165 Tahun Sekolah Sancta Ursula Jakarta, Ciri Khas Pendidikan Binaan Suster Ursulin (3)

0
257 views
Sr. Francesco Marianti OSU (duduk di kursi roda) selama beberapa dekade menjadi Kepala Sekolah SMA Sancta Ursula Jakarta sehingga sangat memberi pengaruh besar kepada semua murid alumni SMA Sancta Ursula. (Ping)

BERIKUT ini risalah paparan homili Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo. Saat memimpin perayaan ekaristi syukur merayakan 165 tahun lembaga pendidikan Sekolah Sancta Ursula Jakarta (1859-2024)

Ciri khas paling menonjol lembaga pendidikan Sekolah Sancta Ursula, kata Kardinal Suharyo dalam homilnya, adalah komitmen para suster, guru, tenaga pendidikan dan segenap karyawan yayasan untuk sebuah tujuan mulia.

“Inilah sebuah komitmen bersama untuk membentuk pribadi-pribadi yang utuh. Sebagaimana kemudian prinsip itu lalu termaktub dalam paparan visi sekolah. Yakni, ingin menjadi komunitas pembelajaran (sekolah) yang punya daya kritis dan kreatif, serta mampu mengintegrasikan iman dan nilai-nilai kemanusiaan,” demikian kata Kardinal dalam homilinya.

René Descartes (1596-1650).

Jatidiri pengaruh zaman

Dalam sejarah peradaban dan pemikiran modern, jatidiri pribadi itu dulu pernah dirumuskan dalam pernyataan yang berbunyi “Saya berpikir, maka saya ada”. Atau, “Je pense, donc je suis” (Cogito, ergo sum) demikian menurut pemikiran filosof Perancis bernama René Descartes (1596-1650). Maksudnya, identitas jatidiri pribadi itu ditentukan oleh kemampuannya berpikir.

Sementara, rumusan jatidiri pribadi dalam semangat konsumerisme seperti zaman sekarang ini: “Saya berbelanja, maka saya ada.” Inilah akar di balik munculnya istilah “flexing” alias suka pamer atau “peacocking” – seperti burung merak yang suka pamer keindahan bulunya.

Tentu saja, fenomena rumusan jatidiri pribadi manusia seperti tercermin dalam perilaku flexing atau peacocking seperti di atas itu sangat mencemaskan. Karena yang menentukan jatidiri pribadi manusia itu simbol-simbol benda lahiriah semata. Sangat artifisial dan tidak orisinil.

Di era Pasca Kebenaran (Post Truth) seperti sekarang ini, rumusan jatidiri manusia adalah “Saya berbohong, maka saya ada.” Kisah dan narasi konten kebohongan sekarang ini secara massif selalu muncul meraja lela di medsos. Banyak orang -tentu saja tidak semua- suka mempersepsi diri: kalau tidak ikut aktif beraktivitas menyebarkan hoaks, lalu merasa diri tidak eksis.

Ilustrasi – Burung merak memamerkan keindahan bulu-bulunya. (Ist)

Transformasi pribadi Simon menjadi Petrus

Rumusan-rumusan tadi, demikian kata Kardinal Suharyo, mencerminkan jalan hidup dari pribadi-pribadi yang “bengkok hatinya” (bdk. Surat Rasul St. Paulus kepada Umat di Filipi ay 2:15). Karena itu, kata Kardinal, marilah kita semua sebagai umat beriman kristiani mau belajar dari sejarah panggilan hidup Petrus.

Petrus aslinya bernama Simon. Status “profesionalnya” dulu hanya sebagai semacam kepala kelompok nelayan. Mereka ini mencari nafkah dengan mencari ikan di Danau Galilea.

Namun setelah bertemu Yesus, Simon lalu mengalami transformasi diri dan kemudian “menjadi” bernama Petrus yang artinya Batu Karang. Ia berubah menjadi seorang pribadi baru yang berbeda sebelumnya.

Yesus dan Petrus by the Pint, Pipe and the Keys.

Kisah hidup Simon menjadi Petrus adalah kisah perkembangan iman. Pada awalnya, Petrus dan para murid mengenal dan hanya bisa menyebut Yesus sebagai Guru. Berkat proses perkembangan iman yang semakin matang dan dewasa, mereka mulai mengenal-Nya sebagai Tuhan.

“Simon yang kemudian berubah dan berkembang menjadi Simon Petrus adalah model pembelajaran menjadi manusia yang utuh.

Itulah yang kira-kira sejak dahulu dan tetap berlangsung dan setia masih dilakoni oleh para suster dan segenap guru dan tenaga pendidik di lembaga pendidikan Sekolah Sancta Ursula Jakarta ini.

Sangat serius dalam kegiatan membina dan membimbing para murid agar masing-masing peserta didik itu bisa mengalami proses transformasi diri – sebuah proses berkembang untuk bisa ‘menjadi’ pribadi-pribadi yang utuh, orisinil, dan punya sikap dan semangat ingin terlibat: mau mengabdi – serviam,” demikian kata Kardinal.

Ini barangkali sejalan dengan pemikiran dan konsep pendidikan Romo van Lith SJ tahun 1921. Saat imam Jesuit misionaris kharismatis ini ingin merumuskan visi pendirian Sekolah Kolese Xaverius di Muntilan, Jateng:

“Saya berharap, melalui pendidikan sekolah ini nantinya akan lahir ‘Yesus-yesus’ kecil yang bisa berperan di dalam setiap zaman yang selalu berubah.”

Baca juga: 165 Tahun Sekolah Sancta Ursula Jakarta (1959-2024): Menggapai Puncak-puncak yang Baru (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here