan membuat orang betah berlama-lama duduk memelototi wayang,” tandasnya.

Di kamar kerjanya masih tersimpan satu peti Wayang Wahyu.

Ada 40-an tokoh wayang, mulai Yesus Kristus dalam berbagai karakter sampai setan yang digambarkan mengenakan pakaian bermotifkan kobaran api.

Penulis: Romo Y. GunawanPr dan Agung.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here