TAHUN 1961, teolog besar Karl Rahner SJ sudah melansir gagasan mengejutkan. Gereja, kata dia, menghadapi kenyataan adanya pluralisme agama. Ini adalah tantangan raksasa, karena pluralisme agama akan menggoyang ketenangan Gereja yang selama ratusan abad berani mengklaim superioritas Gereja dan keunikan peran Yesus Kristus bagi umat manusia.
Beberapa tahun kemudian, Konsili Vatikan II akhirnya meyakini kebenaran tantangan di atas. Hasil konsili juga menyediakan ruang bagi keberanian Gereja mau “meralat” kepercayaan berlebihan selama berabad-abad mengenai ajaran tentang keselamatan. Singkat kata, Gereja pasca Konsili Vatikan II akhirnya “bertobat” dan mengakui bahwa di luar gereja pun ada keselamatan.
Kalau sebelumnya Gereja hanya selalu berkutat di dalam, kini –pasca Konsili Vatikan II—Gereja mengambil sikap berbeda: membuka diri keluar. Gereja justru ingin membangun relasi dan berdialog dengan aneka agama dengan semangat persahabatan. Adalah dekrit Nosta Aetate hasil Konsili Vatikan II yang merekomendasi semangat dialogis ini.
Gereja berdialog
Paus Johannes XXIII meletakkan semangat pembaruan diri (aggiornamento) Gereja dengan gagasan besar ingin menyelenggarakan konsili. Paus Paulus VI dan para Bapa Konsili Vatikan II berhasil menelorkan dokumen penting Nostra Aetate. Mendiang Beato Paus Yohanes Paulus II (YP II) akhirnya mewujudkan semangat dialogis itu dalam tindakan nyata.
Tak heran, sepanjang masa kepausannya (1978-2005) Beato YP II banyak melakukan perlawatan ke berbagai belahan dunia. Tak kalah penting, paus berdarah Polandia ini juga gencar merintis dialog persahabatan dengan berbagai tokoh agama dunia. Tradisi mengundang para tokoh agama dan mengajak mereka berdoa bersama di Assisi untuk mengkampanyekan perdamaian dunia merupakan contoh semangat dialogis yang dirintis oleh YP II sejak 27 Oktober 1986 (hlm. 93). Sampai sekarang, tradisi baik ini diteruskan oleh Paus Benediktus XVI.
Buku Yohanes Paulus II: Gereja Berdialog dengan demikian jangan pernah dipersepsi sebagai buku sejarah tentang kisah lawatan dan perjumpaan Beato Paus Yohanes Paulus II dengan berbagai tokoh agama. Buku ini lebih merupakan sejarah paparan atau ide-ide besar Beato Yohanes Paulus II atas pentingnya membangun semangat dialogis dengan agama-agama lain.
Panggilan iman
Mengapa harus berdialog dengan agama-agama lain? Secara historis, kemendesakan ini memang harus terjadi sebagaimana diamanatkan oleh Konsili Vatikan II melalui dekritnya Nostra Aetate. Namun, Beato Paus YP II memberi tekanan lebih atas kemendesakan ini.
Menurut Beato Paus YP II, berdialog merupakan cara hidup menggereja yang paling tepat di masa modern seperti sekarang ini. Gagasan indah ini tertuang dalam ensiklik pertamanya Redemptor Hominis, sekalipun ide sama juga pernah digulirkan Paus Paulus VI juga dalam ensiklik pertamanya Ecclesiam Suam.
Dalam sebuah tulisannya bertitel Dives in Misericordia, lagi-lagi Beato Paus YP II menggoreskan keyakinannya dengan mengatakan: hidup bersama dalam masyarakat tidak akan bisa terbangun dengan baik jika tidak ada dialog (hlm. 72).
Lagi-lagi dalam sebuah pesan yang ditujukan kepada Sekretariat Urusan Agama-agama non Kristiani tahun 1984, Beato Paus YP II menegaskan, dialog merupakan urusan fundamental Gereja. Dialog, kata Beato Paus YP II, adalah cara dan langkah Gereja untuk mewujudkan keterlibatannya dalam karya Allah.
Karena itu, kata Beato Paus YP II dalam sebuah pesan tanggal 28 April 1987, “Dialog adalah kehendak Allah dan karena itu harus dijalankan tanpa ragu. Dialog adalah panggilan iman. Motivasi berdialog adalah iman.” (hlm. 73).
Spiritualitas doa
Mengapa harus berdialog? Tentu jawabannya bukan karena diamanatkan Konsili Vatikan II. Melainkan lebih karena bersama-sama agama-agama lain, Gereja sangat berkepentingan membangun tata kehidupan bersama yang lebih baik. Sekaligus juga demi terbangunan kesatuan antarumat manusia (hlm.74). Dalam konteks ini menjadi relevan mengedepankan “spiritualitas” dialog yakni doa.
Doa dan semangat mengosongkan diri (kenosis) harus menjadi roh setiap dialog.
Kalau Gereja diamanatkan melakukan banyak dialog persahabatan dengan agama-agama lain, bagaimana harus memakai semangat itu dalam perspektif misi pewartaan iman? Dokumen Ad Gentes memberi jawaban: Gereja adalah jalan normal (ordinary) bagi keselamatan. Sementara di luar Gereja, umat beriman lain secara berbeda (extraordinary) menapaki jalan keselamatan yang satu dan sama (hlm. 83).
Oleh karena itu, toleransi dan saling hormat harus menjadi semangat bersama manakala dialog itu dilakukan. Beato Paus YP II memaknai toleransi itu sebagai sikap terbuka setiap agama untuk menghargai setiap perbedaan yang ada dan kesediaan mau mengenali nilai-nilai fundamental yang ada di setiap agama.
Menurut Beato Paus YP II, spiritualitas dialog yakni iman, doa, toleransi dan sikap hormat merupakan buah-buah Roh Kudus (hlm. 103).
Sistematika buku
Yohanes Paulus II: Gereja Berdialog bukanlah sebuah buku sejarah, apalagi semacam biografi Beato YP II. Ini merupakan buku sejarah teologi tentang “akar” semangat berdialog yang dihayati Beato Paus YP II.
Jadi, tak usah heran kalau buku ini terkesan terlalu “asyik” mengutip dokumen resmi atau naskah pidato hingga paparan bahasanya menjadi sangat berbau teologis.
Kekurangan paling menonjol buku ini adalah ketidakberanian editor memangkas rumusan-rumusan teologi yang terlalu panjang menjadi pembahasan yang sederhana dan pendek. Meskipun materinya berat, namun kalau enak dibaca pasti buku ini menjadi santapan jiwa yang renyah.
Sistematika buku ini diawali dengan sebuah pengantar mengenai fakta pluralisme agama dan aneka tantangannya. Penulis buku Romo Dr. Krispurwana Cahyadi, teolog Yesuit alumnus Universitas Innsbruck, lalu memaparkan sejarah munculnya keinginan semangat berdialog yakni Konsili Vatikan II (Bab I).
Kemudian dibahas realitas pluralisme (Bab II); pandangan Gereja menyikapi dialog agama (Bab III); paparan Beato Paus YP II kepada Sekretariat Dialog Agama (Bab IV); agama dan perdamaian (Bab V).
Ulasan mengenai dialog dengan Islam muncul pada Bab VI yang kemudian disambung dengan pembahasan mengenai Beato YP II dalam konteks teologi agama-agama (Bab VIII).
Buku sejarah teologi dialog agama ini jelas menarik dibaca. Bukan lantaran karena ditulis oleh seorang teolog Yesuit, melainkan lebih karena buku ini mengemukakan “sejarah” munculnya semangat dasar keinginan berdialog.
Dengan mengenali roh dan spiritualitas dialog, tentu akan menjadi enak bagi para pemerhati dan pelaku dialog-dialog agama untuk bisa menempatkan diri dan langkahnya itu sebagai bagian dari perwujudan iman. Sebab, seperti ditulis Romo Krispurwana Cahyadi SJ ini di bagian awal, menjadi orang beriman di zaman modern seperti sekarang ini memang tak bisa lain kecuali harus menjadi seorang yang bersemangatkan dialogis.
Kata buku ini, “to be religious today is to be interreligious”
Judul buku : Yohanes Paulus II: Gereja Berdialog
Penulis : Krispurwana Cahyadi SJ
Penerbit : Kanisius Yogyakarta (2011)
Jumlah halaman : 312 hlm.