Suster OSA dalam Tantangan Zaman: Sr. Joanita Dekker OSA, Bidan Kampung di Tumbang Titi (3)

0
569 views
Ilustrasi: Sr Joanita Dekker OSA menyapa pasien lokal di pedalaman Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar, dengan simpati dan penuh perhatian. (Dok OSA/Repro MH)


SUSTER Joanita Dekker OSA tiba di Ketapang, Kalbar, langsung dari Nederland pada tanggal 15 Maret 1958. Ia datang dengan menyangking di kepalanya pengetahuan profesional sebagai bidan. Hanya saja, ia belum berhasil merampungkan studi kebidanan tersebut sehingga brevet (baca: izin praktik) pun belum dia miliki.

Karena itu, begitu tiba di Ketapang, maka tak lama kemudian Sr. Joanita Dekker OSA lalu disuruh pergi ke Jakarta untuk belajar ilmu kebidanan di RS Sint Carolus Jakarta. Singkat cerita, brevet bidan pun akhirnya mampir di pundaknya pada tahun 1960.

Namun, di Ketapang saat itu sudah mulai berkibar nama tenar “Bidan Bersepeda” alias Sr. Norbertha OSA.

Sr. Joanita Dekker OSA, Bidan Kampung di Tumbang Titi, semasa menjalani studi kebidanan di RS Sint Carolus Jakarta. (Dok OSA/Repro MH)

Karena itu, atas saran dan usul Sr. Euphrasia Laan OSA – suster misionaris OSA generasi pertama—maka Sr. Joanita Dekker OSA langsung bertolak menuju Tumbang Titi.

Di tahun 1960-an, Tumbang Titi masih berupa kawasan hutan lebat. Namun, kondisi geografis serta minimnya fasilitas publik –di antaranya tidak adanya transportasi umum—tidak lantas menjadikan Sr. Joanita Dekker OSA merasa diri ngepèr dengan kondisi riil seperti itu.

Sr. Joanita Dekker OSA bersepeda keliling kampung-kampung di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)
Masuk rumah panggung masyarakat lokal di pedalaman Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

“Saya justru merasa kurang hepi kalau harus bekerja di ‘pusat kota’ Ketapang, lantaran di sana sudah ada Bidan Bersepeda yakni Sr. Norbertha OSA,” ujarnya dalam sebuah percakapan di Negeri Belanda beberapa waktu lalu.

“Karena itu, usulan dan rekomendasi Sr. Euphrasia Laan OSA agar saya sebaiknya pergi ke Tumbang Titi langsung saya dukung bersamaan dengan tugas resmi yang disematkan oleh Pemimpin Biara OSA Ketapang yakni Sr. Wulfrana OSA,” tambah dia.

Tiga jam naik sepeda

Sepeda onthel yang harus dikayuh dengan dua kaki menjadi andalan Sr. Joanita Dekker OSA untuk bisa mencapai sejumlah lokasi, baik itu di ‘pusat kota’ Tumbang Titi atau di luaran dan kampung-kampung.

Sr. Joanita Dekker OSA — Bidang Keliling Kampung di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

Sekali waktu, Sr. Joanita Dekker OSA harus pergi ke sebuah perkampungan di luar ‘pusat kota’ Tumbang Titi. Maka, pedal sepeda pun lalu dia kayuh menuju lokasi tersebut.

“Butuh waktu sekitar tiga jam untuk bisa sampai ke lokasi desa tersebut,” paparnya Sr. Joanita OSA.

“Namun, begitu saya berhasil sampai di lokasi, malah tidak ada satu pasien pun yang bisa saya temui. Yang ada malah pasien bapak-bapak dan anak-anak,” kenangnya.

Karena tidak ada pasien perempuan hamil, maka bapak-bapak dan anak-anak juga minta diperiksa kepala, perut, dada, dan lainnya.

Bersaing dengan dukun

Layanan kesehatan yang diampu oleh Sr. Joanita Dekker OSA di pedalaman Tumbang Titi dan ‘pusat kota’ di tahun 1960-an itu juga mendapat tantangan riil di lokasi pelayanan. Utamanya di kampung-kampung.

Pada waktu itu, semua proses persalinan ibu-ibu hamil praktis ditangani oleh dukun beranak.

Sr. Joanita Dekker OSA — Sang Bidan Keliling Kampung di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar mulai tahun 1960. (Dok OSA/Repro MH)

“Jadi, ketika saya bertemu pasien bapak-bapak berikut anak-anaknya itu, saya tanya…  Loh di mana ibu-ibu anak-anak ini?,” tutur Sr. Joanita Dekker OSA mengulik pengalamannya mengabdi di bidang kesehatan ibu dan anak pasca melahirkan di Tumbang Titi.

Nah, kalau sudah ditanyai soal keberadaan ibu-ibu, maka “’sejuta” alasan akan segera muncul keluar dari mulut para bapak tersebut.

“Ada yang bilang begini. Oh suster, mohon maaf, isteri tidak bisa ikut datang karena lagi di ladang,” kata Sr. Joanita OSA.

Lain orang punya alasan berbeda. “Isteri baru ke hutan mencari sesuatu,” kenang Sr. Joanita OSA sembari menirukan omongan para bapak di Tumbang Titi yang menjadi pasiennya di tahun 1960-an.

Sr. Joanita Dekker OSA bersama penduduk lokal Dayak dan Melayu di Tumbang Titi, awal tahun 1960-an. (Dok OSA/Repro MH)

Ketidakhadiran pasien ibu-ibu hamil di “tempat praktik” Sr. Joanita OSA –baik di Poliklinik Susteran OSA Tumbang Titi dan di beberapa titik di pedalaman itu– karena di sana sudah ada banyak dukun beranak yang lebih dahulu “buka praktik”.

Karena kondisi sosial sudah seperti itu, demikian kata Sr. Joanita, “Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menjalin ikatan emosional; pertama-tama dengan pasien bapak-bapak itu dan berikutnya barulah dengan isteri-isteri mereka.”

Seiring dengan perjalanan waktu, maka ikatan emosional itu pun akhirnya bisa terjalin erat dengan pasien ibu-ibu hamil.

Beda praktik, beda penanganan

Saatnya, “panenan” itu tiba.

Ketika melakukan pemeriksaan kehamilan, maka para pasien ibu-ibu hamil itu pun langsung dibuat terperanjat oleh “informasi baru” yang langsung keluar dari mulut Sr. Joanita OSA.

“Baru kali ini,“ begitu bunyi omongan para ibu hamil yang akhirnya menjadi pasien Sr. Joanita OSA, “cara periksa perut perempuan hamil ini sungguh berbeda sekali. Suster kasih tahu kepada kami. Ini loh letak kepala janin. Ini loh umur janin sudah sampai berapa bulan,” kata Sr. Joanita OSA ingin menirukan komentar para pasien ibu-ibu hamil dan suami mereka yang ikut datang mengantarkan isterinya periksa kehamilan.

Sr. Joanita Dekker OSA bersama suster lain di Tumbang Titi tahun 1960-an. (Dok OSA/Repro MH)

Namun, sayang seribu sayang.

Kadang kala, para pasien ibu-ibu hamil itu datang sudah sangat terlambat, ketika akhirnya bisa menjumpai Sr. Joanita OSA.

“Mereka datang ke poliklinik susteran atau tempat lain di pedalaman sudah dalam keadaan gawat. Usia kehamilannya sudah ‘tua’, tapi kadang juga masih ‘muda’. Namun, kondisi hidup si janin sudah mati,” tutur Sr. Joanita Dekker OSA sembari menerawang.

Bidan cabut gigi

Sekali waktu ada kejadian menarik yang berlangsung di Tumbang Titi di tahun 1974.

Anton Suparnjo, seorang bruder FIC di Tumbang Titi waktu itu, mengaduh sakit kepada Sr. Joanita OSA di poliklinik susteran.

Waktu itu belum ada dokter gigi buka praktik di Tumbang Titi. Maka, tak ada pilihan lain bagi Anton untuk segera menyambangi Sr. Joanita OSA agar bisa “berbuat sesuatu”.

Bersama warga lokal di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

Singkat cerita, demikian kenang Anton Suparnjo di pertengahan April 2019, maka Sr. Joanita OSA pun langsung “berganti peran” menjadi seorang “dokter gigi”.

Ternyata, operasi dadakan itu pun berhasil dan rasa ngilu nyeri sakit di gusi dan gigi Anton itu pun segera hilang dari rongga mulutnya.

“Sungguh saya sampai tak habis pikir sekarang, kenapa juga Sr. Joanita OSA berani berbuat ‘nekat’ seperti itu,” kenang Anton ngakak ketika mengulik kisah lawas di tahun 1974.

Berkeliling kampung

Perjalanan panjang menarik simpati dan akhirnya berhasil menambatkan rasa simpati itu hingga sampai tingkat kepercayaan penuh –demikian kesimpulan Sr. Joanita OSA— sungguh membutuhkan waktu sangat panjang.

Ia berkarya di sejumlah titik lokasi antara lain di Tanjung, Serengkah, Nanga Tayap, dan Riam – sebuah lokasi permukiman orang-orang Melayu yang jauh dari pusat kota Tumbang Titi.

Mengunjungi keluarga dan masuk rumah mereka di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

Namun, perjuangan menantang zaman itu bagi Sr. Joanita OSA juga tidak sia-sia. Tentu yang dia cari bukan nama tenar karena telah berhasil memberi pelayanan maksimal sebagai tenaga medis berkualifikasi bidan berijazah dengan brevet di tangan.

Kalau pun nama tenar sebagai “Bidan Berkeliling Kampung” itu akhirnya melekat pada sosok Sr. Joanita Dekker OSA, maka ia pun lalu merespon hal itu dengan rendah hati.

Begitulah kisah Sr. Joanita Dekker OSA dalam upayanya bisa merebut hati masyarakat Dayak di Tumbang Titi mulai tahun 1960-an

Ujung-ujungnya, Sr. Joanita Dekker OSA lalu dikenal oleh masyarakat uas di Tumbang Titi, Ketapang, Kalbar, sebagai “Bidan Keliling Kampung”. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here