ALKISAH, sekitar 37 tahun lalu, seorang siswa Sekolah Pendidikan Guru Katolik (SPGK) Santo Paulus, Sekadau, Kalimantan Barat, mengisi waktu di luar jam sekolah dengan mencari rumput untuk pakan 27 ekor sapi. Pemuda yang kala itu baru berusia sekitar 16 tahun masih punya tambahan tugas lain: menjaga lanting.
Lanting adalah bangunan terapung yang berada di bibir sungai, tempat menambatkan kendaraan air yang kala itu menjadi satu di antara moda trasportasi andalan. Bukan tugas ringan, karena beban sebagai calon guru yang sedang menimba ilmu di SPGK, menuntut pemuda asal Desa Tapang Pulau, pedalaman Sekadau ini harus tangkas membagi waktu.
Di luar jam sekolah, 27 sapi sudah menanti untuk digembalakan ke padang dan harus disiapkan rumput tebasan untuk “camilan” mereka di kandang. Sudah begitu, malam hari harus memastikan lanting terjaga sehingga perahu motor, tongkang, dan speed boat di sana aman.
Dulu gembala sapi di Sekadau
Siapakah pemuda itu? Dia adalah Pastor Gregorius Sabinus CP, yang pada 27 Juli 2016 merayakan pesta perak imamat, 25 tahun usia pengabdiannya sebagai seorang pastor.
Dan siapakah “juragan” tempat dia bekerja semasa SPGK yang memiliki 27 sapi dan lanting itu?
Ia adalah alm. Mgr Lukas Spinosi CP, Preefek Apostolik Sekadau kala itu.
“Inilah jalan hidup saya. Sebelum menjadi gembala umat, saya rupanya lebih dulu ditempa pengalaman menjadi gembala sapi,” canda pria yang akrab dengan nama panggilan Pastor Greg, mengenang masa menjadi siswa SPGK rentang tahun 1979-1982.
“Karena menjaga lanting itu, saya bisa menjalankan tongkang dan speed boat,” ucapnya sambil menyebut, teman karibnya kala itu juga menjalani panggilan membiara, yaitu Bruder Markus MTB, yang tak lain tak bukan adalah adik kandung Mgr Agustinus Agus, Uskup Agung Keuskupan Pontianak saat ini.
Pesta Perak imamat
Ungkapan syukur P. Greg bersama rekan se-Konggregrasi Passionis, para imam, biarawan dan biarawati bersama umat, digelar dalam Misa Kudus Jumat (29/7/16) di Gereja Paroki Santo Hironimus Tanjung Hulu, Pontianak, tempat dia menjadi pastor pimpinan di paroki saat ini.
Tak kurang dari 50-an pastor hadir dalam konselebrasi, dua uskup, dan hampir seribu umat, di antaranya beberapa anggota keluarga. Umat paroki tak ketinggalan berpartisipasi dengan membawa banyak makanan, yang kemudian disantap bersama ala pesta kebun di halaman gereja.
Sebuah panggung disediakan untuk mementaskan tari-tarian, nyanyian, drama, dan kesempatan bagi Bapa Uskup, para pastor, dan umat untuk memeriahkan suasana. Hujan turun cukup deras, tetapi rasa kebersamaan tidak surut. Beberapa umat tetap menari di bawah curah hujan, mengiringi Bapa Uskup Agus yang terkenal piawai menyanyi.
Provinsial Passionis Indonesia, Pastor Nikodemus Jimbun CP, mengatakan, perayaan 25 tahun imamat menghadapkan seseorang pada usia semakin matang dalam kepribadian. Seseorang tidak lagi mempersoalkan apa yang dikatakan orang lain tentang jati dirinya, namun kematangan pribadilah yang berbicara sebelum seseorang mengambil sebuah tindakan.
“Bersama Pastor Greg, kami sadar, dalam menjalani hidup Imamat, kami bisa terpeleset dan terlena pada kondisi serba nyaman, manja, mapan, cari ketenaran, kuasa, dan harta. Maka, perjuangan jatuh bangun untuk menghadapi dan menjalani aneka tantangan itu dengan bijak dan rendah hati, kami sadari menjadi dinamika penuh makna dalam perjalanan menuju kesucian hidup sebagai imam,” kata Pastor Nikodemus.
Tiga Sabinus di Kongregrasi Passionis
Ada tiga orang bernama Sabinus di Kongregrasi Passionis Indonesia, yang memunculkan kisah tersendiri. Pastor Sabinus Lohin CP, yang pernah menjabat Provinsial, menuturkan, dirinyalah Sabinus pertama yang masuk biara.
“Sayalah Sabinus pertama yang masuk Passionis, maka saya berhak atas nama Sabinus, yang lain silakan pilih nama lain,” canda Pastor Sabinus Lohin CP, yang kini bertugas di Generalat Pasionis di Roma, dan menyempatkan diri hadir di Pontianak.
Pastor Greg merupakan Sabinus kedua yang masuk Passionis. Selain Sabinus Lohin, lainnya adalah Frans Sabinus, kini sudah almarhum. Rebutan nama berujung penambahan nama lain untuk kedua Sabinus yang harus mengalah kepada senior mereka.
Akhirnya Sabinus dari Desa Tapang Pulau memilih nama Gregorius, kelak akrab dengan panggilan Greg, dan Sabinus asal Desa Sungai Lawak memilih nama Fransiskus.
Maka, kata Pastor Sabinus Lohin, jika Anda bertanya kepada orang Tapang Pulau–kampung asal Pastor Greg–apakah kenal dengan Pastor Gregorius, pasti mereka menjawab: “Tidak kenal”. Itu karena bagi mereka orang yang kini bernama Gregorius itu tetap sebagai Sabinus yang sudah mereka kenal sejak masa kecilnya.
“Dosa itu ada pada saya, karena waktu itu kami rebutan nama,” lagi canda Pastor Sabinus Lohin.
Rekan sekongregrasinya yang lain, Pastor Pius Barces Seno CP, juga punya kenangan pada perihal nama ini. Saat sebagai frater, teman-temannya mencari cara untuk membedakan tiga orang Sabinus di antara mereka.
“Kami panggil dia sebagai Gorys, untuk membedakan ketiga rekan frater yang sama-sama menyandang nama Sabinus,” kata Pastor Pius, yang kini menjadi Sekretaris Uskup Agung Pontianak.
Dua Uskup dan bibit panggilan
Selebran utama dalam misa syukur pesta perak imamat Pastor Greg adalah Uskup Agung Keuskupan Pontianak, Mgr Agustinus Agus. Kedekatan keduanya sudah terjalin sejak lama, ketika Pastor Greg menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK) Santa Maria Goretti, Sungai Ayak, Sekadau pada 1977-1979.
“Waktu itu, Monsiyur Agus masih sebagai pastor dan menjadi guru kami,” kata Pastor Greg yang memilih motto tahbisan: “Inilah aku, utuslah aku.” (Yes: 6:8), dan menerima tahbisan imamat di Gereja Paroki St Petrus dan Paulus Sekadau dari Uskup Sanggau, Mgr Guilio Mencuccini CP pada 27 Juli 1991.
Sementara Uskup Agung Pontianak Emeritus, Mgr. Hieronimus Bumbun OFM Cap, masih terbilang paman bagi Pastor Greg. Pada masa kecilnya, Pastor Greg kerap menyaksikan Mgr. Bumbun hadir di tengah-tengah umat.
Peristiwa yang masih dia ingat, sang ibu membisikinya ketika hadir dalam suatu acara bersama Mgr. Bumbun. Sang ibu berbisik: Jang–panggilan sayang untuk anak lelaki–lihat itu pamanmu. Apakah kamu mau seperti mereka?
Bisikan sang ibu, diakui Pastor Greg, semakin menyuburkan bibit panggilan yang sudah mulai “berkecambah” di dalam hatinya. Pengalaman yang terjadi sebelum-sebelumnya juga telah mengetuk hati Greg kecil.
Rumah keluarganya kerap menjadi tempat yang dituju oleh misionaris asal Negeri Belanda yang hendak melayani umat di kampungnya. Tak heran, karena ayahnya seorang tokoh masyarakat. Para misionaris yang datang pun kerap menginap di rumah mereka.
Adalah sosok Pater Nazarius OFM Cap yang masih sangat lekat dalam ingatan Greg kecil. Pater Nazarius yang berjenggot tebal–khas misionaris Kapusin kala itu–sering datang dan membawa alat semacam teropong yang di dalamnya tersedia slide-slide gambar Orang Kudus.
Alat “canggih” pada masa itu menjadi media pembelajaran bagi para umat, utamanya anak-anak. Pater Nazarius juga sering membagi-bagikan rosario kepada umat di kampungnya.
Pilihannya jatuh pada Kongregrasi Passionis, yang hingga kini membawanya menjadi seorang imam kaya pengalaman. Selain mengurus paroki, Pastor Greg bertahun-tahun menjadi pembina rumah pendidikan milik konggregrasi mereka.
Di antara capaian Pastor Greg yang cukup menonjol adalah ketika bertugas di Keuskupan Banjarmasin, Kalimantan Selatan dalam rentang 2006-2011. Ia diserahi tugas sebagai misionaris untuk Suku Dayak di Pegunungan Meratus.
Keuskupan Banjarmasin memiliki misi di tempat itu untuk masyarakat yang belum mengenal agama Katolik. Ia berkontak langsung dengan suku budaya lokal dan mewartakan Yesus Kristus.
Ciri khas yang membuat orang mudah mengenal Pastor Greg, di antaranya ramah, suka bercerita, dan selalu rapi. Seorang rekan sekongregrasi, Pastor Krisantus CP, menuturkan, sejak masih di seminari, Greg terbiasa tampil rapi baik saat berdoa maupun dalam pelajaran di kelas, atau pada acara-acara tertentu.
“Baju selalu masuk ke dalam, pakai sepatu mengkilap, dan rambut pun rapi mengkilap karena diminyaki dengan minyak Tanco,” kata Pastor Krisantus, yang kini menjadi Superior Biara Passionis Santo Yosef Ketapang.
Dalam rutinitas sehari-hari hingga kini, Pastor Greg terkenal dengan senyum yang selalu mengembang dan busananya yang senantiasa rapi. Busana priester collar selalu dikenakan, sehingga membuat kehadirannya di tengah umat amat mudah dikenali.
Ciri Pastor Greg yang lain adalah rasa selalu ingin tahu, yang membuat dia rajin bertanya dalam setiap acara seperti diskusi, seminar atau dialog. Pastor Pius Barces CP mengungkapkan, sejak masih frater, rasa ingin tahu Gorys–panggilan akrab Pastor Greg semasa frater–amat tinggi atas segala hal yang membuat dia penasaran dan heran.
“Sifat ingin tahu Gorys membuatku kadang kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaannya, bahkan sampai sekarang pun ia masih sering bertanya apa saja kepada saya,” kata Pastor Barces.
Setelah itu, pada 2015 dia mendapat tugas baru sebagai Pastor Kepala Paroki St Hironimus Tanjung Hulu Pontianak, Uskup Agung Mgr Agustinus pun memberinya tugas lain. Pastor Greg diminta menjadi Direktur Diosesan (Dirdios) untuk Karya Kepausan Indonesia (KKI) di Keuskupan Agung Pontianak.
Mgr Agustinus mengatakan, sebagai orang yang muncul dari keluarga biasa-biasa saja, Pastor Greg menyandarkan diri pada pandangan “Allah luar biasa dan saya biasa-biasa saja”. Bapa Uskup berharap, segenap umat senantiasa mendoakan para gembalanya, agar selalu kuat menjalani tugas panggilan ini.
“Doakanlah kami, para imam-imam ini. Kami tidak bisa bekerja dengan baik tanpa dukungan Anda semua,” kata Mgr Agustinus.
semoga kelak menjadi bapak uskup