DULU sekali, ada buku berjudul Menulis Itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto. Tentu saja, pernyataan itu menemukan kebenarannya bagi Wendo –sapaan akrab penulis kreatif ini. Namun bagi banyak orang, menulis baik dan benar tentu saja butuh “perjuangan” panjang.
Menulis kata atau kalimat pertama itu saja sudah sulit. Lalu, merangkai alur pikir dan menata ide serta berikutnya menuangkan ide-ide dalam alur pikir yang rasional, menarik, dan benar adalah perjuangan berikutnya.
Karena itu, dalam program literasi media untuk para frater calon imam dan para pastor pembinanya itu dialokasikan waktu untuk mengupas materi ajar berbahasa yang baik, tepat, dan benar. Program literasi media untuk pengembangan kapasitas diri ini dibesut oleh Komisi Seminari KWI bersama mitra kerjanya Paguyuban Gembala Utama (PGU) –jaringan kerjasama lintas alumni seminari menengah yang diinisiasi oleh para alumni Seminari Mertoyudan.
Sungguh, ini benar-benar seperti pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP.
Dalam sesi ini, para peserta diajari apa itu subjek, predikat, objek, keterangan (waktu, tempat, dan lainnya), kalimat aktif-pasif, kalimat transitif-intransitif, kalimat tunggal-majemuk, kalimat majemuk bertingkat, kalimat majemuk bertingkat-tingkat.
Barulah kemudian, para peserta diajak untuk menganalisis dan “membedah” struktur kalimat untuk menemukan “logika” sebuah kalimat yakni subjek, predikat, objek, keterangan, dan lainnya.
Menulis itu tidak mudah
Apakah materi ajar “level SMP” ini mudah?
Bisa mudah, kalau kejelian dan kecermatan pikir ada di benak para peserta. Sebaliknya, menjadi tidak mudah sama sekali, ketika peserta tidak bisa “tertib berbahasa”, misalnya, sering mencampurkan ragam bahasa tutur atau bahasa lisan dengan bahasa tertulis.
Bahasa lisan sifatnya spontan, ringkas, dan yang penting “tembak langsung”. Bahasa tertulis menuntut lebih daripada hal itu, karena mensyaratkan setidaknya harus “ada” bangunan pokoknya yakni subjek dan predikat. Barulah kemudian yang lain-lain bisa ditambahkan yakni objek, keterangan.
Itulah yang oleh Mathias Hariyadi sebagai pengampu sesi ini disebutnya sebagai “logika” bahasa. Barulah kemudian, alur pikir itu bisa “dibahasakan” menurut ragam kalimat aktif, kalimat pasif, dan seterusnya.
Logika bahasa
Karena itu, dalam sesi ini, para peserta dilatih untuk mencari “logika” bahasa dengan menemukan subjek, predikat, objek, keterangan, pada sejumlah contoh kalimat agar dibedah komponen-komponennya. Istilah yang biasa dipakai adalah latihan menemukan “S-P-O-K”-nya sebuah kalimat.
Barulah setelah latihan S-P-O-K dirasa mencukupi, pengampu mengajak latihan analisis membedah kalimat-kalimat untuk menemuka struktur Hukum Diterangkan-Menerangkan (DM).
Ini juga penting, karena bahasa Indonesia mengadopsi Hukum D-M, sementara bahasa-bahasa asing –misalnya bahasa Inggris- menggunakan rumus Hukum M-D.
Hampir 1,5 jam lewat hanya untuk latihan membedah materi ajar “pelajaran level SMP” ini. Namun, kalau logika bahasa ini berhasil dikuasai, demikian kata pengampu sesuai pengalamannya, maka kemampuan menulis itu akan dengan sendirinya “menempel” di pikiran setiap kali memulai karya intelektual dengan merangkai kalimat. (Berlanjut)