INI kisah pengalaman pribadi. Awal sejarah kisah ini diawali dari BP3TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) yang meminta bantuan penulis menelusuri satu kasus seorang pekerja migran perempuan yang terdampar di Malaysia selama 14 tahun.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah informasi yang menyebutkan bahwa pekerja migran kategori usia remaja tersebut telah mengalami sedikit sakit. Dan malangnya lagi, ia juga tidak lagi mengetahui alamat rumahnya secara tepat.
Satu penggalan informasi yang penulis dapatkan hanyalah informasi kecil tentang nama orangtuanya saja. Hanya itu saja, tapi dari kampung dan desa mana tidak ada informasi.
Ini membuat penulis pusing tujuh keliling.
Informasi ringkas itu ada sebagai keterangan yang juga amat ringkas di balik sebuah pas foto di mana di situ “terekam” gambar orangtua dan anak yang bersangkutan.
Dalam kertas itu hanya tertulis nama J (sengaja kami singkat sebagai inisial saja) dengan alamat terdekat adalah Pohon Asam Kupang. Segala tempat di seluruh Kota Kupang dan Kabupaten Kupang sudah disisir oleh petugas BP3TKI, namun hasilnya nihil.
Sebenarnya, di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) akan gampang mencari relasi kekerabatan, jika nama belakang atau nama keluarga tertulis. Ini juga akan memudahkan mencari peta jalan ke mana sumber informasi itu harus didapatkan.
Kerja seperti ini juga tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan kita mesti bersedia bekerjasama dengan jaringan di mana pun sehingga akan memudahkan untuk berkoordinasi dengan baik dalam menyelesaikan masalah.
Dihinggapi keraguan
Sebagai seorang Jawa tulen, sebenarnya saya kurang yakin alias ragu ragu akankah usaha ini bisa membuahkan hasil atau tidak. Terutama, langkah penuh untuk melakukan investigasi mencari kebenaran dan ketepatan informasi.
Rupanya dalam hal ini, unsur iman dan penyelenggaraan ilahi juga memainkan peranan. Terlebih bagi penulis adalah seroang suster biarawati anggota Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi (PI).
Jadi, ini semacam “uji nyali” bagi penulis terlebih dalam kapasitas diri sebagai suster PI.
Allah yang kreatif telah menjadikan saya bisa dan berani membuka diri dan hati, dengan menggunakan jaringan yang bisa dipercaya dan diandalkan. Untuk itulah, kemudian saya langsung berkontak dengan Pak RS untuk mencari “titik temu” dari teka-teki identitas diri perempuan pekerja migran tsb.
“Pak, mohon tanya, kalau nama seperti ini, kira-kira orang ini berasal dari daerah mana ya?,” begitu tanya saya.
Ia langsung memberi jawaban kepastian. “Oh, nama ini biasanya datang orang daerah Oenlansi, Suster,” kata dia. (Berlanjut)