SEKALI waktu, almarhum drg. Hadrianus Tenggono, ayah kandung Diana Lawanto, punya cita-cita besar untuk misi kebahagian keluarganya. Rumah di mana keluarganya pernah tinggal selama sekian lamanya itu -kalau bisa- sebaiknya dibeli saja.
Karena keluarga drg. Tenggono sudah sangat nyaman dan tenang tinggal di situ.
Ketika ayahnya yang masih sangat muda itu meninggal dunia, maka keinginan almarhum agar rumah bisa dibeli menjadi hal yang tak mungkin bisa terjadi lagi. Apalagi, si empunya rumah juga tidak mengizinkan rumahnya boleh dibeli.
Dengan sangat sedih, maminya Diana terpaksa meninggalkan rumah besar penuh keangan itu.
“Kami pergi dengan diberi uang pesangon sebesar Rp 5 juta. Dengan uang itu, keluarga baru mampu membeli rumah baru yang jauh lebih kecil dan sederhana. Hanya 90m2 saja di Jl. Jeruk Bali,” kenang Diana.
Belajar biola secara otodidak
Rumah besar itu sungguh beraroma penuh kenangan bagi Diana.
Karena di situ pula, ia menyaksikan ayahnya drg. Hadrianus Tenggono belajar memainkan biola secara otodidak.
“Bapak berhasil memainkannnya. Beliau suka gesek biola, sedangkan saya main piano,” kenang Diana.
Sekali waktu, pasangan bapak-anak itu “main pentas” di rumah bersama dengan penonton dua orang pastor MSC.
“Yang saya ingat, kedua imam MSC itu adalah almarhum Romo Loogman Handoyo MSC dan Romo Sukmana MSC – keduanya pernah berkarya di Pekalongan,” kenang Diana.
Bakat otodidak ayahnya bermain biola kini telah terwariskan dalam diri anak sulung pasutri Diana Lawanto dan dr. Harris Soesilo Lawanto yakni Cresentia Edith Lawanto -musisi biola. Ia secara khusus belajar musik gesek biola.
Perjodohan
Menarik menyimak kisah lama Diana hingga sekali waktu bisa “dipertemukan” dengan calon suaminya: dr. Harris Soesilo Lawanto.
Itu terjadi tanpa sengaja.
Lantaran dikenalkan oleh sebuah “pertemuan kebetulan” karena urusan jualan baju-baju batik made in Pekalongan.
Sudah saat itu, Diana mulai berkuliah di LPK Tarakanita. Sedangkan, dr. Harris baru sibuk menyelesaikan studi kedokterannnya di FK Universitas Trisakti Jakarta.
Ia tinggal di sebuah rumah tidak jauh dari kerabat besar Diana Lawanto.
Perkenalan itu difasilitasi oleh kerabat dekat Diana dan kemudian berlanjut karena urusan baju-baju batik.
“Pak Harris, calon suami saya, telah menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan kuliah kedokterannya, karena terbentur kondisi politik nasional pasca Gerakan 30S/PKI tahun 1965,” tutur Diana.
Sementara banyak kawan sekampusnya harus drop out karena tidak mampu bayar uang kuliah, dr. Harris masih bisa melanjutkan kuliahnya.
“Namun hingga sampai umur 35 tahun, dia baru berhasil menyandang predikat profesi dokter,” kenang Diana.
Selalu ada sisi “negatif” dan “positif” di dalam sebuah peristiwa kehidupan.
Kisah keluarga kecil
Selepas lulus SMA, Diana lalu melanjutkan studinya dengan harapan bisa berkarier sebagai sekretaris. Maka, pilihannya jatuh ke LPK Tarakanita yang diampu oleh Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB).
“Lulus kuliah, saya lalu bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta,” kenang Diana.
Karena telah menikah dengan seorang dokter, Diana lantas berhenti bekerja dan apalagi kemudian mendapat titipan dari Tuhan berupa tiga orang anak: dua perempuan dan satu lelaki.
Kedua anak perempuan -nomor satu dan dua- sudah menikah.
Yang sulung seniman musik biola Crescentia Edith Lawanto bersuamikan Venantius Vladimir Iwan Pratama dan pasutri muda Katolik sudah dikaruniai seorang anak.
Puteri kedua bernama Lidwina Levana Lawanto, seorang akuntan, sudah menikah; tapi belum dikaruniai anak.
Sedangkan, anak bungsu Laurentius Alvin Lawanto adalah alumnus FKG UI dan hingga kini masih membujang. “Belum dapat jodoh,” ungkap Diana.
Tiba waktunya
Tuhan selalu melakukan hal-hal baik tepat dan indah pada waktunya. Saat Alvin pas lulus kuliah menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi di Universitas Indonesia, dr. Harris Soesilo Lawanto di tahun yang sama juga telah mengakhiri pengabdiannya sebagai dokter umum di sebuah RS swasta di kawasan Jakarta Barat.
“Tuhan sangat bermurah hati kepada keluarga kami,” kata Diana memaknai semua perjalanan hidup keluarganya sepanjang waktu 40 tahun terakhir ini. (Berlanjut)