SINODE biasa Oktober 2015 yang baru berakhir 25 Oktober 2015 mengambil tema “Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Dunia Sekarang ini”. Sementara Sinode Luar Biasa tahun 2014 mengambil tema “Tantangan-tantangan Pastoral Keluarga dalam Konteks Evangelisasi”.
Pada hari ketiga SAGKI 2015, Mgr. Suharyo membagikan ‘oleh-oleh’ informasi hasil Sinode tersebut.
Informasi umum
Acara kumpul-kumpul para Uskup dari seluruh dunia yang dikenal dengan istilah ‘sinode’ berawal dari sinode pertama yang digagas oleh mendiang Paus Paulus VI. Yang disebut Sinode Biasa terjadi dalam kurun waktu setiap tiga tahun sekali. Pada Sinode Uskup di bulan Oktober 2015, Gereja Katolik Indonesia diwakili oleh dua uskup: Mgr. Ignatius Suharyo selaku Ketua KWI dan Mgr. Fransiskus Kopong Kung dari Diosis Larantuka, Flores, NTT dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Keluarga KWI.
Karena memiliki 37 Keuskupan dan satu orang Uskup TNI/Polri, maka Indonesia mendapat jatah mengirim dua uskup sebagai peserta Sinode.
Perbedaan antara Sinode Biasa dan Sinode Luar Biasa adalah pada rutinitas dan jangka waktunya; Kalau Sinode Biasa, rutin diselenggarakan tiga tahun sekali, tetapi tidak ada batasan waktu untuk menyelenggarakan Sinode Luar Biasa.
Sinode Biasa Oktober 2015 sebenarnya merupakan kelanjutan Sinode Luar Biasa Oktober 2014 dimana untuk pertama kalinya keluarga menjadi pokok bahasan dan untuk pertama kalinya pula topik yang sama dibahas dua kali berturut-turut. Ini menunjukkan begitu pentingnya isu keluarga dipandang oleh Gereja.
Menjelang sinode, terdapat begitu banyak tulisan yang dibuat oleh berbagai pihak mengenai tema keluarga. Ada pihak-pihak yang sengaja membuat pertemuan dan mencoba mempengaruhi para peserta Sinode dengan mempublikasikan keprihatinan dan harapan mereka.
Salah satu tulisan yang bagus datang dari Konferensi Uskup Jerman dimana mereka bicara tentang upaya bisa “Membantu pasangan bercerai yang kemudian menikah kembali melalui jalan-jalan yang bertanggung jawab secara teologis dan pastoral”
Sementara itu, para Uskup Afrika membuat publikasi dengan judul menantang: “Afrika, Tanahair Kristus yang Baru”
Mgr. Suharyo mengungkapkan bahwa suasana awal sinode diwarnai dengan penuh kecurigaan. Secara diam-diam para peserta Sinode saling membatin, Uskup ini ada di pihak siapa? Anggota sinode sebanyak 270 dan hanya mereka yang punya hak suara. Pendengar dan undangan boleh bicara, tetapi tidak punya hak suara.
Pada waktu pembukaan Sinode, salah satu Uskup berkomentar tentang kegelisahan yang terasa di awal Sinode “Bau setan sudah masuk ke ruang ini.” Begitulah contoh suara-suara sumbang yang terjadi menjelang Sinode.
Banyak lobi terjadi di luar forum sinode. Banyak pula muncul undangan-undangan dari dua kelompok berseberangan: konservatif dan moderat. Karena daftar peserta Sinode dipublikasikan sebelum Sinode dimulai, Mgr. Suharyo mengemukakan bahwa account emailnya dipenuhi oleh email dari berbagai kelompok kepentingan yang bermaksud melobinya.
Namun, lagi-lagi berkat bimbingan Roh Kudus, semua berakhir sangat bagus. Hal itu tampak pada hasil akhir, dari 94 pernyataan, semua diterima mutlak. “Semua hasil dipublikasikan demi transparansi, termasuk pemungutan suaranya,” demikian ungkap Mgr. Suharyo mengutip pernyataan Paus Fransiskus.
Tentang Sinode
Mgr. Suharyo juga menjelaskan bahwa pembahasan sempat alot selain karena topik juga karena masalah penerjemahan. Dokumen asli ditulis dalam bahasa Italia dan kemudian baru diterjemahkan ke bahasa-bahasa lainnya. Mengenai bahasa ‘tinggi’ yang biasanya ditemui dalam dokumen Gereja, Mgr. Suharyo mengatakan sempat ada usulan agar dokumen Gereja dibuat dalam dua versi: versi mudah dan versi asli.
Untuk memperoleh gambaran umum hasil akhir Sinode Oktober 2015, berikut dikutipkan daftar isi naskah akhir yang disetujui oleh para Bapak Sinode.
Hasil Sinode 2015 secara umum dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian Pertama: Gereja Mendengarkan Keluarga
Jatidiri manusia selalu berubah. Istilah yang digunakan oleh Mgr. Suharyo adalah: dari tradisi menuju opsi. Tradisi sangat besar mempengaruhi cara pikir orang pada zaman dulu. Orangtua katolik, maka saya pun juga (harus) katolik. Sekarang, tradisi mulia zaman lampau itu sudah luntur. Lalu ada masalah yang dulu tidak ada di zaman sebelumnya. Kini, ribuan pengungsi telah membanjiri Eropa; sedangkan keluarga-keluarga di Eropa malah tidak punya banyak anak.
15 juta orang non kristiani kini menjadi penduduk di Jerman. Jerman juga telah menerima limpahan banyak pengungsi untuk kemudian tinggal di Jerman; juga menerima banyak pengungsi dari Afrika. Kita tidak tahu, 10 tahun lagi Jerman akan menjadi seperti apa.
Keprihatinan lain: terjadinya campur tangan negara. Masalah pasangan hidup sejenis kemudian dilegalisir oleh berbagai negara dan legalisasi adopsi bagi pasangan-pasangan seperti ini.
Di Amerika dan Eropa, pasangan hidup sejenis sudah menjadi gejala yang sangat luas. Ini semua menjadi tantangan besar. Penelitian Sinode 2014 atas pemahaman umat tentang perkawinan gerejani sangat rendah. Contoh lokal: Mengapa perkawinan katolik disebut sakramen? Itu karena diberkati oleh Pastor. Itu jawaban seorang ibu guru yang minta surat ke seorang pastor.
Bagian Kedua: Keluarga dalam Rencana Allah
Bagian ini berisi uraian tentang kerahiman Allah. Ini berkaitan dengan kesan banyak orang yang telah dipinggirkan oleh Gereja tanpa alasan jelas. Termasuk pertanyaan mendasar yang kini kian mengemuka soal komuni: apakah keluarga-keluarga ‘pecah’ masih tetap boleh menerima komuni?
Gereja berangkat dari kerahiman Allah, maka Gereja tanpa henti harus selalu mendampingi anak-anak Yesus dengan penuh cinta kasih. “Saya akan bicara dengan para pastor KAJ berkaitan dengan pengumuman di gereja sebelum komuni. Antara lain imbauan tidak boleh menerima komuni bagi mereka yang perkawinannya bermasalah,” kata Mgr. Suharyo.
Bagian Ketiga: Perutusan Keluarga
Ini berisi imbauan agar Gereja memiliki suara hati yang jernih di hadapan Allah. Juga punya integritas dan kejujuran. Gereja juga telah merampingkan proses anulasi. “Jangan dimengerti secara salah sebagai upaya meresmikan perceraian,” tandas Mgr. Suharyo.
Pokok-pokok masalah ini tengah digodok serius oleh para ahli Hukum Gereja. Pokok pembahasan mereka sekitar usaha keras pihak Gereja yang melakukan ‘perampingan’ prosedur anulasi perkawinan. “Jadi, ini ada indikasi sangat jelas bahwa Paus Fransiskus ingin membantu saudara-saudara kita yang sedang menghadapi kesulitan dalam perkawinan mereka,” Mgr. Suharyo.
Ini soal logika penerimaan, bukan logika peminggiran atau pengucilan. Sebuah langkah yang sangat berani diambil oleh Tahta Suci, demikian penegasan Mgr. Suharyo.
Kecenderungan Gereja Katolik saat ini bukanlah untuk melemahkan iman. Yang terjadi malah sebaliknya: Gereja ingin mengungkapkan kasih dalam hal-hal ini.
Pada bagian ini, Mgr. Suharyo juga menyampaikan agar umat katolik semakin rajin membaca dokumen-dokumen resmi Gereja yang kini dikoleksi oleh KWI (Dokpen KWI) dalam format digital yang bisa diakses oleh semua orang. Dokumen-dokumen itu sangat bagus dan diolah dari berbagai macam sumber terpercaya.
Catatan tambahan
Mgr. Suharyo sangat bisa merasakan adanya semacam “tegangan” antara suara hati versus aturan-aturan hukum yang kaku. Antara kerahiman Allah dan keadilan hukum. Antara kebenaran dan pengampunan. Itu karena, tambahnya, tidak ada keadilan yang berdiri sendiri. Juga, tidak ada kebenaran yang berdiri sendiri.
Mengutip Misericordiae Vultus, Paus mengatakan: “Gereja menyerupakan sikapnya dengan sikap Yesus yang dengan kasih tanpa batas, memberikan diri untuk semua, tanpa kecuali”.
“Hari Sabat adalah untuk manusia, bukan manusia untuk Hari Sabat. Gereja bukan museum, tetapi sumber air yang hidup. Gereja adalah ibu yang lemah lembut sekaligus sebagai guru yang menerangkan semuanya dengan dengan jelas. Pengarahan Paus sangat jelas, walau perlu penjabaran lebih luas,” demikian penjabaran Mgr. Suharyo kepada peserta SAGKI.
Catatan akhir
“Sejauh dapat saya tangkap,” demikian Mgr. Suharyo, “Sinode ini, meskipun isinya tidak baru, tetapi membangunkan Gereja, keluarga-keluarga, menjadi pusat umat beriman.”
Mgr. Suharyo memberi catatan khusus atas dua hal. Pertama, beliau keberatan atas kebiasaan penggunaan istilah kursus perkawinan. “Apakah dirasa tepat hal itu disebut kursus – jadi seolah guna memperoleh sertifikat tujuannya,” gugatnya.
“Mestinya istilahnya bukan kursus, karena hal itu juga mencerminkan sikap mental kita. Rasa-rasanya istilah itu tidak tepat,” tandas Ketua KWI ini.
Kedua, diperlukan pendampingan khusus bagi keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan. Sudah pasti, mereka itu berada dalam kondisi tidak normal. “Itulah yang harus diberi perhatian khusus; jadi, jangan sampai malah ada pengucilan bagi keluarga-keluarga bermasalah ini. Bagi keluarga-keluarga katolik, seharusnya tidak ada jalan buntu,” ungkap Mgr. Suharyo.
Pada akhir pemaparannya, Mgr. Suharyo menyimpulkan bahwa sekarang ini, keadaannya sudah berbeda, juga tradisi pernikahan berbeda, maka tidak ada pedoman yang kemudian bisa disebut berlaku umum. Pedoman-pedoman itu perlu diadaptasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda.
“Fokusnya adalah apa yang harus kita lakukan agar perkawinan dan hidup bekeluarga katolik sungguh menjadi jalan menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani,” tandas Uskup Agung Keuskupan Jakarta ini.
Itulah sebabnya, kata Mgr. Suharyo, di tengah-tengah acara besar Sinode Keluarga, Vatikan menyelenggarakan proses kanonisasi orangtua Santa Theresia Lisieux dari Kanak-kanak Yesus.
Menurut Mgr. Suharyo, ada dua pengandaian yang perlu diberi catatan, yakni: pertama, ‘kita’ bukan ‘saya’. Berarti kerjasama yang baik juga perlu dikembangkan. Berkelahi itu gampang. Kedua, perlu belarasa terhadap hidup berkeluarga.
Kredit foto: Romo FX Adisusanto SJ/Dokpen KWI