30 Tahun Kemandirian Fransiskan Kapusin Provinsi St. Maria Ratu Para Malaikat Pontianak (1)

0
36 views
Prefek Apostolik Mgr. Pacificus Bos OFMCap (brewok) memberkati pembangunan gereja pertama di Kalbar. (Sesawi.Net)

ADA tiga kelompok ordo

SANTO Fransiskus Assisi merupakan tokoh yang mendirikan tiga ordo.

  • Ordo Pertama yang didirikan adalah untuk laki-laki.
  • Ordo Kedua adalah Ordo Santa Klara yang ditujukan bagi perempuan
  • Ordo Ketiga untuk religius regular dan awam sekular; baik laki-laki maupun perempuan.

Ordo pertama terdiri tiga kelompok

Ordo Pertama yang Santo Fransiskus dirikan terdiri dari tiga ordo utama mandiri:

  • Ordo Fratrum Minorum (OFM).
  • Ordo Fratrum Minorum Conventualium (OFMConv).
  • Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFMCap) atau yang dikenal sebagai Ordo Kapusin.

Matteo Serafini da Bascio

Ordo Kapusin diinisiasi oleh Matteo Serafini da Bascio. Secara resmi, Ordo Fransiskan Kapusin didirikan tanggal 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zelus.

Nama “Kapusin” sendiri berasal dari sorakan anak-anak yang melihat para Saudara Dina yang mengenakan jubah dengan kap panjang dan runcing yang mereka sebut Scapucini (pakai kap). Dan dari situlah lahir nama Kapusin.

Misi Kapusin ke Indonesia

Ordo Kapusin telah tersebar luas ke seluruh dunia.

Di Negeri Belanda, setelah tarik ulur dalam mengirim misionaris ke luar negeri, Ordo Kapusin Provinsi Belanda waktu itu akhirnya menerima tawaran bermisi dan mendapat dukungan Propaganda Fide. Pada tanggal 16 Oktober 1905, enam misionaris Kapusin pertama untuk Kalimantan berangkat dari Tilburg.

Mereka adalah:

  • Pater Johannes Pacificus Bos van Uden (41).
  • Pater Eugenius Adrianus F. van Disseldorp (30).
  • Pater Beatus Joseph GA Baijens van Dennenburg (29).
  • Pater Camilius Franciscus Buil van Pannerden (28).
  • Bruder Wilhelmus Johannes Verhulst van Oosterhout (30).
  • Bruder Theodoricus Wilhelmus van Lanen (31).

Perjalanan menuju Batavia dan Singkawang

Dari Tilburg mereka pergi ke Marseille di Perancis – sebuah kota pelabuhan yang terletak di pesisir Laut Mediterania. Ke Marseille mereka naik kereta api dan dari sana naik kapal ke Singapura pada tanggal 20 Oktober.

Mereka menggunakan Kapal Cholon sampai ke Singapura dan berganti Kapal Camphuys sebuah kapal perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart-Maatschappij untuk melanjutkan perjalanan ke Batavia. Mereka tiba di Jakarta pada tanggal 20 November 1905.

Mereka tinggal beberapa hari di Batavia di mana Mgr. Edmundus Luypen SJ menerima mereka dengan sangat baik, sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Kalimantan. Empat dari mereka yakni Pacificus, Eugenius, Wilhelmus dan Theodoricus akhirnya tiba di Singkawang tanggal 30 November.

Dua orang lainnya masih tetap tinggal di Batavia untuk belajar bahasa Tionghoa dan India dan akhirnya tiba di Singkawang tanggal 23 Februari 1906. Namun, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar siap untuk pekerjaan misi mereka.

Seperti yang pernah dikatakan oleh salah satu dari mereka demikian: “Kami tiba di sana tanpa persiapan; tanpa pengetahuan teoritis tentang metode misi, dan sebagainya.”

Mereka benar-benar harus mencari jalan dan meraba-raba dalam ketidakpastian. Setelah berkonsultasi dengan imam Jesuit H. Schräder, maka akhirnya diputuskan untuk terus melanjutkan:

  • Kerasulan pastoral di antara orang Tionghoa di Singkawang.
  • Melakukan karya misi di antara suku Dayak di Nanga Sejiram.
  • Mengembangkannya lebih lanjut, jika memungkinkan.
Orang Tionghoa Pemangkat berpakaian ala orang Tiongkok. (Arsip Kapusin Pontianak)

Pelayanan di antara masyarakat Tionghoa

Dua kelompok sasaran utama misi Kapusin ini menjadi fokus perhatian sementara, meskipun paling tidak bagi Pacificus Bos. Misi kepada orang Tionghoa selalu mendapat perhatian paling besar. Seperti yang ditulisnya dalam sebuah catatan tak lama sebelum pensiun pada tahun 1935:

“Kalimantan Barat adalah daerah dengan banyak orang Tionghoa. Unsur Tionghoa adalah penting dan selalu tetap murni sebagai orang Tionghoa, meskipun mereka adalah pendatang. Mereka adalah orang-orang yang rajin dan materialistis, tetapi juga sangat ingin belajar. Itulah sebabnya, kita harus berusaha memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap mereka; terutama melalui sistem sekolah yang murni Tionghoa.”

Selama masa jabatannya, dari November 1905 hingga Februari 1935, banyak energi telah dicurahkan untuk mendirikan sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa dan kemudian sekolah-sekolah Inggris-Tionghoa di kota-kota besar sepanjang pesisir pantai sejauh dua ratus kilometer, yaitu di Singkawang, Pontianak, Pemangkat, dan Sambas.

Jumlah masyarakat Tionghoa waktu itu

Pada tahun 1905, ada sekitar 60.000 orang Tionghoa yang tinggal di seluruh wilayah Borneo Belanda. Beberapa dari mereka, terutama yang telah menetap di Borneo sejak abad ke-18, telah kehilangan sebagian besar budaya dan agama Tionghoa asli mereka melalui perkawinan dengan orang Dayak.

Dalam beberapa dekade setelah tahun 1905, banyak kelompok orang Tionghoa kembali beremigrasi ke Kalimantan, sehingga pada tahun 1930 jumlah orang Tionghoa mencapai 12% dari populasi. Mereka termasuk dua kelompok bahasa dan budaya yang berbeda: Hakka dan Hoklo.

Untuk berhubungan dengan mereka, para misionaris pada awalnya harus bergantung sepenuhnya pada kemampuan bahasa asisten guru dan katekis Tionghoa, Tsang A. Kang, yang telah dididik oleh para pastor Jesuit. Dia telah tinggal di Singkawang sejak 1895 dan memimpin ibadat Minggu di sana tanpa kehadiran seorang imam.

Ilustrasi: Gereja Santo Fransiskus Assisi Paroki Singkawang saat mulai dibangun kurun waktu 1925-1926. (Ist)

Masyarakat Dayak

Suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan. Sebagai sebuah kelompok etnis, jumlah mereka sekitar 50 persen dari total populasi sekitar tahun 1905. Menurut perkiraan, jumlah mereka sekitar satu setengah hingga dua juta orang, terbagi dalam beberapa subsuku, masing-masing dengan bahasanya sendiri.

Agama mereka adalah animisme. Mereka sebagian besar tinggal di pedalaman Kalimantan.

Menurut Pacificus Bos, orang-orang Dayak yang lebih tua khususnya “tidak mau berpindah agama”. Oleh karena itu, misi harus memperhatikan kaum muda Dayak. Mendirikan sekolah rakyat (volksschooltjes), dengan atau tanpa asrama, adalah cara terbaik untuk menjangkau kaum muda.

Bangunan pondasi Pastoran Pontianak saat mulai dibangun. (Sesawi.Net)

Membangun asrama pembinaan dan pendidikan

Hal ini dimulai oleh Eugenius van Disseldorp, Camillus Buil, dan Theodoricus van Lanen di Sejiram pada tahun 1906/1907. Mereka membangun sebuah gereja baru dan sebuah sekolah kecil, yang dimulai pada tanggal 1 Juli 1907 dengan tujuh belas murid.

Setelah awal yang sangat sulit, Sejiram mengalami kemajuan pesat pada tahun 1920-an. Sebagian berkat hasil dari kebun karetnya sendiri, menjadi sebuah stasi model dengan fungsi sentral untuk seluruh kawasan Hulu Kapuas.

Gelombang kedua kedatangan para misionaris Kapusin Belanda

Pada tanggal 28 November 1906, gelombang kedua yang terdiri dari enam Kapusin dari Belanda tiba di Singkawang. Mereka tiba bersama lima suster Kongregasi Fransiskanes dari Veghel yang sekarang disebut SFIC.

Keenam Saudara Kapusin tersebut adalah:

  • Bruder Leopold Schellekens dari Riel.
  • Pater Gonzalvus Buil dari Pannerden.
  • Pater Liberatus Cluts dari Exel.
  • Pater Marcellus Winnemuller dari Dodewaard.
  • Pater Marius Zom dari Zevenbergen.
  • Bruder Ivo van Schijndel dari Volkel.

Prefek Apostolik Borneo-Belanda Mgr. Pacificus Bos OFMCap memilih Pater Liberatus sebagai pemimpin misi Borneo-Timur ditemani oleh Pater Camillus dan Bruder Ivo. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here