Home BERITA 40 Tahun Perkawinan Pasutri dr. Harris-Diana Lawanto: Menaklukan Kegarangan Mgr. Leo Soekoto...

40 Tahun Perkawinan Pasutri dr. Harris-Diana Lawanto: Menaklukan Kegarangan Mgr. Leo Soekoto SJ (3)

0
1,031 views
Ilustrasi: Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto saat meresmikan Sekolah Abdi Siswa di Meruya, Jakarta Barat. (FB)

GEREJA Santo Andreas Paroki Kedoya di kawasan Perumahan Green Garden diberkati Uskup KAJ waktu itu -Mgr. Leo Soekoto SJ- tanggal 6 November 1994.

Tentang sosok Uskup yang dikenal “galak” ini, Diana Lawanto mengisahkan kenangan indahnya ketika namanya masih diingat oleh Mgr. Leo Soekoto SJ.

Kisah ini terjadi pada akhir tahun 1994.

Diana Lawanto dan Uskup KAJ Mgr. Leo Soekoto SJ usai pemberkatan Gereja Santo Andreas Paroki Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. (Dok. Diana Lawanto)

Sekali waktu, Diana bersama dr. Harris Soesilo diundang sowan menyambangi Mgr. Leo Soekoto SJ di Wisma Keuskupan KAJ di Jl. Katedral, Jakarta Pusat.

Sayang, dr. Harris berhalangan datang karena tengah mendapat jatah harus jaga malam di rumah sakit.

Saat bertemu Mgr. Leo Soekoto SJ dengan nada guyon-nya, Uskup KAJ ini bertanya kepada Diana bagaimana kisahnya dia kok sampai mendapat jodoh seorang dokter.

Ditanyai begitu, lagi-lagi karena Diana yang suka ceplas-ceplos omongannya ya langsung berkisah saja apa adanya.

Gereja Santo Andreas Paroki Kedoya, Jakarta Barat, saat awal berdiri tahun 1994. (Koleksi Diana)

“Semua terjadi indah pada waktunya. Dapat jodoh orang baik, berkat jualan batik, Monsinyur,” kata Diana menirukan suaranya sendiri.

Almarhum Mgr. Leo Soekoto SJ konon hanya bisa klecam-klecem, menahan senyum.

Setahun setelah pertemuan itu, mantan Uskup KAJ ini meninggal dunia di RS Sint Elisabeth Semarang saat sudah menikmati masa purna baktinya di Wisma Emaus Girisonta.

ILustrasi: Mgr. Leo Soekoto SJ saat peresmian Sanggar Prathivi (Dok. Jesuit Indonesia)

Hidup pedih pasca kematian ayah

Kematian mendadak drg. Hadrianus Tenggono, ayah kandung Diana, karena salah diagnosa dan salah suntik benar-benar sampai membawa petaka serius bagi hidup keluarga.

Rumah besar magrong-magrong di mana dulu mereka tinggali di Pekalongan -sejak ayahnya meninggal dunia- terpaksa mereka tinggal, karena pemilik rumah tidak mau rumah yang sudah mereka tempati ini tidak boleh dibeli.

Sepeninggal ayahnya, keluarganya diminta segera pergi meninggalkan rumah sewaan itu disertai pesangon senilai Rp 5 juta rupiah.

Dengan pesangon sebesar itu yang nilainya sangat gede pada zaman itu, keluarga Diana hanya mampu membeli rumah seluas 90m2 di Jl. Jeruk Bali.

“Kehilangan orang yang sangat kami cintai -lebih-lebih seorang ayah- membuat mami dan semua anaknya, termasuk saya- sungguh sangat terpukul,” kenang Diana.

“Sampai-sampai hampir setiap hari, saya menangis sedih. Lantaran juga masih umur sangat muda; belum genap usia 20 tahun sudah kehilangan figur ayah,” kata Diana.

Belum lagi kalau harus mengingat tiga orang adiknya. Satu lelaki dan dua orang perempuan.

“Karena saya anak sulung, maka kepergian ayah sungguh memukul hati saya,” jelasnya, seraya menambahi ketika asisten berhalangan membantu ayahnya praktik dokter gigi, maka Diana selalu siap membantunya di kamar praktik.

Orangtua Diana Lawanto – drg. Hadrianus Tenggono dan Ny. Irene Tenggono. (Dok. Diana Lawanto)

Pada masa itu, keberadaan dokter gigi di Pekalongan, Jateng, masih boleh dibilang sangat langka. Sehingga keahlian almarhum ayahnya sebagai dokter gigi sangat dibutuhkan banyak orang.

Tak kurang banyak imam Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) yang berkarya di Pekalongan selalu datang mencari ayahnya, ketika mereka kerepotan dengan sakit gigi.

“Saat itu, umur saya baru enam tahun dan bersekolah di SD Pius Pekalongan,” kata Diana berkisah bagaimana sejumlah imam MSC sering mendatangi kamar praktik ayahnya.

Taruhlah itu almarhum Romo Loogman MSC, Romo Sukmana MSC, dan Romo Hadi MSC.

Perkenalan dengan para imam MSC melalui karya kesehatan yang diampu oleh ayahnya itulah yang membuat Diana Lawanto bisa akrab dengan sejumlah imam MSC; lebih-lebih yang pernah berkarya di Pekalongan.

Tentang sosok ayahnya lagi, Diana mengaku bangga bahwa sejak remaja dia sudah bisa main piano. “Berkat dorongan semangat bapak sehingga waktu kuliah, saya bisa hidup sedikit mandiri dari hasil jasa menjadi guru les piano,” tuturnya. (Berlanjut)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here