TENTU banyak umat akan bertanya kurang lebih seperti ini. Apa yang istimewa dalam perhelatan HUT ke-50 Perkawinan Emas pasangan Paul dan Pieneke Mariana Sutandi ini, sehingga Uskup Agung Keuskupan Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo plus dua anggota Kuria KAJ berkenan memimpin perayaan ekaristi syukur mereka?
Bapak Uskup Agung Keuskupan Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo seperti biasa memang tidak memberi keterangan langsung menjawab kemungkinan munculnya pertanyaan kritis semacam ini. Namun, kalau ditelisik lebih dalam, dalam introduksi singkat di ujung awal perayaan ekaristi syukur memperingati HUT ke-50 Perkawinan Emas Paul dan Pieneke itu, Mgr. Ignatius Suharyo dengan sangat jelas mengatakan bahwa inilah saatnya Gereja mengedepankan saksi iman tentang indahnya hidup perkawinan dan bagusnya sebuah keluarga katolik.
Pada tahun 2007 lalu, Pieneke Mariana Sutandi didapuk menjadi Ketua Panitia Perhelatan Besar HUT ke-200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta. Jauh sebelumnya, Pieneke pernah menjadi Ketua PUKAT (Kelompok Profesional dan Usahawan Katolik) KAJ dan akhirnya posisinya diisi oleh pejabat baru Paul Alex Budiman dan baru kemudian kini oleh Maria Josephine Ina Susanti.
Baca juga:
- 50 Tahun Perkawinan Emas Paul & Pieneke Mariana Sutandi: Bersyukur untuk Bersaksi (1)
- 50 Tahun Perkawinan Emas Paul & Pieneke Mariana Sutandi: Pasutri sebagai Orang Kudus (3)
Mengapa Monsinyur sampai mengatakan hal itu? Kata Mgr. Suharyo, karena di situ jelas ada cinta, kasih, kesetiaan, pengorbanan, dan juga sarat akan rasa syukur. Itulah yang kiranya dialami pasutri katolik karena Paul dan Pieneke Mariana Sutandi sepanjang usia perkawinan mereka selama 50 tahun terakhir: merasakan dan mengalami kasih Allah sepanjang rajutan tali kasihnya sebagai suami-istri dalam sebuah keluarga katolik.
Lebih dari itu, demikian penegasan Mgr. Ignatius Suharyo dalam homilinya, Keuskupan Agung Jakarta juga merasa perlu mengedepankan rasa syukur atas kilas balik sejarah dimana pasangan suami-istri katolik bernama Paul dan Pieneke ini dalam banyak hal sudah membantu KAJ. Itu terjadi, kata Bapak Uskup, melalui keterlibatan aktif mereka di banyak peristiwa penting di tlatah KAJ dan melalui berbagai kelompok komunitas katolik di antaranya PUKAT KAJ dan Perdhuki.
Kasih: ‘agape’ dan ‘philia’
Tentang kasih sebagai dasar merajut bahtera perkawinan, kata Mgr. Ignatius Suharyo di awal homilinya, kisah percakapan antara Yesus dengan Petrus pasca kebangkitan menjadi topic menarik untuk disimak bersama. Di situ terjadi tiga kali babak percakapan antara Yesus yang telah bangkit dengan Petrus, murid-Nya yang paling vokal dan brangasan, namun sekaligus juga kecut hati dan mungkret nyalinya menghadapi seorang perempuan yang menantang kejujurannya dengan ‘saksi’ ayam berkokok menjelang drama kematian Yesus.
Menurut Monsinyur Suharyo –mantan dosen Kitab Suci Perjanjian Baru di Fakultas Teologi Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta— drama rohani tentang percakapan Yesus dan Petrus itu mengambil topik bicara tentang tingkatan hubungan kasih. Menurut teks Kitab Suci dalam bahasa aslinya Yunani, kata ‘kasih’ yang diucapkan Yesus mengacu pada kosa kata Yunani agape yang susah dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Agape merujuk pada makna ‘kasih ilahi’, sementara jawaban Petrus atas pertanyaan Yesus mengacu pada ‘kasih manusiawi’ dengan kata aslinya adalah philia. Itulah sebabnya, demikian kata Mgr. Ignatius Suharyo dalam homilinya, percakapan antara Yesus dengan Petrus itu menjadi sangat tidak ‘nyambung’ karena dua makna persepsi berbeda di jalur frekuensi pemaknaan yang berbeda pula.
“Sayangnya, dua kosa kata Yunani agape dan philia lalu diterjemahkan menjadi satu kata sama dalam bahasa Indonesia: ‘kasih’. Padahal, sejatinya derajad makna dua kata itu berbeda,” kata Bapak Uskup.
Menjadi sangat masuk akal, kata Monsinyur, sehingga dalam kisah Injil itu terjadi tiga babak percakapan. Hal itu terjadi, karena Petrus tidak cepat mudheng dengan omongan Yesus tentang agape, sementara Petrus menjawab “Ya” namun dalam konteks makna philia. Karena itu, pada babak percakapan ketiga kalinya, barulah Yesus sengaja menurunkan derajad makna ‘kasih’ ke level yang sama seperti yang bisa dimengerti oleh Petrus: philia.
Barulah di babak percakapan ketiga ini, emosi Petrus dibuat hanyut lebur oleh Yesus sehingga ia menangis tersedu-sedu. Petrus yang hanya seorang nelayan ini akhirnya mudheng dan menjadi tahu apa yang sebenarnya ingin ditanyakan Yesus untuk mendapatkan jawaban darinya.
Kasih manusiawi tiada sempurna
Memaknai peristiwa peringatan Perkawinan Emas pasangan Paul dan Pieneke Mariana Sutandi, demikian kata Bapak Uskup, beberan pengertian tentang agape dan philia itu menjadi relevan. Setidaknya kalau harus menelisik fakta bahwa cinta kasih manusiawi itu tiada pernah sempurna.
Kasih manusiawi yang tidak sempurna itu akhirnya digenapi sempurna oleh kasih ilahi yang sempurna melalui kesediaan Yesus mati disalib, namun kemudian mampu mengalahkan maut dengan bangkit dari kematian. Inilah pokok misteri iman kristiani yang mendasari kekristenan kita. Di situ ada agape, kesetiaan, pengorbanan, dan harapan.
Dalam konteks perayaan ekaristi mensyukuri Perkawinan Emas Paul dan Pieneke Mariana Sutandi itulah, demikian Mgr. Ignatius Suharyo memberikan fokus permenungannya, maka gagasan tentang kasih manusiawi, pengorbanan, dan kesetiaan itu menjadi sangat relevan.
Menjalani bahtera perkawinan seturut ajaran Gereja Katolik selama 50 tahun sebagaimana telah dirajut setia oleh pasangan Paul dan Pieneke tentulah di situ ada rahmat Tuhan yang senantiasa bekerja. “Kasih manusiawi yang tidak pernah sempurna itu kemudian secara perlahan-lahan mulai diangkat ke level yang lebih tinggi oleh dan berkat rahmat Tuhan sehingga perkawinan katolik itu menjadi sumber saksi iman,” kata Monsinyur Suharyo dalam homilinya.
Uskup Agung Keuskupan Jakarta yang ahli kitab suci ini sengaja tidak mau memilih kata ‘humanisasi’ untuk menjelaskan proses ‘transformasi’ kasih ke level yang lebih tinggi. “Saya lebih suka memilih kata ‘divinisasi’ –diangkat ke taraf yang lebih ilahi oleh dan berkat rahmat Tuhan,” kata Monsinyur.
Divine, to divinize atau dalam bahasa spiritual yang sering muncul: gratia supplet yang berarti rahmat-lah yang akhirnya menggenapi dan menyempurnakan semua hal.
Kesempurnaan kasih manusiawi itu terjadi berkat dan melalui sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik. Kasih manusiawi antar manusia lawan jenis itu disempurnakan oleh Tuhan melalui Gereja Katolik berkat Sakramen Perkawinan. Maka dalam konteks permenungan tentang makna perkawinan katolik inilah, kesaksian iman tentang perkawinan katolik dan hidup berkeluarga selama 50 tahun oleh pasangan Paul dan Pieneke Mariana Sutandi ini memperoleh maknanya yang paling mendalam.