Mencintai Keuskupan Ketapang dan Katedralnya: Harta Seni Gereja St. Gemma Galgani (1)

0
1,542 views
Ornamen ukiran seni motif Dayak hasil karya dua seniman Dayak asal Keuskupan Ketapang (Kalbar): Romo Matheus Yuli Pr dan Petrus Kanisius. (Mathias Hariyadi)

BANYAK orang dan tak terkecuali Umat Katolik di Indonesia tidak tahu di mana dan bagaimana Keuskupan Ketapang.

Sangatlah mungkin, begitu mendengar kata “Ketapang”, maka ingatan orang dan Umat Katolik akan langsung ‘mengarah’ pada Pelabuhan Ketapang –akses utama menuju Pulau Bali lewat Gilimanuk melalui jalur perairan.

Kali lain, “Ketapang” adalah nama sebuah jalan di kawasan Jakarta Barat.

Kata yang sama dalam “kamus” Gereja Katolik Indonesia akan mengarah pada Keuskupan Ketapang. Memori Umat Katolik yang kurang ‘sadar’ inilah yang tak jarang menjadikan Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar ini kurang dikenal.

Padahal, kurang apa lagi Keuskupan Ketapang ini dibanding keuskupan-keuskupan lainnya di Indonesia?

Mgr. Pius Riana Prapdi memperlihatkan harta seni bernilai tinggi: dinding berornamen ukiran sebagai latar belakang altar Gereja St. Gemma Galgani Paroki Katedral Ketapang. (Mathias Hariyadi)

Harta seni bernilai tinggi

Di Gereja St. Gemma Galgani Paroki Katedral Ketapang ada harta seni tak ternilai harganya.

Jangankan dinilai dengan uang, harta seni berupa ornamen-ornamen seni ukir motif Dayak ini terpampang di dinding sebagai ‘hiasan’ latar belakang altar Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang.

Lebih istimewa lagi, harta seni itu dikerjakan secara manual. Bukan hasil “rekayasa” komputer atau mesin ukir.

Adalah tangan manusia berjiwa seni dan berasal dari tlatah Keuskupan Ketapang yang menjadikan harta seni bernilai tinggi itu ada di balik altar Gereja St. Gemma Galgani Katedral Ketapang.

Kedua seniman besar itu tak lain adalah Romo Matheus Juli Pr dan Petrus Kanisius yang tak lain adalah keponakannya sendiri.

Ibu kandung Petrus Kanisius bernama Leah adalah kakak Pastor Juli.

Bahan dasar dari kayu ulin atau belian yang kemudian dipahat oleh Petrus Kanisius sesuai gambar pesanan sang paman: Romo Matheus Juli Pr –Keuskupan Ketapang, Kalbar. (Dok. Romo Juli Pr)

Keluarga seniman tulen

Mengapa kita mesti menyebut dua nama satu kerabat ini?

Tidak ada Romo Juli dan Petrus Kanisius, maka tidak akan pernah ada pula koleksi harta seni bernilai tinggi yang kini menghiasi dinding di sekitar altar Gereja St. Gemma Galgani Paroki Katedral Ketapang.

Romo Matheus Juli Pr, imam diosesan (praja) Keuskupan Ketapang yang menyelesaikan pendidikannya di Seminari Menengah Mertoyudan tahun masuk 1976. (Mathias Hariyadi)

Harta seni berupa ornamen ukiran motif Dayak ini lahir dari sebuah ‘ide besar’ Romo Juli, imam diosesan (praja) Keuskupan Ketapang.

Lahir dari keluarga seniman Dayak tulen, Romo Juli masuk Seminari Mertoyudan angkatan tahun masuk 1976.

Ornamen ukiran yang merupakan paduan antara beberapa potongan ukiran untuk kemudian ‘dijadikan satu’ dan inilah kelebihan harta seni bernilai tinggi Gereja St. Gemma Galgani Katedral Ketapang, Kalbar. (Mathias Hariyadi)
Bilah-bilah kayu belian diukir secara manual oleh Petrus Kanisius yang ide besarnya berasal dari sang paman: Romo Matheus Juli Pr, pastor diosesan Keuskupan Ketapang yang berjiwa seni lukis hasil bakat alam.

Petrus Peder, ayah kandungnya, adalah seniman ukir dan pahat. Petrus Peder mendapat penghargaan seni dari Pemerintah RI melalui Kementerian Pariwisata tahun 2014.

Sedangkan, emaknya yang bernama Anastasia Elip juga seorang seniman anyaman. Dari kedua orangtuanya itulah, jiwa dan bakat seni khas campuran Dayak Simpang dan Kualan lalu menyatu padu dalam diri Pastor Matheus Juli Pr.

Tinggal kelas

Sudah sejak di Seminari Mertoyudan tahun 1976, Pastor Juli tidak hanya piawai meliuk-liukkan badan menggiring bola bundar di lapangan hijau. Ia juga ciamik bisa memainkan tangan dengan kwas di ujung jari di atas kanvas untuk melukis.

Kepada Sesawi.Net di Pastoran Paroki Katedral Ketapang awal Januari 2017 lalu, Pastor Juli berujar bahwa dengan melukis itu, ia ingin ‘mengawinkan’ ide-ide liar di kepala dan kemudian menerjemahkannya di kain kanvas.

Saking ambisiusnya dalam proses kreatif ini, katanya berterus terang, “Melukis dan terus melukis hingga saya sampai lupa belajar dan kemudian juga tidak naik kelas.”

Sejak itu, ia memutuskan berhenti total melukis. Ngambek dengan dirinya sendiri. Itu pasti.

Penulis dibuat kaget dengan pengakuan jujur itu. Katanya lagi, “Itu karena saya ingin menjadi imam, bukan seorang seniman lukis.”

Itulah sebabnya, ketika di kemudian hari sudah melanjutkan studi ke jenjang imamat berikutnya di Seminari Tinggi, Pastor Juli tidak mau lagi bersentuhan dengan kwas, dan tinta. Ia tinggalkan pikiran-pikiran liar di batok kepalanya yang dia angggap bisa membelokkan motivasinya menjadi imam untuk ‘berbalik arah’ menjadi seniman lukis.

Peristiwa tidak naik kelas lantaran keasyikan melukis dan sampai lupa belajar itu jelas merupakan pengalaman pahit yang teramat menyakitkan.

Barulah beberapa tahun kemudian, sebagaimana dijelaskan Romo Juli di kamar makan pastoran Paroki Katedral awal Januari 2017, “Saya memahami peristiwa itu sebagai ‘teguran’ dari Tuhan untuk fokus pada jalan panggilan.”

Waktu berjalan begitu cepat. Tibalah saatnya, ketika ia sudah menjadi imam, yang namanya ‘bakat alam’ itu tiba-tiba saja mencuat kembali sesuai kebutuhan situasional.

Lagi-lagi, Pastor Yuli memandang kegiatan melukis itu sebagai proses kreatif di mana ide di kepala lalu mewujud dalam kain kanvas. Kali ini, ide-ide besar itu lantas dia  “sharing”kan kepada Petrus Kanisius, sang keponakan, yang kemudian mewujudkan ‘alam pikir’ di atas awang-awang itu menjadi gambar-gambar ilustratif.

Petrus Kanisius, sang pemahat sekaligus pengukir ornamen seni di latar belakang altar Gereja St. Gemma Galgani Paroki Katedral Ketapang. (Ist)

Dari gambar-gambar ilustratif itulah, Petrus lalu mewujudkannya menjadi ornamen-ornamen ukiran kayu dengan sentuhan seni khas Dayak.

Kepada Petrus Kanisus, Pastor Juli men-sharing-kan idenya tentang ‘pola’ cerita yang mesti ‘digambar’ oleh Petrus. Bukan menggunakan kwas  di atas kanvas, melainkan Petrus Kanisius harus mampu ‘menggambar’ kisah cerita hasil ide kreatif Pastor Matheus Yuli ini ‘di atas’ kayu gelondongan.

Tentu, proses kreatif ini makan waktu lama karena lokasi workshop di mana Petrus Kanisius ini bekerja ada di tengah pedalaman. Kayu-kayu itu dipahat di pedalaman. Nantinya, dan setelah jadi, kayu-kayu berukiran itu lalu  ‘dikirim’ ke ‘pusat kota’ Ketapang.

Ada dua pekerjaan besar yang selalu menunggu Petrus Kanisius atas arahaan sang paman. Yakni, mengukir satu batang gelondongan kayu ulin setinggi 9,4 m dengan sejumlah ornamen hiasan dan rumah ‘Kisah Harmoni Indonesia di Kalimantan’.

Projek tugu dari kayu uli ini akhirnya berhasil diselesaikan oleh Petrus Kanisius dalam waktu sekitar tiga bulan. Kini, tugu dari bahan baku satu kayu ulin gelondongan bernama “Yesus Pohon Kehidupan” sudah bertengger gagah di halaman Gereja Katedral St. Gemma Ketapang.

Sementara waktu di awal tahun 2017 silam, rumah “Kisah harmoni Indonesia di Kalimantan” masih dalam tahap proses penyelesaian.

Transfer of knowledge dan keterampilan

Nilai seni bermutu tinggi ini tentu saja tidak hanya menyangkut soal proses kreatif itu sendiri. Yakni, ketika sang pengukir sekaligus pemahatnya yakni Petrus Kanisius itu mampu menyatukan penggalan-penggalan kisah itu kemudian menjadi satu kesatuan cerita yang utuh dan bagus.

Petrus Kanisius, seniman ukir dan pahat dengan sentuhan khas seni Dayak dari Ketapang, Kalbar. (Dok. Romo Matheus Yuli Pr)
Sang pastor bersama ponakannya: sama-sama seniman dengan bakat alam.

Lebih dari itu, hal ini menyangkut juga kemampuan Petrus Kanisius dalam aktivitas intelektualnya bisa menyerap informasi lisan yang disampaikan Sang Paman –Pastor Matheus Juli—untuk kemudian dia olah sendiri dan kemudian dia wujudkan dalam seni pahat.

Proses kreatif ini layak dipuji. Di sini lalu terjadi  transfer of knowledge dan keahlian dari Pastor Juli yang lulus sarjana di Jawa dengan keponakannya Petrus Kanisius yang tidak tamat sekolah SMA.

Lebih jauh dengan Keuskupan Ketapang: Mutiara Seni Berkualitas di Gereja Katedral  St. Gemma (5)

Hasilnya sangat istimewa dan mencengangkan.

Demikian kata Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi Pr, ketika akhirnya bisa menyaksikan bahwa projek besar yang dikerjakan mulai tahun 2007 dan baru selesai setahun kemudian itu akhirnya rampung dan kemudian terpasang rapi di belakang altar Gereja St. Gemma Galgani Paroki Katedral Ketapang.

“Ketika berlangsung acara Sail Karimata 2016, banyak turis asing datang dan masuk Gereja Katedral Ketapang. Komentar mereka satu suara: Amazing, formidable. Sebuah karya seni ukir dan pahat khas Dayak yang luar biasa.”

Itu kata-kata para turis asing sebagaimana dikutip Mgr. Pius Riana Prabdi.

Sentuhan akhir

Karena bakat seni itu lahir dari ‘alam’ dan di pedalaman Ketapang tidak ada ‘pemacu kreativitas’, maka boleh dibilang hasil karya ukir dan pahat khas Dayak buatan Petrus Kanisius itu masih ‘kasar’ tampilan permukaannya. Untuk bisa memperhalus tampilannya, maka Petrus Kanisius dikirim ke Bali untuk belajar ukir dan pahat dari para seninan Bali.

Untunglah Keuskupan Ketapang punya imam diosesan asli Bali yakni Pastor Made Sukartia Pr, alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1974.

“Petrus berhasil dikirim oleh Pastor Made ke Gianyar untuk keperluan belajar ukir dan pahat agar kualitas tampilannya lebih halus lagi,” terang Pastor Yuli menjawab Sesawi.Net  awal Januari 2017.

Hingga waktu awal 2017 itu, di pedalaman dan kawasan hulu Keuskupan Ketapang masih tersisa –walau sangat sedikit— harta karun alam luar biasa yakni kayu belian, ulin, dan aneka hasil hutan lainnya.

Di ‘pusat kota’ Ketapang dan di Katedral St. Gemma Ketapang, hasil hutan itu sudah berubah ujud menjadi sebuah karya seni berkualitas tinggi: Tugu ‘Yesus Pohon Kehidupan’ dan ‘lukisan’ ukir dan pahat Sejarah Penyelamatan.

Dua karya seni ini ada di sini berkat duet kerjasama yang intens antara Pastor Matheus Yuli  Pr yang bertindak sebagai inisiator dan pencetus ide kreatif bersama Petrus Kanisius yang menjadi eksekutor tunggal mengolah prakarsa seni dan kemudian mewujudkannya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here