SENYUM pastor londo satu ini khas sekali: matanya teduh dan tanpa segan ia tampakkan deretan giginya. Ia sama sekali jauh dari kesan angker. Tingkahnya santun dan halus.
Yang lebih mengagumkan lagi adalah bahwa londo ini amat fasih berbahasa Jawa – bahkan dalam tingkatan krama inggil yang biasanya dipakai oleh para punggawa dan para pendidik.
“Bahasa Jawa-nya lebih halus daripada kami semua – sampai kami malu dan tidak bisa berkata-kata untuk membalas beliau,” ujar salah satu umat yang sempat beliau layani.
Rm. Martinus Antonius van Ooij SCJ adalah nama lengkap beliau. Namun bagi sebagian umat di Keuskupan Tanjung Karang (Lampung), ia lebih dikenal dengan nama Romo “Pan Ooy,” atau lebih singkat lagi: Romo “Pan.”
Nama akrab yang lain untuk beliau adalah “Romo Martin” – sebagaimana banyak dikenal oleh para konfraternya di dalam dan luar negeri.
Luka, kehilangan dan awal panggilan
Beliau lahir di Duerne, Belanda pada 14 Desember 1935 dari pasangan Hendricus Alphonsus van Ooij dan Anna Maria Bennenbroek. Ia lahir sebagai anak keenam dari sepuluh bersaudara.Tinggal di desa yang tenang dan damai, Martin kecil mengikuti pendidikan dasar di sekolah dasar khusus anak laki-laki di Zeilberg.
Masa kecil Martin diwarnai kesuraman Perang Dunia II. Ibunya dan adiknya yang kesembilan meninggal dunia pada 10 September 1944 karena sebuah pesawat Jerman memuntahkan tembakan ke arah rumahnya. Mereka meninggal seketika karena berondongan timah panas di tubuh dan kepala mereka.
In Memoriam Romo Martin van Ooij SCJ: Dari Timbunan Tahi, Saya Diangkat (3)
Jejak keganasan perang masih membekas di dinding rumah Romo Martin. Sang ayah tidak berada di tempat karena pergi bertugas memberi pertolongan pada korban perang di tempat yang lain.
Martin kecil yang masih berusia 9 tahun itu dan dua adiknya yang lain terluka parah di bagian kakinya. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Namun, sang paman yang melarikannya ke rumahsakit mengatakan pada dokter bahwa lebih baik Martin kecil itu mati daripada hidup hanya dengan satu kaki.
Akhirnya Martin kecil tidak jadi diamputasi dan operasi pemulihan dilakukan tanpa pembiusan karena obat-obatan sangat terbatas waktu itu.
Sang ayah, Hendricus van Ooij, adalah contoh iman baginya. Ia seorang seorang pendoa yang kuat dan rajin ke gereja. Ketika seorang kakak Romo Van Ooij menanyakan mengapa sang ayah rajin berdoa, ayah mereka menjawab: “Bagaimana saya bisa mengatasi masalah dengan delapan anak tanpa ibu di samping mereka. Saya bisa gila kalau tidak berdoa.”
Di waktu kemudian, sang ayah yang telah duda ini lalu menikahi Martina Bennenbroek yang merupakan adik kandung almarhum ibu Romo Martin.
“Tuhan memberi saya dua ibu terbaik. Satu yang melahirkan saya dan satu yang mencintai saya,” demikian komentar Romo Van Ooij tentang keluarganya.
Dari tante yang kini menjadi ibunya tersebut Romo Van Ooij mendapat lagi tiga orang adik.
Waktu kecil, ia tak terpikir untuk menjadi imam. apalagi berkarya di Indonesia.
“Pernah suatu kali ketika pulang dari gereja ke rumah, saya berdoa agar Tuhan memberi kami seorang imam,” katanya. Waktu itu gereja terdekat dari kampungnya berjarak 2,5 km dan sebagai anak kecil ia harus berjalan kaki.
“Saya tidak berdoa untuk menjadi imam, tetapi kok justru saya yang dipanggil,” ujar Romo Martin.
Benih jiwa misionaris
Saat Van Ooij kecil duduk di akhir sekolah dasar, ia menyatakan minatnya untuk menjadi imam kepada orang tuanya. Dengan restu ayah dan ibunya, Van Ooij lalu melanjutkan studi di seminari menengah Christus Konig di Bakel.
Kurikulum di tempat ini mencakup tiga tahun pertama dari enam kelas pendidikan seminari dasar yang diperlukan. Setelah tahun ketiga di Bakel, Van Ooij melanjutkan lagi masa-masa seminari menengah di Bergen op Zoom dan kemudian melanjutkan masa Postulat dan Novisiat di Asten pada tahun 1955-1956 .
Frater Van Ooij muda ini diterima mengucapkan kau pertamanya sebagai anggota Kongregasi Imam Hati Kudus Yesus pada tanggal 8 September 1956 di Asten dan kaul kekalnya di Liesbosch pada 8 September 1959.
Selama di seminari inilah ia bercita-cita untuk menjadi seorang misionaris. Awalnya, Frater Van Ooij ingin menjadi misionaris di Kanada dan karenanya ia mempersiapkan bahasa Perancis yang banyak dipakai di sana. Sewaktu akan menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP), Kanada merupakan salah satu negara yang ditawarkan kepada para frater.
Superior seminari meminta agar para frater yang akan berangkat ke tanah misi meminta izin dahulu kepada orang tua dan selanjutnya diberangkatkan tanpa syarat apa pun.
“Ayah saya mengizinkan saya berangkat, tetapi minta tahbisan saya tetap di Belanda,” ujar Romo Van Ooij dalam wawancaranya dengan Veronika Gunartati dari Keuskupan Tanjung Karang.
Permintaan ayahnya ini membuatnya tidak jadi diberangkatkan ke Kanada.
Romo Martinus van Ooij SCJ ditahbiskan menjadi seorang imam Dehonian di Gereja Sint Jozef, Nijmegen pada 23 Maret 1963. Setelah pentahbisannya, ia sebentar melayani sebagai pastor rekan di Kortenhoef. (Berlanjut)
- Sumber: Rumah Dehonian (www.rumahdehonian.or.id)
- Tautan: https://rumahdehonian.or.id/rm-martinus-van-ooij-si-pastor-buldoser-itu/