KETIKA mulai menapaki panggilan sebagai imam muda, Romo Bambang Condro Saptono Pr, merasa dirinya tidak pandai bicara, alias pendiam, tidak mudah senyum, tidak mudah salaman karena alergi, dan cuek.
Dipilih meski rapuh
Gambaran tentang dirinya saat ia masih imam muda itu seperti perkataan Nabi Yeremia 1:6, “Ah, Tuhan Allah, sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.”
Namun, dalam kerapuhannya itu, Allah malah memanggil dan memilihnya untuk menjadi pewarta sabda-Nya.
Sejak kecil panggilan Tuhan yang lembut ia rasakan lewat suara hatinya. Getaran halus itu ia tanggapi dengan rendah hati.
Berbekal restu orangtua, tahun 1982 Bambang kecil ini lalu memberanikan diri melamar dan mengikuti pembinaan di Seminari Menengah Stella Maris, Bogor. Kemudian melanjutkan pendidikan Seminari Tinggi di STFT St. Yohanes Pematang Siantar.
Berkat ketekunannya, studinya selesai tepat waktu.
25 tahun yang lalu, 8 Juli 1995, Frater Bambang, putera daerah Pringsewu di Lampung, ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang sendirian. Acara tahbisan berlangsung di GSG Way Halim, Lampung, bersama Tahbisan Diakon Frits Dwi Sapto Adi.
Yang mentahbiskan Duta Besar Vatikan Mgr. Pietro Sambi dan Mgr. Andreas Henrisoesanta SCJ. Kedua monsinyur ini sudah memenangkan pertandingan iman, pulang ke rumah Allah Bapa.
Anugerah Allah
Motto tahbisan Romo Bambang adalah: “Kemana pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi,” (Yeremia 1:17).
Dengan motto itu, baginya imamat adalah pengutusan, menjadi imam ialah mendengarkan Tuhan yang memanggil dan mengutus.
Pengutusan itu anugerah Allah dan bukan berdasar dari kekuatannya sendiri. Maka, sadar dirinya rapuh dan lemah akan tetapi semangatnya tak pernah pudar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan agar nama-Nya selalu dimuliakan.
Semangat siap sedia yang tinggi ia gali dari kata-kata Maria saat menanggapi tugas pengutusan, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu,” (Lukas 1:38).
Selain itu, ia juga terinspirasi dari St. Petrus ketika hendak menebarkan jala, “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga,” (Lukas 5:5). Sampai akhirnya Petrus harus membiarkan diri diikat pinggangnya dan dituntun ke tempat yang tidak dikehendakinya.
Komitmen pengutusan
Perjalanan panggilan Romo.Bambang tidaklah mulus, penuh tantangan dan goncangan. Sejak awal Romo Bambang memiliki komitmen sebagai orang yang diutus. Dari hari ke hari ia membangun komitmen pada tugas pengutusan yang dipercayakan padanya.
Ketika imam muda, Romo Bambang mengaku kalau ia menghayati komitmennya itu kaku, kurang fleksibel. Saat itu, ia merasa mendapat tugas mengajar atau berkatekese kepada umat, menuntun umat dengan prinsip yang kuat.
Tak jarang Romo Bambang menegur dengan keras, sehingga membuat umat kecewa dan terluka.
Semangat itu pula yang ia hayati, ketika membangun gedung gereja di paroki-paroki. Romo Bambang berani mengatakan terus terang, bila ada yang tidak benar. Khususnya soal pembelanjaan alat-alat bangunan. Itu ia lakukan karena pertanggungjawabannya kepada umat dan para donatur.
Kesulitan datang dari interaksi dengan orang dari berbagai latar belakang pendidikan, bukan dari membangun gedungnya. Lantaran komitmennya yang kaku, kurang fleksibel itu, Romo Bambang dicurigai macam-macam. Bahkan ada umat yang berniat mau menghabiskan nyawanya.
Di paroki itu, Romo Bambang merasa seperti orang asing dan tidak dihargai. Tetapi mengingat tugas adalah pengutusan, maka kesulitan itu ia hadapi dengan gembira dan sukacita. “Nyatanya sampai sekarang saya masih hidup,” ujar buah hati Agustinus Marjuki Abimulyono dan Bernadeta Sukarini sambil tertawa.
Romo PLTS
Kisah kasih lainnya adalah saat Romo Bambang bertugas sebagai Ekonom Keuskupan, 2014-2019. Ia belajar menempatkan tugas itu sebagai pengutusan yang banyak sekali tantangan dan menuntut perjuangan.
Sebagai ekonom, Romo Bambang mendapat julukan, “Romo PLTS”. Artinya, Romo Pelit Sekali. Hatinya bergeming, meski beberapa orang yang dekat dengannya berani menyampaikan julukan itu.
Tetapi ia tetap teguh pada keyakinannya, karena Romo Bambang sangat paham akan situasi keuangan Keuskupan Tanjungkarang . Itu membuat dia sangat hati-hati membelanjakan uang keuskupan.
Ada tiga hal yang dimohon oleh Bapak Uskup ketika ia menjabat sebagai ekonom keuskupan: Pertama, mencari donatur untuk keuskupan. Kedua, merenovasi rumah kediaman Bapak Uskup. Ketiga, mencari tanah untuk pembangunan rumah pastoral.
Inilah tugas terberat selama menjadi imam. Karena tiga permintaan Bapak Uskup itu sangatlah tidak mudah. Seiring menjalankan tugasnya itu, berkumandanglah litani tentang dirinya dari berbagai pihak. Ia sempat dikatakan menerima sepuluh “sakramen” yakni: semen, sumbangan, sinterklas, dsb.
Litani penilaian itu diterimanya dengan besar hati.
Syukurlah bersama Tuhan, ketiga pesan Bapak Uskup ini pelan-pelan terpenuhi. Segala usaha, perjuangan dan air mata darah menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Kebahagiaan mendalam pun membuncah di hatinya.
Itu semua karena kasih Allah lewat banyak orang yang membantu, memberi dukungan doa, moral, dan dana sehingga Keuskupan Tanjungkarang kini dapat ‘bernafas dengan normal.’
Dukungan sahabat
Sejak masuk seminari, Romo Bambang selalu memiliki banyak teman dan sahabat yang memberikan dukungan. Tetapi kalau ditanya siapa sahabat dekatnya, ia tidak mudah menyebutnya, karena banyak orang yang berperan sebagai sahabat yang hadir dalam kehidupannya.
Maka, Romo Bambang pun berusaha menjadi sahabat bagi para frater dan romo dalam membangun paguyuban presbiterium keuskupan.
Tentang sahabat, Romo Bambang terinspirasi dari kata-kata St. Paulus dalam pidato perpisahannya di Miletus: “Kamu tahu bagaimana aku hidup di antara kamu sejak hari pertama aku tiba…” (Kisah Para Rasul 20:18).
Romo Bambang selalu belajar menjadi imam yang dikenal dan mengenal umat. Ia juga selalu belajar dari orang-orang muda, termasuk para frater dan pastor di Keuskupan Tanjungkarang ini karena semakin lama jarak usia semakin terpaut jauh.
“Inilah tantangan terus-menerus yang saya hadapi, saya harus belajar terus mengenali orang-orang muda yang setiap kali berbeda,” imbuhnya.
Kalau ditanya, sebagai imam projo apakah sudah memberikan sumbangan besar bagi Gereja Keuskupan Tanjungkarang? Biarlah orang lain yang menilainya, tambahnya lagi.
Kesetiaan Tuhan
Perayaan Syukur 25 tahun imamat Romo Bambang ini dipimpin oleh Mgr. Yohanes Harun Yuwono di Gereja Katolik Ratu Damai, Telukbetung, Lampung, Rabu, 9 Juli 2020.
Bapak Uskup mengatakan, 25 tahun perjalanan panggilan adalah momen berarti yang harus disyukuri dengan sukacita karena Tuhan yang memanggil adalah setia. Uskup Harun berterimakasih atas cinta dan pengurbanan Romo Bambang kepada Gereja Keuskupan Tanjungkarang.
Uskup juga mengakui bahwa Romo Bambang selalu membangun gereja paroki di mana ia ditugaskan.
Menurut Pastor Paroki Telukbetung, Romo. A. Basuki Pr, rencana satu tahun yang lalu acara syukur ini akan diadakan jathilan dan wayangan.
Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Pandemi covid19 masih terus melancong di negara Indonesia, sehingga acara ini dibuat sederhana.
Usai Ekaristi diadakan potong tumpeng dan nasi kotak yang dibawa pulang umat.