SALAH satu ‘isi’ spirit sumpah seorang Presiden AS adalah melindungi setiap warganya dimana pun dan kapan pun berada dalam bahaya dan berusaha menyelamatkannya. Namun, dalam film perang anyar nan apik 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi, terlihat benar bahwa sumpah patriotik seorang pemimpin AS ternyata bolong mlompong alias tidak melakukan hal-hal yang seharusnya segera dilakukan: bertindak menyelamatkan warganya dari ancaman bahaya mati.
Film anyar besutan sutradara Michal Bay ini diangkat dari kisah nyata. Bukan karena berangkat dari sebuah kisruh politik di Libya pasca rontohnya kekuasaan tiran Presiden Kolonel Khaddafi di tahun 2012 yang menjadikan film 13 Hours ini sangat apik. Melainkan karena di sini ada pesan penting yang mesti disimak penonton, sekalipun pesan maha penting ini sangatlah mungkin terselip lupa di benak kritikus film. Itu karena di film sepanjang 140 menit ini yang sarat dengan rentetan adegan tembak-menembak itu muncullah ketegangan memuncak apakah aparat keamanan CIA itu harus terlibat perang kota dengan milisi militan setempat atau tidak.
Melindungi warga AS
Pesan penting yang rupanya hendak disuarakan oleh 13 Hours ini sifatnya fundamental. Yakni, sejauh mana pemerintah AS –apakah itu Gedung Putih, Kementerian Luar Negeri, Pentagon, Markas Besar CIA di Langley Virginia— sungguh bertanggungjawab secara politik dan moral untuk mewujudnyatakan isi ‘sumpah’ patriotik di atas: akan melindungi setiap warga AS dimana pun dan kapan pun dan membawa mereka selamat dari ancaman kematian.
Nyatanya, 13 Hours menyuguhkan fakta tragis yang sebenarnya tidak perlu terjadi: Dubes AS untuk Libya Chris Stevens dan sejumlah staf berikut beberapa personil eks militer mati karena serbuan mendadak kaum militan yang merangsek masuk menyerang kompleks Misi Diplomatik AS dan kemudian kantor CIA di Benghazi. Di tahun 2012, komunitas internasional waktu itu mempertanyakan, bagaimana mungkin keberadaan pasukan reaksi cepat Amerika di beberapa titik di Eropa kok terkesan tinggal diam dan tidak mampu mengudara, memberi bantuan tempur melalui air superiority dan penerjunan pasukan khusus untuk membantu para personil eks militer AS ini bisa mengamankan kompleks misi diplomatik dan kompleks bangunan CIA di Benghazi.
Peliknya birokrasi perang
Atas ketidakmampuan AS merespon cepat kerusuhan di Benghazi itulah, Washington harus membayar sangat-sangat mahal: Dubes Chris Stevens dan beberapa warga AS lainnya meninggal secara tragis di sebuah situasi politik yang sangat tidak terhormat. Gedung Putih malu, pun demikian Kemlu AS, belum lagi Pentagon yang terkesan tidak mampu merespon cepat sebuah drama kekerasan di lapangan lantaran “birokrasi perang” yang berbelit-belit di pusat kendali pemerintahan dan pertahanan Amerika.
Saya melihat film apik ini dengan perspektif di atas. Bukan semata-mata melihat aksi dar-der-dor yang memang bagus, lengkap dengan dramatisasi visual yang apik ketika nyala api berpendar terbang menyapu kegelapan malam. Alangkah ‘bodoh’nya Amerika pada kasus ini, ketika puluhan nyawa anak negeri sendiri ada dalam bahaya maut di Benghazi, Libya, namun otoritas keamanan dan pemerintahan AS sepertinya memilih ‘bungkam’ atas perkara ini.
Apakah ini ‘kelemahan’ sebuah rezim pemerintahan AS yang berasal dari Partai Demokrat yang konon lebih mengesankan gaung keras bersinggungan dengan isu-isu HAM dan lingkungan hidup daripada membuat kisruh politik dan perang di negara-negara lain seperti yang sering terjadi ketika AS dalam genggaman presiden dari Partai Republik? Ingatlah AS ketika Partai Republik berkuasa di era pemerintahan Presiden Ronald Reagan, Geoge H. Bush dan kemudian anaknya George W. Bush manakala muncul gegeran soal skandal Iran-Contra, Operasi Desert Storm untuk melengserkan Presiden Irak Saddam Husein dan kemudian Desert Shield untuk kembali mencongkel Saddam dari kursi kekuasannya di Irak.
Memanglah, AS di era pemerintahan Presiden Obama dari Partai Demokrat juga menyaksikan drama politik berlabel Arab Spring di Mesir, Tunisia, Libya, dan kini di Suriah –sebuah gejolak politik lokal akhirnya makan korban dengan lengsernya para pemimpin Arab di beberapa negara di Afrika Utara dan Timteng ini dari tampuk kekuasaanya.
Kepentingan negara
Kita tidak ingin menelisik sejauh itu. Tapi, film 13 Hours menjadi menarik ketika kita masukkan dalam bingkai strategi global AS bahwa dimana-mana Washington-Pentagon-Langley selalu menempatkan orang-orang intelnya (CIA) untuk ‘mematai-matai’ negeri dan bangsa dimana sebuah misi diplomatik AS itu berada.
Karena itu, sangat tidak mengherankan, mengapa misalnya Kedubes AS yang berlokasi di Tripoli, namun kantor CIA mereka justru berada di Benghazi, sekitar 670 km jauhnya dari Ibukota Libya. Selain merupakan kota terbesar kedua di Libya, barangkali Benghazi harus dibaca sebagai kota strategis secara ekonomi dan politik karena di situ banyak ladang minyak dan berdekatan dengan garis pantai yang langsung berbatasan dengan garis pantai Eropa melalui Italia.
Boleh dikata, Benghazi merupakan pintu gerbang Libya untuk masuk ke dunia Eropa melalui jalur laut menuju Italia. Maka dari itu, AS menempatkan sebuah misi diplomatik dan mempertahankan lahan perkatoran maha luas untuk kegiatan mata-mata CIA.
Mungkin itu pula, Ketua Tim CIA “The Chief” (David Costablie) enggan melepas tim keamanan internal mereka yang terdiri dari mantan pasukan Navy SEAL, US Marines, Army Rangers keluar bersinggungan dengan masyarakat setempat demi menjaga agar jangan memancing ikan di air keruh. Sebuah keputusan yang tepat di kala situasi normal, namun menjadi salah kaprah ketika The Chief menahan laju tim Global Response Staf (GRS) untuk boleh meninggalkan The Annex –nama sandi kompleks CIA—dan menuju kantor misi diplomatik untuk menyelamatkan Dubes AS Chris Stevens yang terjebak dalam serangan kaum milisi lokal.
Adu argumen antara ketua tim GRS Tyrone S. “Rone” Woods (Dale) dengan The Chief inilah sosok ide yang menarik di film 13 Hours, selain tentu saja keteledoran pemerintah AS untuk melindungi warganya dari ancaman bahaya kematian. Sisi kemanusiaan lainnya adalah dilemma psikologis yang dihadapi Jack da Silva (Krasinski), mantan anggota Navy SEAL, yang diam-diam meninggalkan keluarganya yang heboh di AS demi mendapatkan kontrak kerja sebagai tenaga keamanan profesional untuk melindungi kompleks CIA di Benghazi.
Aneh bin ajaib, CIA pun gagal merekut tenaga-tenaga keamanan lokal yang menyebut diri pasukan “17 Februari” dari standar loyalitas yang prima. Ketika para milisi lokal menyerbu masuk menyerang kompleks misi diplomatic AS di Benghazi, mereka dengan hepinya menyerahkan akses masuk kepada para penyerang ini daripada mengorbankan nyawanya hanya demi 28 dolar AS per hari namun dengan risiko mati ditembak sesama warga Libya sendiri.
Film 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi adalah sebuah film epik perang dengan sisi drama politik yang menawan. Di mata saya, film ini sebanding dengan Black Hack Down yang juga sarat dar-der-dor sepanjang film namun juga sarat dengan misi penting: politik itu sedemikian kotornya hingga anak-anak pun disuruh berperang tanpa mengerti makna mengapa harus memanggul AK-47. Di 13 Hours, publik dunia dibuat kaget ketika aparat keamanan AS sepertinya tidak mampu bereaksi cepat menyelamatkan sesama anak negeri di ladang pembantaian di Benghazi.