Pengantar redaksi
Dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Perkawinan (HUP) yang ke-40 th, pasutri Katolik dr. Albertus Harris Soesilo Lawanto dan Diana Suryani Lawanto berkenan membagi kisah pengalamannya kepada Sesawi.Net.
Kisah ini dibeberkan dengan maksud semoga pengalaman mereka telah menjalani bahtera rumah tangga dalam bingkai iman Katolik selama 40 tahun terakhir ini bisa memberi sumbangsih bagi keluarga-keluarga muda pasutri Katolik lainnya.
Antara lain agar semakin banyak pasutri Katolik -terutama yang masih muda seumur jagung dalam berkeluarga- bisa memberi makna bagi setiap episode pengalaman hidup berkeluarga. Juga mengisi karya mereka sebagai karyawan atau usahawan dengan perbuatan-perbuata baik dan mulia. Dan siapa tahu, agar semakin banyak orang mulai termotivasi agar sering-sering berdonasi untuk misi amal kebajikan.
——–
40 tahun hidup membina bahligai rumahtangga sebagai pasutri Katolik tentu sebuah perjalanan yang tidak singkat. Apalagi dari kurun waktu sepanjang itu, pasutri Katolik dr. Albertus Harris Soesilo Lawanto dan isterinya Diana Suryani Lawanto sudah dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa semuanya.
Bahkan dua di antara sudah menikah dan memberi pasutri ini seorang cucu.
Tidak ada pesta hura-hura untuk menandai perayaan dan peringatan 40 tahun perkawinan dr. Harris dan Diana Lawanto yang tepat telah “jatuh tempo” tanggal 20 Desember 2021 lalu.
Selain memang hanya “pertemuan keluarga” saja dan itu pun digelar sesudah pasutri Katolik ini sowan gereja untuk mengikuti Perayaan Ekaristi dengan agenda utama memperbaharui janji perkawinan mereka di hadapan imam.
Cinta tumbuh dari batik
Menarik menyimak kisah asmara yang kemudian mempertautkan Diana Suryani -gadis semampai dari Pekalongan- dengan dr. Harris Soesilo Lawanto, cowok ganteng asal kelahiran Surabaya.
Usut punya usut, kisah asmara keduanya itu terpantik bisa “kejadian” hanya gara-gara sering saling ketemu.
“Terjadi begitu lantaran kami berdua punya urusan baju-baju batik,” ungkap Diana Lawanto menjawab Sesawi.Net pertengahan bulan Januari 2022.
Pekalongan adalah tanah kelahiran Diana
Karena Pekalongan dikenal sebagai produsen kain dan baju batik, maka sebagai anak seorang dokter gigi terkenal di Kota Batik ini Diana sering membawa batik-batik ke Jakarta – tempatnya dia berkuliah di LPK Tarakanita.
“Ya untuk dijual agar dapat uang tambahan untuk biaya kuliah,” kenang Diana.
Saat itu, belum banyak rumah residensial berani menyediakan tempat privat keluarga untuk kos. Maka di tahun 1975-an itu, ibunya Diana lalu menitipkan anak perempuannya kepada Kongregasi Suster Santa Ursula (OSU) agar boleh ikut mondok ngekos di Internat (Asrama) Santa Ursula.
Tahun-tahun itu, sembari berkeliling naik sepeda motor untuk pergi menyambangi anak-anak ikut les piano, Diana juga sering membawa serta sejumlah kain dan baju-baju batik untuk dijualnya.
Ia lumayan mahir naik sepeda motor dan juga sudah mulai mengakrabi jalan-jalan di Jakarta.
“Dari hasil jualan baju-baju batik dan honor jadi guru les piano itulah, saya bisa mendapat uang untuk membiayai kuliah dan sedikit uang jajan,” papar Puteri Batik Pekalongan ini.
Jalaran saka kulina
Lalu sampailah Diana pada sebuah tanggal penting di mana untuk pertama kalinya dipertemukan dengan calon suaminya.
“Saat itu adalah tanggal 23 November 1977,” kenang Diana.
Ia lalu menyebutkan bahwa perkenalan dengan dr. Harris Soesilo Lawanto itu terjadi berkat “mainan perjodohan” hasil upaya Mak Comblang tetangga rumah yang kebetulan satu iman dengan keluarga besarnya.
“Saat ketemu pertama kali dengan Pak Harris, saya malah tengah naik motor pakai kaos oblong hijau dan bercelana pendek,” tutur Diana tentang “tanggal penting” itu.
Seperti bunyi pepatah bahasa Jawa yang berbunyi “Tresno jalarane saka kulina (Benih cinta meretas karena seringnya bertemu)”, maka satu pertemuan kenalan demi pertemuan-pertemuan berikutnya bisa tercipta karena urusan batik.
“Awalnya hanya beli satu baju batik. Lalu agar bisa ketemu lagi, hari-hari lain saya dimita membawa baju batik lebih banyak lagi.
Bahkan sekali waktu, Pak Harris malah membeli lima baju. Entah, baju-baju itu untuk siapa…,” kenang Diana.
Pertemuan-pertemuan berikutnya makin banyak baju batik yang berhasil diborong dr. Harris.
“Awalnya hanya mau beli lima, lalu nekat beli 12 baju diborong semuanya dan dibayar tunai lunas. Nah, beli banyak-banyak itu juga untuk siapa, tak tahulah,” papar Diana tentang “murah hatinya” calon dokter yang kemudian menjadi calon suaminya.
Lebih mengagetkan lagi, kata Diana, setelah sekian lama pertemuan berlangsung, tiba-tiba saja dia malah mendapat “durian runtuh” tanpa dia duga sebelumnya.
“Beberapa bulan berikutnya, Pak Harris itu bisa-bisanya berani membelikan saya satu unit piano up right,” kenang Diana.
“Itu dibeli oleh duit calon suami saya. Barulah kemudian, tahu-tahu saya malah dilamar sama dr. Harris,” kenang Diana yang selalu terkenang “kisah manis” tanggal 23 November 1977 setiap kali memandang piano up right itu.
Piano penuh kenangan itu masih tersimpan baik di rumah keluarga sekarang. Masih berdiri tegak di kamar pribadi Diana di mana dia masih sering memainkan jari-jemarinya yang lentik di ujung-ujung tuts piano penuh kenangan. (Berlanjut)