SITUASI yang melanda Palangkaraya dan kota-kota lainnya di Kalimantan Tengah, maupun kota-kota lain di provinsi lainnya dengan masalah serupa tentu perlu mendapat perhatian serius dari pihak Pemerintah Pusat. (Baca: Darurat Asap, Palangkaraya Rindukan Pesawat Pembom Air dan Hujan Buatan (1)
Untuk menanggulangi asap secara taktis dan cepat, sangat dibutuhkan pesawat pembom air maupun pembuatan hujan buatan di beberapa provinsi di Indonesia. “Kesehatan itu nomor satu dan nyawa tidak bisa menunggu. Apakah harus terjadi kematian dimana-mana, barulah bencana kabut asap ini dimasukkan dalam status darurat asap?” ujar Lery bertanya-tanya. Ia juga prihatin terhadap masyarakat yang harus bekerja mencari nafkah di luar rumah, terutama mereka-mereka yang non-PNS atau non-pegawai swasta.
Bagi mereka-mereka yang memiliki AC dan mampu membeli air purifier (penyegar udara), kondisinya mungkin masih lebih baik dibandingkan masyarakat pada umumnya yang harus menghirup asap selama 24 jam penuh non stop. Max berkisah kabut asap yang melanda Palangkaraya sudah terjadi selama 3 bulan terakhir, namun yang terparah berlangsung 2 bulan belakangan.
Maria Isna, seorang guru yang sehari-hari mengajar di SMKN 5 Palangkaraya yang berlokasi di kawasan Manduhara Kereng Bengkirai di pinggiran kota Palangkaraya. Ia mengakui bahwa kabut asap pekat telah terjadi hampir sebulan terakhir. “Akibat asap kegiatan belajar mengajar di sekolah menjadi tidak efektif karena sebentar masuk dan sebentar libur. Jika belajar pun situasinya sangat tergangu dengan asap.”
Gara-gara asap, Isna kerap mengalami pusing dan badan lemas. “Kadang-kadang saya batuk. Bahkan hari ini, Senin, 19 Oktober 2015, abu hasil pembakaran hutan mulai beterbangan kemana-mana.”
Keuskupan Palangkaraya bagi-bagi masker gratis
Dr. Lasma Silaban, Direktur RSUD Jaraga Sasameh Buntok menuturkan bahwa di RSUD yang dipimpinnya hingga saat ini belum ada laporan pasien yang meninggal dunia oleh karena kabut asap penyebab ISPA. “Pasien ISPA yang melakukan kunjungan ke RSUD Buntok jumlahnya tidak terlalu signifikan, karena telah ditangani dengan baik pada pelayanan tingkat 1 (Puskesmas) di masing-masing kecamatan.”
Theresia Hantik yang sehari-hari bekerja di Disporapar Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah berpendapat bahwa musibah asap di Buntok tahun ini paling parah. “Pemerintah setempat berperan aktif dalam membantu memadamkan api di titik-titik hot spot dengan mengerahkan pegawai se-Kabupaten Barito Selatan. Dari setiap SKPD yang ada diterjunkan masing-masing 5 orang yang bergabung dengan barisan pemadam kebakaran,” kisahnya rinci.
Selain itu, Keuskupan Palangkaraya juga menyebarkan himbauan pengumpulan masker bagi korban asap di Kalimantan Tengah. Melalui jejaring medsos, himbauan ini juga menyebar kemana-mana. Theresia berkisah di Paroki Santo Paulus Buntok telah dilakukan pembagian masker gratis kepada umat pada Minggu, 11 Oktober 2015 yang lalu.
Lery mengatakan bahwa untuk kondisi darurat asap saat ini, masker biasa tidak lagi berfungsi. “Masker standar yang dapat digunakan untuk menyaring jumlah partikulat udara yang pencemarannya sangat tinggi ini memerlukan masker minimal tipe N95, tapi kendalanya masker jenis ini harga ecerannya cukup mahal, yaitu Rp.20.000,- per buah. Padahal meskipun sudah memakai masker ini, harus dilakukan penggantian 8 jam sekali.” ujar Lery menjelaskan.
Risiko tinggi menghantui masyarakat jika harus terpapar asap berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Diantaranya adalah gejala hipoksia atau kekurangan oksigen, yang mana dalam kondisi sistematik kronik dapat menyebabkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan lambung.
Semoga Pemerintah Pusat segera melakukan tindakan taktis dan berdaya guna untuk menyelamatkan masyarakat di beberapa provinsi di Indonesia yang terkena dampak kabut asap akibat pembakaran dan kebakaran lahan.