“INI ‘bajingan’ dari mana?” ungkap Rm Thaddeus Laton SCJ saat saya pertama kali berjumpa dengannya. Sembari salaman, kalimat itu diucapkannya. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali saya mendengarnya. Dan tentu saja diucapkannya dengan nada guyon.
50 tahun berada di Indonesia menjadikannya akrab dengan budaya setempat. Bahkan Bahasa Jawa-nya terbilang fasih dan lancar. Maklum saja, dalam pelayanannya di pelosok-pelosok Sumatera bagian Selatan (khususnya Propinsi Lampung dan Sumatera Selatan), ia selalu berjumpa dengan para transmigran dari Jawa.
Baca juga:
- 50 Tahun Misionaris di Indonesia, Pastor Tadheus Laton SCJ Diganjar Penghargaan dari Polandia
- Jeep Land Rover, ‘Istri’ Setia Sang Misionaris Pastor Taddheus Laton SCJ (3)
Dalam beberapa kesempatan ia memakai Bahasa Jawa. Misalnya saja, saat menerima Penghargaan The Order Polonia Restituta dari Presiden Polandia pada 13 Januari 2017 yang lalu, sembari bersalaman dengan Mr. Igor Kaczmarczyk, Konsul Kedutaan Polandia, Rm Laton spontan mengatakan: “Matur nuwun” – Terima kasih.
Tentu saja Konsul Kedutaan Polandia itu kebingungan.
Itulah sosok Rm Thaddeus Laton SCJ, yang barangkali lebih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa daripada Bahasa Polandia yang sudah lama tidak dipakainya.
Cuti dua kali saja
Selama bermisi di Indonesia, Rm Laton baru dua kali cuti ke negeri asalnya. “Liburan dua kali, tahun 1974 dan tahun 1985.
Tahun 1984, saya jadi WNI. Kalau seorang WNI mau ke Polandia untuk jaminan hidup harus tukar 5 dollar sehari sebagai jaminan. Darimana bisa saya dapat dollar? Dan kalau saya pulang satu bulan, harus berapa dollar saya bawa. Jadi saya tidak mau liburan lagi,” jelas Rm Laton.
Selain alasan di atas, ia juga mengaku bahwa di Polandia sudah tidak kenal keluarganya lagi. “Saya sudah tidak punya siapa-siapa di sana. Keponakan tidak ada yang kenal karena belum pernah ketemu,” ungkap imam yang saat ini tinggal di Komunitas Dehon Km 7 Palembang ini.
Ia mengisahkan bahwa keluarga besarnya sudah tidak ada lagi. Ayahnya meninggal dunia sejak ia masih kecil dalam suatu musibah yang menimpanya. Adiknya yang bernama Yohanes, juga baru lahir beberapa pekan sebelumnya.
“Waktu itu bapak saya sakit demam panas. Namun bapak memaksakan diri untuk bekerja mengangkat kotak besar berisi gandum milik tante saya. Karena terlampau berat, usus bapak saya lalu putus. Hanya empat hari setelah kejadian itu, bapak meninggal,” kenang Rm Laton.
Adik semata wayangnya pun sudah meninggal pada tahun 1974. “Ia menikah dan punya beberapa anak, tapi saya tidak tahu karena waktu ia menikah saya sudah ada di sini (Indonesia). Waktu adik meninggal, saya juga tidak bisa hadir,” kata imam yang pada 22 Februari 2017 yang lalu menjalani operasi pada kakinya di RS RK Charitas Palembang.
Semangat pelayanan sebagai misionaris sungguh sudah mendarah daging. Terlebih lagi ia sudah berpindah kewarganegaraan.
“Tahun 1984 aku disumpah untuk menjadi orang Indonesia. Waktu itu disuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan aku berdiri menyanyikan lagu Indonesia Tanah Airku,” ungkap Rm Laton sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya saat memberi sambutan seusai menerima penghargaan The Order Polonia Restituta.