“MENJADI imam itu enaknya hanya satu persen! Yang 99% huenakk sekali.”
Kelakar itu sering kita dengar. Namun, dari kelakar itu Romo Agustinus Sunarta Yoga Pamungkas Pr (57) mengatakan, bahwa hidup seorang imam itu harus penuh sukacita.
Imam itu harus membawa sukacita bagi banyak orang.
Tentu saja tidak selalu mulus. Dinamika kehidupan ada pasang-surutnya. Suka dan duka datang silih berganti.
Tinggal bagaimana kita memanejemen hal itu.
Pintu terbuka
Romo Agus, panggilan akrabnya, mengakui sesulit apa pun, pasti Tuhan buka jalan. Ketika rasanya pintu-pintu tertutup, ternyata masih ada pintu yang terbuka.
Itu pertolongan Tuhan. Tepat waktu.
Tak heran bila dalam karya pelayanannya, Romo Agus senantiasa merasa ada orang-orang baik yang Tuhan kirim untuk membantunya.
Ini membuat Romo Agus merasa dicintai Tuhannya.
Begitulah salah satu sisi kehidupan dari sosok imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang, Romo Agustinus Sunarto Pr dalam menjalani panggilan Allah.
Tepat pada pesta Rasul St. Petrus dan Paulus, bersama empat orang teman angkatannya, ia merayakan pesta 25 tahun imamat.
Empat orang itu temannya adalah: Romo Thomas Aquino Imam Mursid Pr, Romo YB Widarman Pr, Romo Yakobus Hari Prabowo Pr, dan Romo Fransiskus Supomo Pr.
Mengintip
Agus kecil lahir di lereng Gunung Mintaraga, Dusun Tirta, Desa Gayamharja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, 6 Mei 1965. Di daerah itu sunyi.
Terpencil.
Ia dilahirkan dari buah cinta Paulus Sadiya Kramawiharja dan Maria Tuminah Kramawiharja.
Tertarik menjadi imam berawal dari sang ayah yang sakit. Kala itu Agus berusia 4 tahun. Ayahnya, Paulus Sadiya, menderita sakit cukup lama, sampai tidak bisa berbicara. \Meski segala upaya telah dilakukan namun kondisi bukannya membaik, malah sebaliknya, semakin parah.
Tamu bule
Suatu hari seorang tamu berjubah berkunjung ke rumah Agus. Rambutnya berwarna pirang. Agus kecil menyebutnya si ‘bule’ karena orang itu bukan orang Indonesia.
Orang bule itu mendekati bale-bale tempat ayahnya berbaring. Saat itu Agus kecil mengintip dari balik lubang dinding gedhek (bambu yang dianyam).
Agus tidak tahu apa yang diperbuat bule itu terhadap ayahnya.
Tertarik
Sejak kedatangan bule itu, ayahnya dapat berbicara. Sayang, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Sekitar dua pekan kemudian ayahnya dipanggil Tuhan.
Agus kecil tertarik dengan bule itu. Ia ingin seperti bule itu, memakai jubah putih.
Ketika itu Agus kecil tidak tahu-menahu siapa bule itu. Ia menganggapnya hanya sebuah mimpi anak kecil. Lalu Agus juga tidak pernah mengingat-ingat bule itu lagi. Ia tumbuh dan berkembang seperti anak-anak yang lain.
Menjelang ujian SMP, salah seorang temannya, mengajaknya untuk mendaftar ke seminari. Agus mengikuti keinginan temannya itu. Ia diterima.
Kemudian Agus menjalani pendidikan dan pembinaan di Seminari Menengah Stella Maris Bogor selama empat tahun.
Ia melamar menjadi calon imam diosesan di Keuskupan Tanjungkarang.
Getaran hati
Banyak pengalaman cinta yang Romo Agus temukan dalam menapaki panggilan Tuhan.
Setelah komuni pertama, ia aktif menjadi putera altar. Perjumpaan dengan para romo ketika merayakan Ekaristi, menggetarkan hatinya untuk menjadi imam.
Selain itu, ketika menjalani masa diakonat di Unit Pastoral Mesuji, ia sungguh dapat merasakan bagaimana kerinduan umat untuk merayakan Ekaristi.
Ada 37 stasi yang harus dilayani. Jaraknya jauh-jauh. Medan perjalanannya pun cukup berat, apalagi kalau musim hujan.
Stasi-stasi itu hanya mendapat pelayanan misa sebulan satu kali, karena waktu itu hanya dilayani dua imam.
Kebutuhan imam di Keuskupan Tanjungkarang pada waktu itu juga masih sangat sedikit. Ini semua menguatkan keputusan Romo Agus untuk menerima tahbisan imam.
Kurang diterima
Meski banyak menerima kejutan cinta Tuhan, Romo Agus juga pernah didatangi rasa duka. Salah satunya, saat ia melayani di suatu paroki. Romo Agus merasa kehadirannya kurang diterima umat.
Satu tahun kemudian barulah ia paham. Ternyata, karena ia seorang imam diosesan.
Bukan manusia super
Zaman semakin maju. Tantangan semakin kompleks. Pola pikir umat pun semakin maju bahkan terlalu maju. Seorang imam harus mampu mengikuti perkembangan zaman, pola pikir dan cita rasa umat.
Tak sedikit umat beranggapan bahwa seorang imam itu manusia super. Serba bisa. Padahal, imam juga seorang manusia biasa. Memiliki keterbatasan.
Ini yang sering kurang dipahami umat. Imam dituntut serba bisa. Bagi Romo Agus, ini merupakan tantangan berat dalam pelayanannya.
Harapan
Sebagai seorang imam diosesan, tentu memiliki harapan adanya gereja, paroki yang mandiri. Tetapi Romo Agus menyadari bahwa idealism itu tidak selalu bisa terwujud karena situasi dan kondisi daerah pelayanan.
Ketika idealisme tersebut tidak mungkin ia wujudkan, maka ia berusaha menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Dengan harapan, semua bisa berjalan dengan baik.
Prinsip umum
Romo Agus tidak mau memaksakan kehendak yang tidak sesuati dengan situasi setempat.
Ada satu prinsip yang selalu ia pegang: “Tegas jroning prinsip lan ramah jroning patrap”. Artinya, tegas dalam prinsip namun lembut dalam cara penerapannya.
Baginya, ungkapan ini terkandung nilai-nilai yang sangat bagus, bisa dijadikan pedoman dalam meniti roda kehidupan dan pelayanan.
Dalam hal-hal yang prinsip, ia harus berani bersikap tegas; bahkan harus berani mengatakan tidak.
Tetapi dengan cara yang lembut, bisa diterima dan tidak membuat orang kecewa bahkan sakit hati.