BULAN Februari 1952 adalah awal bagi dua suster senior yakni Sr. Wulfrana OSA dan Sr. Clementina mengawali karya misi mereka di Ketapang. Mereka datang sebagai misionaris OSA ke Ketapang “gelombang kedua” setelah terjadi visitasi Pemimpin Umum OSA Moeder Sr. Agneta OSA ke Ketapang sebelumnya, yakni di tahun 1950.
Sr. Wulfrana langsung kebagian tugas menjadi Suster Kepala Biara OSA Ketapang dan itu berarti juga ikut menggeser posisi Sr. Euphrasia Laan OSA yang waktu itu masih boleh dibilang terlalu “muda” untuk mengemban tanggungjawab besar tersebut.
Sr. Clementina OSA yang juga masuk kategori suster senior resmi didapuk menjadi pemimpin “projek” besar merintis karya pendidikan keterampilan khas perempuan dan asrama.
Karya ini dirintis guna menampung para remaja puteri yang datang dari berbagai daerah ke “pusat kota” di Ketapang agar mereka bisa tinggal dan di situ pula mereka bisa “bersekolah”.
Tantangan sekaligus hiburan
Kedatangan dua suster senior itu ke Ketapang di bulan Februari 1952 itu ternyata lalu mendatangkan sekaligus tantangan dan terbukanya karya baru di Tumbang Titi, sekitar 80-an km dari Ketapang.
Tentang “tantangan” itu, mantan Suster Kepala Biara OSA Ketapang Sr. Euphrasia Laan OSA dengan amat jujur mengatakan berikut ini.
Lazimnya manusia di mana pun dan itu bisa menimpa siapa pun juga, begitu “lengser” dari posisi sebagai pemimpin biara, maka pastilah ada “krisis emosional” yang datang menghampirinya.
Sr. Euphrasia Laan OSA yang di tahun 1952 belum genap berumur 30 tahun juga mengalami “hempasan batin” tersebut.
Setelah posisinya sebagai Kepala Biara OSA Ketapang dipegang oleh Sr. Wulfrana OSA yang jauh lebih senior, maka dia sekaligus senang dan juga “sedih”.
Senang, karena tanggungjawabnya sebagai pemimpin komunitas dan penanggungjawab rintisan karya misi OSA di Ketapang sudah beralih ke “tangan orang lain”.
Pengalaman ditolak
Ia sedih karena usulannya kepada Sr. Wulfrana OSA agar dia diberi kesempatan “kuliah” ke Jakarta untuk mengikuti program-program kursus keterampilan khas perempuan ditolak mentah-mentah.
“Saya sebenarnya ada keinginan mengikuti kursus di Jakarta, ingin mengenal jenis-jenis masakan Indonesia dan bagaimana itu menyajikannya …. namun gagasan itu ditolaknya dengan serius,” paparnya dalam sebuah wawancara di Nederland.
Tentang idenya untuk pengembangan karya di Ketapang dengan program pengembangan kursus keterampilan khas remaja perempuan seperti menjahit dan tata boga, katanya sembari menirukan komentar Sr. Wulfrana OSA terhadap usulannya, “Itu sudah bukan urusan dan tanggungjawabmu. Titik.”
Harap diketahui, begitu tiba di Ketapang, Sr. Clementina OSA juga sudah mendapat “lampu hijau” dari Nederland untuk segera membuka program kursus pelatihan keterampilan khas perempuan dan asrama.
Dengan begitu, maka usulan Sr. Euphrasia Laan OSA saat itu sepertinya “menghantam tembok teramat keras”, karena ditolaknya mentah-mentah atas idenya ingin mengembangkan program kursus.
“Bahkan bagi seorang suster OSA pun, taat kepada Pemimpin itu juga tidak mudah,” katanya menerawang. (Berlanjut)