Eksegese Hidup Orang Pedalaman: Elektabilitas Tuhan Yesus di Mata Publik

0
213 views
Ilustrasi: Yesus digoda iblis by Crossroad Initiative


Yoh 7:40-53

KEBETULAN saat ini, publik lagi alot dengan Tahun Elektoral. Dan tanggal 17-4-2019 adalah penentuan memilih seorang pemimpin dalam masa kepemimpinan untuk lima tahun ke depan.

Sambil menunggu pencoblosan, para “capres dan caleg” sibuk mendesain semua opini, penampilan dengan slogan dan iklan yang memukau lewat medsos.

Tujuan utamanya, mau menggiring psikologi dan kesadaran publik supaya bisa dipilih dan terpilih.

Medsos sebagai sarana informasi, di satu pihak bisa membantu logika publik untuk menilai figur “capres dan caleg” yang bermutu sedang di lain pihak, digunakan oleh pendukung “capres dan caleg” untuk membungkam dan “membunuh” lawan politik.

Sekali lagi, di sini logika publik benar-benar mendapat tantangan dan ujian yang sangat berat.

Memilih “golput” secara moral tidak benar,  karena para moralis mengintimidasi publik sebagai warga yang membiarkan kekuasaan dipimpin oleh pihak yang miskin dalam memimpin publik.

Sedang opsi untuk memilih di antara keduanya, pemilih wajib memilih salah satu untuk dijadikan pemimpin bagi publik.

Kendati yang dipilih oleh publik itu, tidak bisa menjamin memuaskan semua pihak.

Padahal harapan utama publik memilih pemimpin adalah tidak hanya sekedar memuaskan publik secara logika, tetapi melalui kemenangannya itu, diharapkan bisa memberi kenyamanan supaya publik bisa bekerja, bergaul dengan siapa pun dan pulang ke rumah bisa tidur dengan tenang.

Adalah Tuhan Yesus seorang tokoh yang telah menaklukkan publik dan berdasarkan hasil survei pengamat politik di akar rumput mengatakan, Dia memiliki basis masa yang sangat besar.

Masa-Nya meliputi orang-orang yang tidak memiliki akses hidup ke lembaga agama Yahudi dan ke pemerintahan Romawi.

Hasil survei dari pengamat politik di zaman itu, tidak seheboh medsos di zaman sekarang. Survei di zaman-Nya murni dari metode fenomenologi dialogal.

Hasil survei pengamat politik ini tidak berhenti di akar rumput. Hasil survei ini didorong ke wilayah lembaga keagamaan Yahudi dan pemerintah yang sedang berkuasa di zaman itu.

Begitu hasil survei masuk ke sana, semua pemimpin agama dan raja yang sedang berkuasa pada gamang dan panik. Untuk mereka, kehadiran Tuhan Yesus ini seperti petir di siang bolong. Mereka tidak hanya takut kehilangan kekuasaan, tetapi ketakutan utama mereka adalah kehilangan simpati dari masa di akar rumput.

Dalam suasana kegamangan itu,  para ulama Yahudi memainkan politik agama amoral dan turut bekerja sama dengan penguasa untuk mencari cara menyingkirkan Tuhan Yesus dari publik. Pola politik seperti ini, tidak jauh amat dengan model politik yang ada di sini.

Agama dipakai untuk kepentingan jabatan dan kekuasaan. Dan memang dalam politik amoral selalu dipakai, satu-satunya cara untuk mengamankan jabatan dan kekuasaan adalah menghilangkan lawan.

Dan inilah yang akan dihadapi oleh Tuhan Yesus dengan ulama-ulama Yahudi dan penguasa di zaman itu.

Nabi Yeremia,pendahulu Tuhan Yesus, sudah mengalami hal itu dan dia berkata, “Tetapi aku dulu seperti anak domba jinak yang dibawa untuk disembelih, aku tidak tahu bahwa mereka mengadakan persepakatan jahat terhadap aku: “Marilah kita binasakan pohon ini dengan buah-buahnya! Marilah kita melenyapkannya dari negeri orang-orang yang hidup, sehingga namanya tidak diingat orang lagi!”  (Yer 11:19).

Dan pola yang sama itu, terdengar lagi di zaman Tuhan Yesus, “Maka timbullah pertentangan di antara orang banyak karena Dia. Beberapa orang di antara mereka mau menangkap Dia ….” (Yoh 7:43-45).

Demikian pula yang terjadi dengan pola kerja politik yang dipakai di negeri ini, menjegal dan memotong lawan.

Apakah pola politik seperti ini, bisa dibenarkan secara moral? Mungkin nilai moral ditaruh kemudian setelah pemilihan selesai.

Dan aneh saat semua kompetisi selesai, pihak yang menang akan menjelma menjadi seorang moralitas sedang pihak yang kalah akan susah menerima kekalahan dan yang belum move on menilai dan menggonggongi yang menang sebagi pelanggar moral.

Sekali lagi, sangat mungkin ke depannya publik akan selalu berhadapan dengan situasi seperti ini.

Renungan: Apakah pola politik seperti ini, ikut bersama psikologi dan kesadaranku selama ini?

Tuhan memberkati.

Apau Kayan, 6.04.2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here