SAAT menjadi Provinsial Ordo Dominikan Provinsi Filipina, maka keinginannya untuk bisa pergi bermisi ke Indonesia mulai mencuat lagi.
“Sudah saat itu pula, saya mulai berpikir kembali ingin membuka biara karya misi di Indonesia. Apalagi waktu itu, sudah mulai ada imam-imam Dominikan asal Indonesia yakni Pastor Robini OP –kini Ketua Yayasan Landak Bersatu-Perguruan Tinggi STKIP Pamane Talino– dan Pastor Andreas Kurniawan OP yang kini menjadi ekonom Keuskupan Agung Pontianak,” tuturnya.
Maka dari itu sebagai Provinsial Dominikan, ia mulai merintis dibukanya Biara St. Dominikus di Jl. Palapa Pontianak. Itu terjadi pada tahun 2006.
Kemudian pada tahun 2008, Father Nantes akhirnya bisa pergi menyusul tiga saudaranya di Pontianak.
“Setelah saya tidak menjadi Provinsial, maka saya mulai bisa berkarya di Indonesia dan bertugas di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia di Siantan, Pontianak ini,” ungkap Father Nantes.
Berkarya di Surabaya
Selang enam tahun kemudian, pada tahun 2012, misi Dominikan di Indonesia melebarkan sayapnya berkarya di Keuskupan Surabaya yakni mengelola Paroki Redemptor Mundi di Kota Surabaya.
“Paroki yang mula-mulanya untuk umat ekspatriat ini dilayani oleh imam diosesan, sebelum akhirnya diserahkan kepada Dominikan tahun 2012,” lanjut Father Nantes seraya mengatakan bahwa dua tahun sebelum paroki itu diserahkan kepada Dominikan, Pastor Adrian OP sudah menjadi Pastor Rekan di Paroki Redemptor Mundi pada tahun 2010.
Selepas menjabat Provinsial, Father Nantes menerima tawaran dari Keuskupan Agung Pontianak menjabat Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Regio Kalimantan di mana bergabung delapan keuskupan.
Karenaa itu, ia segera menyiapkan diri dengan mengambil waktu untuk program Sabbatical School of Applied Theology di Berkeley, California. Setelah itu, ia mengambil kursus untuk pendamping rohani.
Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan
Pada tahun awal berdirinya, Seminari Tinggi Interdeosesan Antonino Ventimiglia merupakan rumah pendidikan seminari tinggi yang hanya didedikasikan khusus untuk para frater calon imam praja Kalimantan Barat yang akan melanjutkan studi teologi jenjang S-2.
Namun seiring bergulirnya waktu, ‘pabrik’ calon imam ini mengalami proses pembenahan terus-menerus; baik dari segi fisik bangunan maupun metode pembinaan.
“Sebelum saya ke seminari, formatio para calon imam praja itu berada di Malang, Jawa Timur. Mengapa lalu dipindahkan ke Pontianak di Kalbar? Ini agar supaya formasi mereka kontekstual. Itulah kata kuncinya,” ungkapnya.
Kini, Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia yang merayakan HUT ke-20 tanggal 18 Oktober 2018 lalu ini sudah bisa menyajikan warna tersendiri dalam proses pendidikan dengan hadirnya para frater dari delapan keuskupan lainnya.
Membangun seni kontekstual Dayak di Seminari
Pada waktu itu, kapel dan beberapa bangunan di Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus dan di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia masih polos, tidak ada kontekstualnya.
Di sinilah jiwa seninya kembali bangkit untuk mendesain bangunan dengan nuansa seni budaya Dayak. “Saya melihat kapel, refter, dan bangunan lainnya seperti bukan di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, saya berniat mendesain dengan merujuk pada kata kunci kontekstual,” ungkapnya.
Sebagai pastor Dominikan yang berkarya di Kalimantan Barat, Father Nantes bersama para saudaranya sudah berhasil mempublikasikan buku yang menampilkan kekayaan seni budaya Dayak.
“Buku itu berisi koleksi album foto tentang budaya suku Dayak. Dengan itu, saya punya exposure untuk semakin mengenal kekayaan seni dalam masyarakat Dayak. Itu karena setiap seni selalu punya konteks yang berbeda-beda,” jelasnya.
Imam yang pernah menjadi Superior Rumah Santo Dominikus di Pontianak ini mengaku, proses mengenal budaya Dayak itu tidak serta merta namun menjadi tahapan demi tahapan yang mesti dia rengkuh.
“Itu agar supaya simbol-simbol menyambung satu sama lain, saya lihat salib, rumah adat, burung enggang, perisai-perisai, lumbung padi, ukiran-ukiran. Di situ saya mempelajari dan mengenal apa simbol-simbol yang selalu dipakai oleh orang Dayak,” tuturnya lagi.
Untuk lebih mendukung pemahamannya tentang budaya Dayak dan pemaknaan lambang, Father Nantes juga menambah referensi pengetahuannya dari banyak sumber. Di antaranya melalui jarigan informasi nirkabel dan bertanya sana-sini sembari sering datang mengunjungi museum Provinsi Kalbar.
“Saya pergi dan melihat langsung daerah-daerah, ikut mendatangi pesta adat Gawai Naik Dango (upacara syukur atas panen). Juga datang menginap di Rumah Betang untuk mendalami budaya Dayak. Tak lupa juga, saya belajar dari orang Dayak tentang seni ukir, seni pahat mereka,” ungkapnya. (Berlanjut)