HARI itu adalah Minggu, tanggal 29 November 2015.
Beberapa bulan terakhir itu, saya dan teman-teman yang tinggal di asrama tempat kos sering kali menjadi sangat rewel. Kami sering dan banyak mengeluh soal makanan.
Hampir setiap hari, pagi-siang-malam di meja makan hanya tersedia menu ikan rebus. Walau dimasak dengan cara berbeda, tetapi tetap saja yang tersaji di meja adalah ikan rebus. Itu pun tersajikan masih dengan bau amis yang masih menyengat.
Mungkin bau amis itu yang telah membuat kami lalu tidak punya selera makan. Kami sungguh berharap, seandainya sesekali waktu juga bisa tersedia di meja makan aneka menu lainnya: daging ayam, babi, atau ikan goreng.
Tidak nyaman terdengar
Mendengar dan mengalami sendiri seringnya terjadi keluh-kesah itu, saya kok merasakan bahwa lama-lama saya juga merasa tidak nyaman. Setiap kali telinga dan hati mendengar keluh-kesan itu, perasaan saya menjadi tidak nyaman.
Menu makan menjadi bahan pergunjingan tiap hari dan itu makin ‘menyesakkan hati’.
Mengapa saya merasa tidak nyaman di hati? Itu karena saya dan teman-teman seakan-akan tidak bisa mensyukuri makanan yang sudah boleh kami terima dan bisa kami konsumsi setiap hari.
Bapak tua anonim
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah perjalanan menuju ICLA di Filipina, saya melewati jembatan penyeberangan. Di sepanjang jembatan kumuh itu ada beberapa pedagang barang duduk di bawah terik matahari. Mereka tengah menjajakan aneka barang dagangannya.
Tidak sengaja, mata saya lalu tertuju pada seorang bapak tua penjaja dagangan yang saat itu tengah menikmati makan siang.
Saya sengaja memicingkan mata dan kemudian melirik ke boks makanannya. Di situ hanya nasi dengan tahu.
Sekedar tahu saja, tahu di sana tidak seperti tahu di kebanyakan daerah di Indonesia. Di sana, tahu sama sekali tidak ada rasanya, sangat hambar.
Tetapi, bapak tua itu tetap ‘semangat’ menyendok nasi dengan lauknya yang adanya hanya tahu saja. Namun ia terlihat menikmati menu makannya dengan lahap dan terkesan sangat nikmat.
Suara hati menegur
Ada suara batin lalu menyesak di dalam hati dan berkata, “Lihat, betapa sederhana bapak tua itu makan. Mungkin ya hanya itu saja menu sangu yang dibawakan istrinya dari rumah. Itu pun hanya berupa nasi dan tahu hambar, lantaran mereka tidak punya cukup uang untuk membeli ikan, ayam, atau daging.”
Pemandangan di jalanan dan pengalaman ‘ditegur’ oleh suara hati itu sangat menyentuh hati dan mengisi pikiran saya hari-hari terakhir ini. Dibandingkan dengan porsi dan isi menu makan siang sebelum berangkat dengan nasi, ikan dan sayur brokoli, maka hal itu jelas jauh lebih baik dibandingkan hanya nasi plus tahu hambar.
Tak tahu bersyukur
Jadi, layaklah saya dan teman-teman ‘rajin’ mengeluh soal menu makanan di asrama?
Saya menceritakan pengalaman dan kegelisahan hati itu kepada teman-teman asrama. Reaksi mereka awalnya hanya mengangguk-angguk. Lalu mereka berkomentar seperti ini:
“Ternyata, kita jauh lebih beruntung. Kita bisa tinggal di sini dan sudah ada menu makanan tersedia setiap hari. Kita perlu lagi ke pasar membeli bahan dan kemudian masak. Tugas sederhana yang berlangsung harian itu pasti itu merepotkan. Padahal, kita masing-masing sudah punya tugas lain yang juga mendesak: kuliah.”
Sejak itu, teman-teman mulai berhenti berceloteh ‘membahas’ menu makanan. Mereka langsung menikmati apa saja yang tersaji di meja.
Yang menarik, ketika ada teman tanpa sadar keceplosan masih mengeluh, maka kami buru-buru ‘nembak’ dia dengan mengatakan, “Ho…ho…ho…, saya tidak mengatakannya loh.”
Sejak itu, saya mulai dengan suka hati menikmati semua jenis makanan yang telah disediakan oleh asrama dan mampu berkata di bawah ini.
“Terima kasih. Bapak tua tanpa nama itu telah mengajarkan saya apa itu keprihatinan, kerelaan hati mau menerima apa adanya dan kemudian bersyukur atas apa yang boleh dia makan saat itu.”
Terima kasih Tuhan. Hidup berubah, ketika saya mulai berubah.
Komsos Keuskupan Banjarmasin: 28 Tahun ‘Hilang’, Bertemu di Wisma Keuskupan (2)