BELIAU itu adalah sosok pribadi imam yang takkan kulupakan. Banyak hal telah mengesankanku; dari tindakan dan ucapannya. Seorang yang mudah sekali menghafal nama orang dan mengingat peristiwa yang terjadi bersamanya.
Saat saya sudah menjadi imam dan sekali waktu pernah menulis sebuah artikel di Majalah Rohani dengan judul tulisan Dari Raba ke Data, beliau langsung mengatakan, “Aku sudah membaca tulisanmu. Mengetahui data umat itu memang dapat membantu untuk berpastoral. Tapi yang tak kalah penting adalah mengenal umat.”
Nasihat itu terngiang di telinga dan berusaha saya wujudkan. Perhatiannya kepadaku tak pernah pudar.
In Memoriam Pastor Antonius Martinus van Ooij SCJ: “Ah, Ia Belum Mati” (2)
Dari sejak saya kecil, beliau sudah memberikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagiku. Beliau memang bukan hanya hafal, tetapi juga mengenal betul keluargaku. Beliau mengenal bapak, ibu, adik-adik, dan umat di lingkungan orangtua, dan banyak umat di mana pun.
Senyumnya yang manis dan sapanya yang lembut pastilah membekas pada semua umat yang dilayaninya dan bahkan orang bukan Katolik pun mengenalnya.
Diangkat dari timbunan tahi sapi
Sesuatu yang membuat saya malu tersipu-sipu jikalau pas di depan orang banyak, beliau sering berkata begini.”Basuki ini, waktu kecil aku angkat dari tlethong.”
Maksudnya, saya memang sering membersihkan kandang sapi yang penuh dengan kotoran sapi. Sejak masuk seminari, maka saya tidak lagi mengerjakan pekerjaan itu.
Pernah, saat saya tinggal di rumah pakde seorang katekis, terjadi peristiwa yang memalukan. Karena tugas saya membantu budhe, masak, dan menjamu tamu dan lalin-lain, maka sayalah yang menghidangkan minuman kopi untuk Romo “Pan” (bukan “Van” sesuai nama aslinya), demikian beliau sering disapa. Saya tengah mencari-cari sendok kecil untuk mencicipi kopi itu apakah sudah manis apa beum, tapi sendok itu tidak ketemu. Saka saya cicipi sedikit langsung ke mulut.
Aksi itu ketahuan budhe. Saya dimarahi dan dibilang tidak sopan.
Rupanya, Romo Pan ikut dengar. Lalu beliau berkomentar, “Biar saja, sudah nggak apa-apa. Biar saja, nanti biar jadi romo.”
24 tahun kemudian
Dan ternyata benar, pada akhirnya, setelah kurang lebih 24 tahun kemudian, sejak dari Romo Martinus van Ooij SCJ mengucapkan kata-kata itu, saya lalu ditahbiskan menjadi imam pada 10 April 1991. Saya memang sempat merasa tidak enak hati dengan beliau.
Itu larena beliau yang mendorong saya agar masuk seminari dan menjadi imam. Hanya saja, saya tidak memilih masuk Kongregasi SCJ seperti beliau, melainkan menjadi imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang.
Rupanya beliau tahu kegundahan hati saya itu. Romo Pan malah mencari, mendekati, dan mengatakan kepada saya, “Heh, Basuki, ora usah wedi karo aku. Kowe mlebu praja, aku ora opo-opo. Sing penting kowe setia karo panggilanmu” (Heh, Basuki, tidak usah takut dengan saya. Kamu masuk imam diosesan, bagi saya tidak masalah. Yang penting kamu setia dengan panggilanmu).
Perkataan itu seperti es di kala hari panas. Sifat kebapakannya bagiku masih terus saya rasakan.
Yang mengagetkan saya lagi, ketika beliau merayakan 50 tahun Imamat di Rumah SCJ di Telukbetung. Saat itu, banyak romo SCJ yang hadir. Tempat altar hanya sempit, hanya muat untuk tiga orang imam saja.
Yang lain harus rela duduk di bangku umat. Tapi saya malah ditunjuk oleh Romo Pan untuk mendampingi romo selebran di altar bersama Romo Polikarpus Gunawan Setiadi SCJ.
- Saya sempat protes, “Kenapa saya?”
- Tetapi Romo Gun yang menjawab, “Gak apa-apa, yang dikehendaki Romo Pan, Romo Bas. manut (ikuti) saja.”
Mengajak Romo Belanda di Muntilan
Terakhir, saat saya bertamu dengan beliau yang ingin sekali merayakan Misa Kudus dengan umat di Stasi Muntilan, Paroki Santo Petrus Kalirejo dengan tamunya seorang pastor praja dari Belanda. Saya menjawab, “Silakan Romo, kabari saja kapan waktunya. Nanti saya sampaikan ke umat Muntilan.
Akhirnya keinginan beliau itu terpenuhi, pada tanggal 12 September 2017, beliau merayakan Ekaristi Kudus, konselebrasi dengan teman dari Belanda dan saya. Rupanya itulah yang terakhir kalinya, misa bersama umat dan saya.
Mereka berbadan tinggi-tinggi, menjadi kontras, betapa tampak pendeknya badan saya yang sudah pendek dibandingkan dengan mereka.
Komentar banyak umat, “Romo Pan panggah awet enom yo? ” (Romo Van tetap awet muda ya?).
Karya baiknya menjadi abadi
Tetapi kini beliau sudah kembali kepada Sang Penciptanya. Ia sudah ‘pergi’ dengan membawa sejuta kenangan di hati banyak umat dan juga di hati saya. Jasa-jasa beliau tetap terpatri di hati umat di banyak tempat.
Nama beliau kini ‘diabadikan’ oleh umat pelindung gereja di bebetapa tempat beliau melayani.
Romo Martinus van Ooij SCJ, teladan, bapak, pembimbing, dan gembalaku yang baik. Yesus Kristus dengan Hati Kudus-Nya telah menjadi hidupmu.
Romo Pan juga telah menginspirasiku.
Selamat jalan. Doaku kan kupanjatkan. Terima kasih atas jasa-jasa romo pada aku, anakmu.
Mohon maaf atas kelanncangan dan kesalahanku. Beristirahatlah dalam damai-Nya yang abadi. Amin.