LAGI-lagi, ini dalam rangka menyambut Hari Raya Natal yang lebih bernuansakan “sangat Indonesia banget”.
Tahun 2017 ini, kembali segenap umat Gereja St. Agustinus Paroki Sungai Raya– sedikit di luaran Kota Pontianak- berhasil membuat sesuatu yang ‘wah’.
Bukan dalam artian telah menghamburkan banyak uang untuk sesuatu yang ‘lain dari yang lain’. Melainkan lebih membawa suasana kebersamaan dan pentingnya menyuarakan semangat multikultural di kalangan umat katolik di Keuskupan Agung Pontianak.
Tahun ini dan masih seperti tahun-tahun sebelumnya, Paroki St. Agustinus Sungai Raya Kabupaten Pontianak ingin membuat kejutan lagi. Bersama segenap anggota umat katolik setempat, Pastor Paroki berprakarsa menciptakan sebuah karya seni unik dan kreatif sekaligus punya makna liturgis.
Ini sekedar memori melawan lupa.
Di tahun 2015 yang lalu, Paroki St. Agustinus Sungai Raya juga membuat Pohon Natal Raksasa yang terbuat dari 6.000-an kuntum mawar dari bahan daur ulang koran bekas. Pohon Natal Raksasa itu punya ketinggian 10 meter sebagaimana pernah dilansir oleh Harian Pontianak Post waktu itu.
Pohon Natal Layar
Bulan Desember tahun 2017 ini, kejutan lain terjadi lagi. Kali ini, ‘jenis’ Pohon Natal Raksasa yang berhasil dibangun dan kini sudah berdiri tegak ini punya warna dan ‘misi’ berbeda.
Menurut yang punya ide kreatif ini yakni Pastor Joanes Yandhie Buntoro CDD, Pohon Natal Raksasa di kompleks hamalamn Gereja St. Agustinus – Paroki Sungai Raya ini bermotif multikultural.
Menurut Pastor Yandhie CDD – pastor kepala Paroki St. Agustinus– Pohon Natal yang dia ciptakan itu harus punya nafas atmosfirnya berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini, kata dia, Pohon Natal 2017 itu berbentuk layaknya sebuah layar kapal dan setinggi 9,5 meter.
“Namanya adalah Pohon Natal Layar,” kata Romo Yandhie CDD menjawab Sesawi.Net di lokasi pembangunan Pohon Natal dengan atmosfir khusus ini.
Nama khusus ini diambil, karena Pohon Natal ini berbentuk layar segitiga sama kaki. Ada sebanyak enam layar dimana bagian bawah layar dasar memiliki ukuran panjang dan lebar 9,75 cm dan satu layar di puncak.
Motif batik Jawa, Dayak, dan modern
Keunikan Pohon Natal Layar ini terletak pada motifnya.
Motif itu dikerjakan dengan cara disulam dengan mengambil bahan dasar yakni tali rafia warna-warni dan kemudian dipasang di atas jaring seperti keramba. Motif yang diambil adalah batik Jawa, batik Dayak, dan batik modern.
Menurut Romo Yandhie, motif yang beraneka ragam ini melambangkan umat katolik yang juga beraneka ragam.
Umat katolik Indonesia –termasuk di Keuskupan Agung Pontianak—itu datang dari berbagai etnis dengan banyak perbedaan latar belakang etnis, budaya, dan bahasa. Namun, begitu menjadi katolik, kata Pastor Yandhie CDD, masing-masing orang katolik itu lalu merasa telah disatukan dalam satu ‘wadah bersama’ bernama Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Ingatlah akan rumusan teks Credo – Aku Percaya (Syahadat Iman Para Rasul)
Pastor Yandhie bicara tentang acuan biblis ketika mengartikan Pohon Natal Layar ini sebagai ungkapan seni visual untuk melambangkan layar para Rasul yang siap menjaring jiwa dengan menerima angin Roh Tuhan.
Rafia warna-warni
Alasan mengapa sengaja menggunakan tali rafia sebagai bahan sulaman, begitu jawaban Pastor Yandhie CDD, hal itu karena tali rafia memiliki warna beraneka ragam.
“Proses pembuatannya cukup rumit. Banyak kali telah terjadi kerja pengulangan,” kata Anton, OMK yang aktif terlibat dalam proses pembuatan Pohon Natal Layar.
“Proses membuat Pohon Natal ini makan waktu sekitar tiga pekan lebih,” ungkapnya kemudian.
Ada 40-an umat dari berbagai kring yang terlibat dalam proses pembuatan Pohon Natal Layar ini. Mereka adalah para bapak-ibu, OMK, dan anak-anak SEKAMI.
Ibu Yohanes mengungkapkan hal yang sama. “Waktu pertama kali menyulam tali rafia ini, saya sempat stres. Dalam waktu tiga jam, saya hanya mendapat sedikit sulaman dan itu pun harus sering bongkar pasang lantaran salah sulam pola,” ujarnya.
“Namun setelah bisa, kami malah menjadi asyik dan lupa waktu hingga bisa bekerja sampai subuh,” lanjutnya.
Bersama ibu-ibu lain, Bu Yohanes mengungkapkan rasa bangga mereka akan sosok pastor parokinya yang memiliki dedikasi luar biasa. Mereka langsung tunjuk hidung: Pastor Joanes Yandhie Buntoro CDD, seorang imam Kongregasi Murid-murid Tuhan (Congregatio Discipulorum Domini)
Itu karena pastor selalu ikut terlibat langsung; mulai dari memberikan training awal sampai hasil akhir.
Proses panjang
Anton menjelaskan bagaimana proses pembuatan Pohon Natal Layar tersebut.
- Langkah awalnya adalah menyiapkan bahan-bahan dasar seperti tali rafia, jaring keramba. Alat-alat yang digunakan adalah mal untuk memotong pola, cat kompresor, dan jarum jahit karung untuk menyulam.
- Setelah itu, mulailah proses pembuatan sketsa dari kertas yang diletakkan di atas jaring dan kemudian semprot dengan cat kompresor; lalu biarkan kering.
- Langkah ketiga adalah pembuatan bingkai masing-masing pola: motif batik Dayak, batik Jawa dan batik modern. Ini dilakukan dengan menggunakan tali rafia yang disulam sesuai sketsanya.
- Langkah terakhir adalah mengisi bingkai-bingkai sketsa itu dengan sulaman tali rafia sesuai dengan pola masing-masing.
- Kemudian hasil beberapa lembar sulaman digabung dengan cara dijahit yang membentuk pola segi tiga sama kaki.
Pengaturan jadwal kerja penyulaman tidak dibatasi. Mau kapan saja, terserah kapan umat sempat. Mereka boleh membuatnya di kring masing-masing. Dengan panduan dari koordinator kring, mereka melakukannya dengan bekerja bareng.
Juga di stasi
Selain di pusat paroki, pembuatan Pohon Natal Layar yang sama juga dikerjakan di Stasi St. Petrus dan St. Kanisius yang berlokasi dekat Bandara Supadio Pontianak.
Pohon Natal Layar ini berbahan dasar kain batik asli, ada enam lapisan layar tingginya 7,5m.
“Saya ingin, tahun ini dibuat adil. Tidak hanya di pusat paroki, tapi Pohon Natal itu juga harus ada di stasi,” ungkap Pastor Yandhie CDD.
Semangat multikultural
Ada kebanggaan dan rasa puas, ketika hasil kerja keras selama ini akhirnya terwujud sempurna: Pohon Natal Layar di halaman Gereja St. Agustinus – Paroki Sungai Raya Kabupaten Pontianak dan di stasi.
Coraknya juga indah dan unik, apalagi kalau lampu-lampu itu menyala di malam hari.
Rasa capai bahkan stres yang sempat dialami kini berbuah sukacita dan rasa bangga. Rupanya semua pengorbanan itu tidak sebanding dengan sukacita yang kini dirasakan oleh semua pihak.
Banyak pihak merasakan bahwa Pohon Natal Layar ini tidak hanya memberi penerangan di waktu malam dengan pendaran sinarnya yang indah.
Lebih dari itu, Pohon Natal Layar di Gereja St. Agustinus Paroki Sungai Raya Kabupaten Pontianak ini juga menyuarakan semangat multikultural.
Inilah gema ke-bhinnekaan- Indonesia yang hari-hari ini mesti lebih banyak disuarakan oleh semua pihak. Umat Katolik di Keuskupan Agung Pontianak harus menyadari sungguh bahwa menjadi Indonesia itu berarti kita harus bisa menghargai keragaman: multi etnik, multi bahasa, multi tradisi budaya, multi nilai.
Singkatnya, Indonesia adalah negara dan bangsa yang multi kultural. (Berlanjut)