Suster OSA Menyemai Panggilan di Ketapang: Kejutan, Empat Gadis Dayak Mendadak Ingin Jadi Suster (1)

0
564 views
Empat gadis remaja Dayak penghuni Asrama Suster OSA Ketapang di tahun 1954 yang mendadak "kejangkitan" minat bersama ingin menjadi suster OSA. (Dok OSA/Repro MH)

TAHUN 1954, para suster OSA di Ketapang mulai merintis karya pendidikan non formal berupa kursus keterampilan khas remaja putri dan asrama.

Sungguh tak disangka, bahkan oleh para suster OSA itu sekalipun, di antara 12 orang remaja puteri –jumlah total semua penghuni asrama perempuan di Biara OSA Ketapang itu– tiba-tiba saja ada yang melontarkan permintaan “aneh” yakni ingin menjadi suster.

“Hah…?,” begitu kata Sr. Teresia OSA (81), ketika mencoba menirukan “reaksi kaget” penuh kebingungan, manakala para suster misionaris Belanda tiba-tiba saja mendengar keinginan mendadak mereka ingin jadi suster.

“Di tahun 1954 itu, jumlah penghuni asrama Susteran Biara OSA di Ketapang ada sejumlah 12 orang. Saya adalah salah satunya,” ungkap Sr. Teresia OSA yang di tahun 2019 ini sudah merangkai usia genap 81 tahun.

Suster OSA dengan gadis-gadis remaja puteri penghuni asrama Susteran OSA Ketapang. (Dok OSA/Repro MH)

Sebelum menjadi seorang Novis OSA dan kemudian memilih nama baru biara dan “menjadi” Sr. Teresia OSA seperti sekarang ini, ia punya nama asli “Makarina Tembaga”, identitas asali pemberian orangtuanya di Menyumbung.

Ia pun lalu berkisah diri bagaimana sebagai gadis remaja yang di tahun 1954 itu masih bernama “Makarina Tembaga” dan tiba-tiba saja lalu mendadak ingin menjadi seorang suster biarawati.

“Saya ingin menjadi sama seperti mereka; ingin bisa menjadi seorang suster biarawati OSA,” kata suster kelahiran Menyumbung, Ketapang, tanggal 22 Februari  1938 ini.

Waktu itu, kata sustersepuh yang masih suka berkebun ini, dari 12 orang gadis Dayak penghuni asrama ada empat orang yang juga punya keinginan sama: ingin menjadi suster biarawati OSA.

Sungguh terkejut

Sr. Mathea Bakker OSA ketika mengisahkan kenangan itu juga memberi tekanan yang sama.

Bersama koleganya –sesama perintis misi OSA pertama ke Ketapang— “Saya ikut terkejut mendengar permintaan mereka berempat, anak-anak penghuni asrama yang ingin jadi suster OSA itu,” ungkapnya dalam sebuah wawancara di Nederland.

“Ya… itu betul. Kami dan terutama saya ingin menjadi ‘seperti’ mereka itu,” kenang Sr. Teresia “Makarina Tembaga” OSA dalam sebuah wawancara di tahun 2005 silam.

Empat gadis remaja Dayak yang di tahun 1954 menyatakan keinginannya mau menjadi suster biarawati OSA. (Dok OSA/Repro MH)

Konsep ingin “menjadi seperti mereka” itu memang lazim, ketika remaja putra maupun putri merasa ada “panggilan” menuju hidup religius dengan menjadi imam, suster, atau bruder.

Merawat orang sakit itu pekerjaan mulia

Namun bagi Makarina Tembaga yang di tahun 1954  itu baru berumur 16 tahun, maka “kriteria” itu mewujud lebih nyata lagi. Yakni, keinginannya seorang gadis remaja agar bisa juga melakoni hidup penuh pelayanan plus lainnya “seperti” para suster OSA bule itu.

Dan itu, kata Sr. Teresia OSA, “adalah model hidup dalam kerja pelayanan tanpa pamrih yang waktu itu dengan nyata telah ditunjukkan oleh tiga suster misionaris OSA. Dan pemandangann ‘indah’ itulah yang selalu saya saksikan di RS Daerah Ketapang di mana ketiga suster Belanda itu bekerja sebagai perawat.”

Makarina Tembaga –remaja kelahiran Menyumbung tahun 1938- itu mengaku dirinya sangat terkesan dengan sosok pribadi Sr. Mathea Bakker OSA, Sr. Desideria OSA, dan Sr. Maria Paolo OSA yang menurut pemandangannya, “Karya mereka sebagai perawat itu sungguh mulia dan menyentuh hati para pasien orang Dayak.”

Sr. Teresia yang aslinya bernama Makarina Tembaga, satu dari empat suster OSA pribumi Indonesia generasi pertama.

“Setiap hari, tiga suster misionaris OSA itu pergi naik sepeda onthel dari Biara di Jl Radio menuju RS Daerah Ketapang … Itu sungguh merupakan satu pemandangan yang ‘indah’ untuk ukuran semua orang pada waktu itu. Saya ingin juga sekali waktu bisa ‘naik’ sepeda kayuh seperti itu dan sama seperti mereka,” ungkap Sr. Teresia OSA.

Pada dasarnya, para suster OSA misionaris dari Negeri Belanda yang baru lima tahun tinggal di Ketapang itu mengaku “belum siap” menerima Aspiran (peminat. Demikian penegasan Sr. Mathea Bakker OSA. Namun, akhirnya para suster OSA itu pada waktunya juga berani memberi “lampu hijau” kepada empat gadis remaja Dayak dari kawasan pedalaman itu untuk bergabung masuk agar bisa menjadi “seperti” mereka.

Ini keputusan berani Sr. Wulfrana OSA yang sebagai Superior Misi OSA di Ketapang mengambil prakarsa menerima Aspiran dari warga lokal.

Harap tahu saja, Sr. Wulfrana OSA dan Sr. Clementina OSA baru datang ke Ketapang tahun 1953, sementara lima suster OSA lainnya yang memang jauh lebih muda telah terlebih dahulu mendarat di Tanah Kayong tanggal 6 Desember 1949.

Akhirnya,  empat gadis Dayak –semuanya para penghuni asrama itu— boleh “mengikuti irama hidup para suster” sebagai Aspiran.

Mereka adalah:

  • Makarina Tembaga dari Menyumbung.
  • Marcia Angela Enjol dari Randau,
  • Julia Joka dari Randau.
  • Florentina Dondot dari Sedukan.
Sr Teresia OSA di tahun 2019 ini sudah berumur 81 tahun. Ia kelahiran Menyumbung dan punya nama asali pemberian orangtuanya sebagai Makarina Tembaga. (Tim Kerja Suster Medior OSA)

  • Makarina Tembaga “bermetamorfose” menjadi Sr. Teresia OSA, kini berumur 81 tahun.
  • Maria Angela Enjol mengambil nama biara sebagai Sr. Agustina OSA.
  • Julia Joka menjadi Sr. Agnes OSA dan kini sudah meninggal dunia.
  • Florentina Dondot menjadi Sr. Albertina OSA dan sudah meninggal dunia.

Keempat gadis Dayak itulah yang di tahun 1954 tiba-tiba merasa diri “mendadak ingin jadi suster” lantaran telah terpesona oleh “gaya hidup” para suster misionaris OSA. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here