INI sebuah catatan refleksi pribadi dalam rangka menyambut pesta peringan 100 Tahun Kongregasi Bruder MTB di Indonesia 1921–2021.
Tahun Istimewa
Tahun 2021 merupakan tahun istimewa bagi Kongregasi Bruder Kristiani Santa Maria Perawan Tersuci dan Bunda Allah Yang Dikandung Tanpa Noda (Kongregasi Bruder MTB) di Indonesia.
Nama sepanjang itulah identitas resmi Kongregasi Bruder MTB seperti tertulis di dalam Konstitusi. Saat ini, masyarakat mengenalnya sebagai Kongregasi Bruder MTB.
Seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1921, lima bruder pertama dari Huijbergen, Belanda, berhasil tiba mendarat di kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Berbagai versi
Terdapat beberapa versi mengenai tanggal kedatangan para bruder misionaris pertama Bruder MTB itu. Buku Sejarah Kongregasi Bruder-bruder MTB yang ditulis Br. Aloysius MTB menulis sebagai berikut:
“Tanggal 9 Maret 1921, kelima Bruder MTB pertama berhasil mendarat di Pontianak, dan kemudian meneruskan perjalanan mereka hari berikutnya dengan kapal ke Singkawang”.
Sedangkan Kongregasi saat ini merayakannya pada tanggal 11 Maret.
Namun pada haikatnyanya bahwa para Bruder MTB pertama itu telah memulai karya misinya pada tanggal keberangkatannya dari Belanda, yaitu pada tanggal 21 Januari 1921.
Lima bruder perintis misi
Kelima bruder yang masih terhitung sangat muda; dengan umur kurang lebih 30-an tahun. Kelima bruder perintis misi karya Kongregasi Bruder MTB di Indonesia adalah:
- Br. Canisius van de Ven MTB.
- Br. Seraphinus van Tilborg MTB.
- Br. Maternus Brouwers MTB.
- Br. Longinus van Spreeuwel MTB.
- Br. Leo Geers MTB.
Mereka berangkat dengan Kapal Api Patria dari Rotterdam pada tanggal 21 Januari 1921, mengarungi lautan; berlayar melalui Teluk Biskai, Laut Tengah, Samudera Hindia. (Rob Wolf, 2004, p. 160).
Diceritakan juga oleh Rob Wolf dalam bukunya Huijbergen dan Ujung-ujung Dunia bahwa untuk kurang lebih dua tahun para bruder pertama tersebut “menempati rumah milik seorang penduduk Cina, namun kondisi rumah itu sudah reyot dan berdiri di antara pohon-pohon karet dan kelapa”.
Rumah itu berlokasi dekat dengan Pastoran Gereja Santo Fransiskus Singkawang.
Br. Seraphinus OFMCap lalu membenahi rumah tersebut hingga layak ditempati. Pada tahun 1923, para bruder menempati rumah baru; rumah pertama bertingkat dan berdinding semen di kota Singkawang dan rumah ini menjadi Rumah Biara Pertama Bruder MTB di Indonesia.
Saat ini, rumah tersebut masih berdiri di tempat sama dan dijadikan museum Bruder MTB dengan nama “Museum Mgr. van Hooydonk”- nama Uskup Keuskupan Breda, pendiri Kongregasi Bruder MTB.
Karya awal
Pada tanggal 25 September 1854, Mgr. J. van Hooydonk menetapkan Anggaran Dasar dan Konstitusi Kongregasi Bruder MTB yang telah dirintis pendiriannya sejak tahun 1851.
Saat itu, nama identitasnya disebut sebagai ‘Bruder-bruder dari Huijbergen’. Ini dengan maksud untuk meneruskan karya Bruder-bruder CSA yang bersedia membantu bapak uskup untuk menangani, merawat, dan mengasuh anak-anak yatim piatu korban perang.
Mereka datang dari Oudenbosch ke Huijbergen atas undangan Mgr. J. van Hooydonk. Setelah tiga tahun, karena berbagai sebab, maka para Bruder CSA kembali ke Oudenbosch.
Oleh bapak uskup karya tersebut kemudian diserahkan penangannya kepada ketiga pemuda: Petrus Kerremans, Yohanes Broumels, dan Henricus Claeren, yang dikemudian hari menjadi para Bruder MTB pertama (Rob Wolf, 2004, p. 7).
Anak-anak tersebut tinggal dalam sebuah asrama, agar dapat diberikan pendidikan dasar. Nilai-nilai dasar kongregasi yang sejak dini ditanamkan oleh Mgr. J. van Hooydonk kepada para bruder, terkenal dengan sebutan “Simpliciter et Confidenter” yang artinya kesederhanaan dan kepercayaan.
Hidup dan karya mereka dijiwai oleh semangat kesederhanaan dan saling percaya.
Karya pendidikan dengan mengajar
Di Singkawang, selang beberapa hari setelah kedatangannya, para bruder pertama itu kemudian langsung mendapat tugas mengajar di HCS (Hollandsch Chineesche School). Inilah sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk anak-anak Tionghoa. Menampung sekitar 150 siswa berumur belasan tahun sampai umur 20 tahun.
Tahun berikutnya dibuka Asrama Santa Maria yang menampung anak-anak miskin yang diangkat oleh pastor atau bruder. (Tubarman MTB, Aloysius, 1997 p. 22). Selain mengajar, para bruder awal juga mendampingi anak-anak yang tinggal di asrama. Membina mereka dengan sarana prasarana dan fasilitas yang seadanya.
Pembinaan kaum muda
Di Belanda sejak awal, tahun 1800 an, para bruder Maria Tidak Bernoda (MTB) memiliki perhatian yang tinggi pada kaum muda. Perhatian pada kaum muda telah dilakukan oleh para bruder waktu itu dengan cara: “Mengambil tindakan tegas untuk memberantas kenakalan di jalan dan ladang-ladang”. Sedangkan, di luar sekolah tentu saja selain asrama, para bruder mengembangkan karya kepemudaan: Pramuka, Jonge Wacht, dan koor gereja.
Di Indonesia, para bruder sejak awal kehadirannya tahun 1900-an tetap memperhatikan kaum muda dengan menangani asrama dan sekolah melalui pendidikan formal. Sekolah-sekolah tersebut misalnya Hollands Chinese School (HCS) dengan berbahasa Cina di Singkawang (Rob Wolf dalam Huijbergen dan Ujung-ujung Dunia, 2004: 162).
Nampaknya perhatian para bruder MTB pada kaum muda berkesinambungan menjadi perhatian dari awal sampai saat ini.
Masa subur
Tahun 19501960-an, Kongregasi Bruder MTB di Belanda berkembang. Saat itu, SD ada 27 unit dan SMP 5 unit.
Tidak lama bertahan, karena sejak tahun 1970-an beberapa rumah biara dan komunitas di Belanda ditutup dengan dampak karya-karya sekolah kemudian juga tutup, karena berbagai alasan.
Menjelang akhir tahun 1900-an dan awal tahun 2000-an, para bruder tidak lagi menangani sekolah atau asrama, karya yang telah sekian ratus tahun digelutinya. Meski semua karya di Belanda tidak ada lagi tetapi “roh perhatian kepada kaum muda” selalu muncul; tidak putus dan tetap hidup.
Hal itu tercantum secara jelas dalam naskah-naskah seperti pada Anggaran Dasar Yayasan Pendidikan Sekolah Bruder yang disahkan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum pada tanggal 8 Juli 2008 No. 55, di bagian mukadimah.
Dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat pembinaan, pendampingan atau pemberdayaan masyarakat Gereja, kata “kaum muda” disebut-sebut dalam suatu diskusi. Misalnya di pertemuan Panitia APP Regio Kalimantan 2019, tanggal 23 Oktober 2018 di kantor PSE Keuskupan Agung Pontianak.
Bruder Krispinus MTB, Ketua PSE Keuskupan Pontianak, mengemukakan antara lain demikian.“Wajah Gereja dapat disaksikan pada siswa–siswi Sekolah Katolik, mereka adalah kaum muda sebagai wajah Gereja masa depan.” (Berlanjut)