50 Tahun Konsili Vatikan II dalam Kenangan Paus Benedictus XVI (6)

0
1,657 views

SAYA ingat ketika saya sebagai seorang profesor muda dalam teologi fundamental di Universitas Bonn ketika itu, dan Kardinal Frings, Uskup Agung Cologne, menunjuk saya sebagai penasehat teologisnya. Saya kemudian juga ditunjuk sebagai ahli dalam Konsili.

Bagi saya pengalaman itu adalah unik, setelah suatu persiapan yang penuh antusias, saya dapat menyaksikan suatu Gereja yang hidup dan penuh semangat, dan hampir tiga ribu bapa konsili dari seluruh menjuru dunia di bawah pimpinan Pengganti Petrus – bersekolah (belajar) kepada Roh Kudus, yang adalah daya dorong  yang sesungguhnya dari Konsili itu (the true driving force of the Council).

Jarang sekali dalam sejarah kita dapat secara nyata bersentuhan dengan universalitas Gereja, seperti ketika itu, pada saat dicapainya suatu prestasi yang luar biasa untuk membawa misi Gereja, yaitu untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa sampai di ujung bumi. Jika anda melihat lagi peristiwa hari-hari itu, melalui televisi dan media lainnya, anda akan dapat merasakan lagi kegembiraan dan harapan, suatu semangat yang membesarkan hati ketika ambil bagian di dalam peristiwa itu yang gemanya masih terasa sampai sekarang, bagaikan cahaya yang terus menerangi Gereja sampai hari ini.

Seperti anda tahu, di dalam Sejarah Gereja, ada banyak konsili yang mendahului Konsili Vatikan II. Biasanya konsili semacam itu diadakan untuk menetapkan butir-butir iman kristiani, khususnya untuk mengoreksi kesalahan yang bisa membahayakan Gereja.

Kita teringat akan Konsili Nicea tahun 325 yang melawan ajaran Arius dengan menekankan Keallahan Yesus sebagai Putera Tunggal Bapa. Atau Konsili Efesus tahun 431 yang menetapkan ajaran Maria sebagai Bunda Allah; dan Konsili Kalcedon tahun 451 yang menegaskan bahwa Satu Pribadi Yesus Kristus dalam dua kodrad, kodrat Ilahi dan kodrat pribadi manusia (the one person of Christ in two natures, the divine and the human person).

Yang lebih dekat lagi dengan zaman kita adalah Konsili Trente pada abad ke-16 yang membuat klarifikasi butir-butir esensial doktrin Katolik melawan Reformasi Protestantisme. Atau Konsili Vatikan I, yang mulai dengan merefleksikan pelbagai macam masalah, namun kemudian hanya mempunyai waktu untuk menghasilkan dua dokumen. Pertama mengenai Pengetahuan tentang Allah, wahyu, iman dan hubungannya dengan akal budi; dan kedua tentang primat dan infallibilitas Paus. Mereka tidak punya waktu lagi untuk membahas yang lainnya karena terganggu oleh pendudukan kota Roma pada bulan September tahun 1870

Jika kita melihat Konsili Vatikan II, kita dapat menyaksikan bahwa pada saat itu tidak ada kesesatan iman yang perlu diluruskan atau dihukum; tidak ada juga suatu masalah tertentu mengenai ajaran iman yang perlu diklarifikasi atau diluruskan. Maka kita dapat mengerti keterkejutan sekelompok kecil para Kardinal di ruangan konverensi Biara Benedectin St. Paulus di Luar Tembok, ketika tanggal 25 Januari 1959, Beato Paus Yohanes XXIII, mengumumkan sinode diosesan untuk Roma dan Konsili Ekumenis untuk Gereja Universal.

Pertanyaan pertama yang Bapa Suci sendiri ajukan dalam persiapan sebuah peristiwa besar ini adalah bagaimana memulainya, masalah khusus apa yang harus dibahas?

Beato Yohanes XXIII, dalam pembukaan Konsili Vatikan II tgl 11 Oktober, 50 tahun lalu, memberikan arahan umum: “Iman harus berbicara atas cara yang diperbarui, lebih jelas dan menukik – karena dunia berubah begitu cepat – sambil tetap mempertahankan isinya yang tetap (perennial contents), tanpa menyerah atau berkompromi.

Kita semua menghendaki agar Gereja merenungkan kembali imannya, dan kebenaran-kebenaran yang membimbingnya. Refleksi yang serius dan mendalam tentang iman ini harus menggambarkan hubungan antara Gereja dengan dunia modern atas cara yang baru, antara kekristenan dengan unsur-unsur esensial pemikiran modern; bukan untuk menyesuaikan Gereja dengan hal-hal itu, melainkan untuk hadir di dalam dunia kita, yang cenderung mau meninggalkan Tuhan; Dunia sangat membutuhkan Injil dalam segala keluhuran dan kemurniannya.

Dengan melihat kekayaan yang terkandung di dalam dokumen Konsili Vatikan II, saya ingin menyebut  empat konstitusi, bagaikan empat pilar yang menjadi penunjuk arah bagi kita.

  1. Sacrosanctum Concilium mengatakan kepada kita bagaimana berdoa di dalam Gereja, pada tempat pertama adalah adorasi, di sanalah Allah hadir, di sanalah misteri Kristus kita jumpai.
  2. Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dan umat yang berziarah di sepanjang zaman, memiliki tugas fundamental untuk memuliakan Allah, seperti dinyatakan dalam konstitusi dogmatik, Lumen Gentium.
  3. Dokumen ketiga yang ingin saya sebut ialah Dei Verbum: Firman yang hidup dari Allah memanggil Gereja untuk menjalani kehidupannya di sepanjang sejarah. Dan cara bagaimana Gereja membawa cahaya yang ia terima dari Allah kepada dunia supaya Allah dimuliakan, dijelaskan dalam Gaudium et Spes.

Konsili Vatikan II adalah suatu ajakan yang tegas bagi kita semua untuk menemukan kembali keindahan iman kita setiap hari, untuk mendalami iman itu secara terus menerus, dalam suatu relasi yang lebih akrab supaya bisa menghidupi panggilan kristiani kita yang autentik.

Semoga Santa Perawan Maria, Bunda Kristus dan Bunda Gereja, membantu kita mewujudkan semua yang dirindukan oleh para bapa konsili itu.

Semoga semua orang boleh mengenal Injil dan berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.

Artikel terkait:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here