Puncta 21.01.20 PW St. Agnes, Perawan dan Martir: Fortiter in Re, Suaviter in Modo

0
464 views
Ilustrasi: Melayani.


Markus 2:23-28

SUATU kali saya didatangi sepasang bapak ibu yang akan menikahkan anaknya. Mereka memohon kepada saya untuk memberkati perkawinan anaknya pada hari kamis pahing jam 08.10 tepat.

Mereka sudah mendatangi mbah dukun. Itu pesan dari mbah dukun yang beranggapan bahwa itu adalah waktu terbaik untuk melangsungkan perkawinan.

Yang memprihatinkan itu mereka takut kalau melanggar perintah mbah dukun. Nanti akan terjadi apa-apa kalau waktunya tidak ditepati.

Saya jawab saja sambil berseloroh, ”Lha waktu itu saya juga lagi sembahyang Pak. Saya juga takut kalau tidak melakukan itu saya akan dihukum Tuhan.”

Lalu saya menjelaskan bahwa semua hari itu baik. Tuhan menciptakan semuanya baik. Tidak ada ini hari jelek,lalu besuk hari baik.

Ini hari keberuntungan. Besuk hari kutukan. Ingat, Tuhan menciptakan semua hari adalah baik.

Yesus diprotes oleh orang-orang Farisi karena murid-muridNya memetik gandum pada hari Sabat. Hari Sabat dikhususkan untuk Tuhan. Maka orang tidak boleh melakukan apa-apa kecuali untuk sembahyang.

Bahkan kalau ada lembu yang terperosok ke sumur pun, tidak akan diangkat karena harinya Sabat. Sikap kaku dan legalistis ini dibuat oleh orang Farisi dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan.

Lalu mereka malarang dan menuntut orang agar mengikuti aturan mereka. Orang Farisi itu bertindak seolah seperti Polisi Tuhan; melakukan sweeping, mengancam, merusak, menghancurkan apa saja yang dianggap melanggar aturan Tuhan.

Padahal itu hanyalah aturan manusia. Kalau Tuhan membutuhkan polisi, berarti Tuhan itu tidak kuasa mengatur manusia.

Lalu dimana kemahakuasaan Tuhan?

Yesus meluruskan pandangan orang-orang Farisi yang melenceng itu. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.”

Itu berarti juga, aturan dibuat untuk manusia, bukan manusia diperbudak oleh aturan.

Romo Claudio Aqvuaviva SJ yang pertamakali mengatakan Fortiter in re, suaviter in modo. Kuat dalam hal prinsip, namun lembut dalam cara mencapainya.

Mungkin seperti ungkapan Jawa, “Ngluruk tanpa bala. Menang tanpa ngasorake.” Orang-orang Farisi itu langsung “antem krama” atau tabrak dulu urusan belakang.

Mereka merasa diri sebagai polisinya Tuhan yang merasa diri sebagai penjaga hukum. Gaya seperti itu juga dilakukan oleh Saulus ketika menganiaya, mengejar, memenjarakan murid-murid Tuhan, karena dia adalah orang Farisi yang taat hukum.

Yesus memberi teladan melakukan segala sesuatu dengan lemah lembut, kasih sayang, menghormati dan menghargai, toleransi dan menjunjung martabat manusia.

Mari kita meneladan Kristus Sang Anak Manusia.

Toko Laris di Jalan Pemuda
Menjual berbagai aneka kebutuhan.
Marilah menghargai sesama manusia.
Lebih dari sekedar melaksanakan aturan.

Cawas, sebentar tapi bersinar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here