TAHUN 1939 pecah Perang Dunia II. Perang itu berlanjut sampai tahun 1945. Dampaknya perang yang melibatkan banyak negara di Eropa dan di luar Eropa seperti Amerika ini ikut “mengalir” ke Tanah Misi: Indonesia.
Karya misi para suster DSY di Ternate, Maluku Utara, ikut terkena imbasnya. Pasokan bantuan finansial dari Belanda ke Ternate menjadi kembang kempis.
Akibatnya, para suster DSY jadi kelimpungan mendapatkan sumber dana bagi karya dan hidup mereka. Ruang kelas jadi berubah fungsi sebagai “asrama”.
Belum lagi tentara Dai Nippon alias Jepang juga ikut “menyerbu” masuk ke Indonesia melalui kampanyenya Perang Asia Timur Raya.
Mengungsi ke Surabaya
Alih-alih membantu rakyat, para tentara Jepang itu juga membuka toko dan jualan kain, mengambil alih kepemilikan orang-orang lokal di Ternate.
Lalu terjadilah “mala petaka” besar di Ternate. Pada tanggal 17 Desember 1940, Jepang dengan pesawat tempurnya menyerang kota Ternate dari udara.
Suasana ini membuat hidup masyarakat di Ternate kacau balau. Semua orang Belanda –termasuk para Suster DSY— langsung diperintahkan “keluar” dari kawasan permukiman penduduk lokal. Mereka –istilahnya—diinternir.
Para suster itu harus cepat-cepat pergi dengan meninggalkan semua hak milik mereka di belakang. Alias harus bisa merelakan orang lain “boleh mengurusnya”.
Para suster DSY pergi mengungsi. Mereka naik kapal laut menuju Surabaya dan kemudian ditampung di Susteran Ursulin.
Di kemudian hari, para suster DSY ini mengatakan demikian.
“Di dunia ini, kita hidup layaknya musafir dan perantau.” (bdk. Azas dan Dasar, pasal 6. no.22). Dan persis seperti itulah yang dialami oleh enam suster misionaris perintis DSY di Ternate. Mereka harus meninggalkan karya di Ternate, bertolak ke Surabaya dan menjadi pengungsi.
Beberapa tahun kemudian, para suster DSY menaruh perhatian untuk bisa berkarya Sindanglaya, kawasan Puncak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Niat luhur itu akhirnya kesampaian juga. Mereka merintis karya pendidikan tingkat TK dan SD serta mengelola karya pembinaan asrama. Hal itu mereka kerjakan bersama dengan para Biarawan Fransiskan.
Namun, karya gemilang di Sindanglaya ini hanya berlangsung sebentar. Jepang mulai merangsek masuk ke Pulau Jawa, termasuk mulai menguasai Jabar.
Karena salib, tentara Jepang tidak “mendekati” para suster DSY dengan perilaku kasar.
Namun, tentara Jepang itu tetap saja memasuki kawasan “internal” biara, termasuk Susteran DSY di Sindanglaya. Mereka memang tidak “menyentuh” para suster, namun mengambil semua barang yang ingin mereka miliki.
Kekasaran tentara Dai Nippon ini tetap menyasar pada para penghuni lokal: anak-anak sekolah dan penghuni asrama. Mereka disuruh keluar gedung dan dibiarkan tinggal di lapangan atau jalan.
Sekolah, asrama, dan gereja, kapel lalu mereka segel.
Para suster DSY berikut para imam Fransisan “dikurung” di dalam biara. Tidak boleh bergaul dengan masyarakat di luaran.
Dalam kondisi serba “minim berkomunikasi” itu, Perayaan Ekaristi masih bisa mereka lakukan. Tentu saja dengan diam-diam.
Dijemur berjam-jam
Sekali waktu, para suster DSY itu disuruh “keluar gedung”. Mereka diperintahkan harus datang menghadap komandan tentara Jepang di Pacet.
Sembari membawa ijazah atau dokumen penting, para suster ini mesti berjalan kaki dari Sindanglaya menuju Pacet. Satu jam mereka berjalan menuju lokasi.
Sesampai di Pacet, semua dokumen disita dan para suster itu disuruh “mandi matahari” selama tujuh jam di lapangan.
Untuk orang-orang Eropa, hal ini sungguh merupakan siksaan fisik yang membuat derita. Kulit orang-orang Eropa ini tidak “didesain” sama seperti orang-orang Indonesia yang mampu bertahan di bawah terik matahari.
Usai penyiksaan di bawah matahari, mereka disuruh pulang kembali ke Pacet.
Hari lain, dipanggil lagi dan kemudian dijemur lagi. Dan proses penyiksaan ini berlangsung tanpa putus.
Sebagai pengungsi, para suster ini benar-benar tidak punya tempat tinggal yang nyaman. Dalam kedinaan seperti itu, mereka hanya bisa berharap pada Allah sebagai satu-satunya tempat bersandar, pegangan, dan sumber kekuatan (bdk. Konstutusi No. 38) (Berlanjut)