Catatan Redaksi:
Dokumen hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI ke-4) yang berlangsung tanggal 2-6 November 2015 akhirnya resmi berakhir pada hari Jumat (6/11) siang. Perjalanan SAGKI ke-4 tahun 2015 berujung dengan perayaan ekaristi meriah secara konselebrasi dipimpin oleh para Uskup Regio Papua (Mgr. Leo Laba Ladjar OFM/Jayapura, Mgr. Nicolaus Adiseputra MSC/Merauke, Mgr. Aloysius Murwito OFM/Agats-Asmat, Mgr. Hilarion Datus Lega/Manokwari-Sorong, dan Mgr. John Philip Saklil/Timika).
SAGKI ke-4 tahun 2015 secara resmi ditutup dengan pemukulan gong oleh Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo, menandai berakhirnya hajatan iman Gereja Katolik Indonesia bersama para wakil utusan dari 37 Keuskupan, 1 Keuskupan TNI, dan semua Uskup Indonesia dan sejumlah Uskup Emeritus. Kali ini, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta berhalangan hadir mengikuti SAGKI ke-4 tahun 2015.
Di ujung misa konselebrasi penutupan dengan Mgr. Leo Laba Ladjar OFM sebagai konselebran utama, dokumen hasil akhir SAGKI 2015 dibacakan oleh Mgr. Antonius Subiyanto Bunjamin OSC, Uskup Diosis Bandung, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Perumus SAGKI 2015.
Berikut ini adalah naskah final yang diolah bersama anggota tim perumus setelah mengadopsi beberapa masukan yang disampaikan oleh para peserta dalam sidang pleno.
—————-
Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia IV
Via Renata – Cimacan, 2–6 November 2015
Pengantar
1. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) IV yang diadakan pada 2–6 November 2015 di Via Renata – Cimacan mengambil tema “Keluarga Katolik: Sukacita Injil, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk”.
Dengan mengangkat tema itu, Gereja Katolik Indonesia bersehati dan seperasaan dengan Gereja Universal yang membahas tema keluarga dalam Sinode Para Uskup (2015) kelanjutan Sinode Luar Biasa Para Uskup (2014).
SAGKI yang mendalami tema keluarga sebagai hal penting dan mendesak ini diikuti oleh 569 peserta yang terdiri dari uskup, imam, biarawan-biarawati, perwakilan umat dari 37 keuskupan, perwakilan keuskupan TNI, dan kelompok kategorial.
2. Keluarga sebagai “sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (Familiaris Consortio 42) dan “sekolah kemanusiaan” (Gaudium et Spes 52) menjadi tempat pertama seseorang belajar hidup bersama orang lain serta menerima nilai-nilai luhur dan warisan iman.
Di situlah seseorang menjadi pribadi matang yang menggemakan kemuliaan Allah. Keluarga katolik menjadi tempat utama, dimana doa diajarkan, perjumpaan dengan Allah yang membawa sukacita dialami, iman ditumbuhkan, dan keutamaan-keutamaan ditanamkan.
3. SAGKI 2015 mendalami kehidupan keluarga melalui kesaksian beberapa keluarga tentang buah-buah sukacita Injil dalam keluarga dan tantangan keluarga ketika memperjuangkan sukacita Injil serta melalui paparan tentang membangun wajah ecclesia domestica di Indonesia.
Pengalaman tersebut diteguhkan oleh para ahli, didiskusikan dalam 17 kelompok dari segi spiritual, relasional, dan sosial, dipresentasikan dalam pleno, dan akhirnya dipersembahkan dengan penuh syukur dalam Perayaan Ekaristi.
4. Selama SAGKI 2015, dialami rasa syukur dan gembira serta rasa haru dan air mata saat mendengarkan dan menyaksikan sukacita dan pengalaman jatuh-bangun keluarga-keluarga katolik dalam memperjuangkan kekudusan perkawinan dan keutuhan keluarga.
Buah-buah Sukacita Injil dalam Keluarga
5. Dengan penuh iman, Gereja mensyukuri perkawinan katolik sebagai sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah Tritunggal dalam hidup berkeluarga. Perjumpaan dengan Kristus membawa sukacita Injil (bdk. Evangelii Gaudium 1).
Pasangan suami-istri percaya bahwa Allah menghendaki, memberkati, dan mencintai keluarganya. Keyakinan ini meneguhkan suami-istri untuk setia dalam untung dan malang serta menambah sukacita dalam keluarga baik secara spiritual, relasional, maupun sosial.
6. Bercermin dari hidup Keluarga Kudus Nazaret, keluarga katolik dihayati sebagai ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur, menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil. Di dalam keluarga, suami-istri dan anak-anak saling mengasihi, membutuhkan, dan melengkapi.
Kesabaran, pengertian, dan kebersamaan saat makan, doa, dan pergi ke gereja adalah wujud nyata kasih sayang tersebut. Kasih yang dibagikan tidak pernah habis, tetapi justru meningkatkan sukacita dalam keluarga.
Oleh karena itu, ketika para anggota keluarga terpaksa terpisah dari pasangan atau dari anak-anak karena alasan pekerjaan atau sekolah, mereka berusaha mencari cara bagaimana kasih satu sama lain tetap dapat terjalin dan keutuhan keluarga dapat diwujudkan.
7. Sukacita keluarga dialami secara spiritual dalam hubungan dengan Allah melalui kegiatan rohani sehingga kerinduan akan Sabda Allah tumbuh, iman makin tangguh, kepasrahan meningkat, dan pengalaman dicintai Allah dirasakan.
Sukacita keluarga dialami secara relasional saat menjalin perjumpaan dan kebersamaan hidup yang bermutu, mempererat relasi kasih, saling memaafkan, menunjukkan sikap tenggang-rasa dan keberanian berkorban, serta sadar akan tanggungjawab pada generasi selanjutnya.
Sukacita keluarga dialami secara sosial melalui kepedulian terhadap orang lain, pelayanan tulus terhadap sesama, pekerjaan sesuai panggilan, dan keteladanan hidup. Sukacita makin sempurna saat keluarga disapa dan diteguhkan oleh Gereja dalam pelayanannya.
8. Sukacita yang dinikmati di dalam keluarga juga menjadi kekuatan untuk mengasihi Allah dan sesama melalui pelayanan di Gereja dan masyarakat tanpa memperhitungkan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan serta kepentingan material. Keyakinan ini diteruskan kepada anak-anak lewat pendidikan iman yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan agar mereka mencintai Allah dan sesama.
Tantangan Keluarga dalam Memperjuangkan Sukacita Injil
9. Sukacita dialami oleh keluarga yang mewujudkan rencana Allah atas perkawinan dan keluarganya. Sebagian keluarga membutuhkan perjuangan lebih karena menghadapi aneka tantangan dan kelemahan.
Tantangan itu antara lain: kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan katolik seperti poligami, mahalnya mas kawin, dan kuatnya tuntutan pernikahan adat, hidup sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi yang menggantikan perjumpaan pribadi, dan pemujaan kebebasan serta kenikmatan pribadi.
Kelemahan itu antara lain: kekurang-dewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan meninggalnya pasangan, keterbatasan kemampuan orang tua untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak-anak, ketidak-tahuan tentang makna dan tujuan perkawinan katolik, kesulitan dan ketidakmampuan untuk hidup bersama karena perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan tidak sah, ketidak-setiaan dalam perkawinan, hadirnya orang ketiga (idaman lain atau keluarga besar pasangan), dan perpisahan yang tak terelakkan.
Tantangan dan kelemahan ini menyebabkan perasaan terbeban, bingung, sedih, sepi, dan bahkan putus-asa bagi anggota keluarga. Tantangan dan kelemahan itu bisa membawa keluarga pada krisis iman yang merintangi, membatasi, dan bahkan menghalangi keluarga untuk setia kepada iman katolik dan untuk menghidupi nilai-nilai luhur perkawinan.
10. Di tengah pergumulan memperjuangkan sukacita Injil, keluarga mesti datang penuh kerendahan-hati untuk dikuduskan oleh Allah yang berbelas-kasih yang melampaui kelemahan dan kedosaan manusia. Pembelaan Allah yang begitu besar ini merupakan sukacita yang patut disadari dan disyukuri. Kekudusan keluarga merupakan rahmat sekaligus tugas bagi keluarga untuk dipertahankan.
Oleh karenanya, keluarga diundang untuk bersikap dewasa, bertindak bijaksana, dan tetap beriman dengan tidak menyalahkan situasi, tetapi setia mencari kehendak Allah melalui doa dan Sabda Allah, mengutamakan pengampunan dan peneguhan di antara anggota keluarga, serta pergi menjumpai pribadi atau komunitas beriman yang mampu membangkitkan harapan.
Keluarga yang mengandalkan Allah percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Selalu ada jalan keluar. Tantangan adalah kesempatan untuk bertumbuh dalam kepribadian serta iman, harapan, dan kasih. Tantangan tidak harus menyuramkan nilai-nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Melalui tantangan itu, Allah mengerjakan karya keselamatanNya di dalam dan melalui keluarga.
11. Gereja terpanggil untuk bersama-sama mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati dengan keluarga yang sedang menghadapi tantangan, termasuk mereka yang tidak sanggup mempertahankan nilai-nilai hidup perkawinan dan keluarga.
Di sinilah Gereja hadir untuk menampilkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih, terutama bagi keluarga yang berada dalam situasi sulit. Dalam kemurahan dan belas kasih Allah, keluarga-keluarga tidak akan mengalami kebuntuan dalam perjalanannya meraih kebahagiaan.
Gerak Bersama: Membangun Ecclesia Domestica di Indonesia
12. “Keluarga merupakan buah dan sekaligus tanda kesuburan adikodrati Gereja serta memiliki ikatan mendalam, sehingga keluarga disebut sebagai Gereja Rumah-Tangga (ecclesia domestica). Sebutan ini sudah pasti memperlihatkan eratnya pertalian antara Gereja dan keluarga, tetapi juga menegaskan fungsi keluarga sebagai bentuk terkecil dari Gereja. Dengan caranya yang khas keluarga ikut mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yaitu karya keselamatan Allah” (Pedoman Pastoral Keluarga KWI 2010, No 6).
Sebagai Gereja Rumah-Tangga, keluarga menjadi pusat iman, pewartaan iman, pembinaan kebajikan, dan kasih kristiani dengan mengikuti cara hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47; 4: 32-37). Gereja Rumah-Tangga mengambil bagian dalam tiga fungsi imamat umum Yesus Kristus, yaitu guru untuk mengajar, imam untuk menguduskan, dan gembala untuk memimpin. Gereja Rumah-Tangga di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai kristiani yang diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk.
13. Dalam reksa pastoral keluarga, Gereja mesti berangkat dari keprihatinan dan tantangan keluarga zaman ini yang semuanya membutuhkan kerahiman Allah. Gereja dipanggil untuk menunjukkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih melalui pelayanan, terutama kepada mereka yang paling lemah, rapuh, terluka, dan menderita. Kerahiman Allah tidak pernah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, tetapi bergerak melampauinya karena “Allah adalah kasih” (1Yoh 4: 8).
14. Demi menggiatkan pastoral keluarga yang berbelas kasih dan penuh kerahiman, Gereja dipanggil melakukan pertobatan pastoral secara menyeluruh. Pertobatan dimulai dari pelayan-pelayan pastoral yang berkarya dalam pelbagai lembaga pelayanan. Dengan demikian, pastoral keluarga dapat menanggapi persoalan keluarga secara tepat.
Untuk itu:
a. Pedoman Pastoral Keluarga KWI yang diterbitkan tahun 2010 harus diperhatikan dan dilaksanakan;
b. Reksa pastoral keluarga terpadu dan berjenjang mulai dari persiapan perkawinan sampai pada pendampingan keluarga pasca nikah, termasuk pertolongan pada keluarga dalam situasi khusus harus dibentuk dan dihidupkan kembali;
c. Katekese keluarga harus dikembangkan;
d. Kebijakan dan koordinasi perangkat pastoral keluarga baik di tingkat KWI, regio, keuskupan, maupun paroki harus ditegaskan dan disosialisasikan;
e. Keuskupan-keuskupan se-Indonesia harus bekerjasama dan solider dalam sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan;
f. Pelayanan perangkat pastoral seperti Komisi Keluarga dan Tribunal Gerejawi harus mendapat perhatian dan diberdayakan;
g. Lembaga dan pelayan pastoral keluarga, termasuk kelompok-kelompok kategorial dan pemerhati keluarga serta para ahli harus diikutsertakan;
h. Komunitas basis keluarga dan institusi pendidikan katolik harus dilibatkan;
i. Ekonomi keluarga harus ditingkatkan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan;
j. Data-data yang berkaitan dengan kepentingan pastoral keluarga harus dimanfaatkan;
k. Lembaga Hidup Bakti harus diikut-sertakan dalam pastoral keluarga dengan tetap menghormati kekhasan karismanya.
Dalam gerak bersama tersebut, kita perlu juga terbuka untuk bekerja-sama dengan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan, dan bahkan pemerintah.
15. Keluarga katolik dipanggil untuk mewartakan sukacita Injil dengan kesaksian hidupnya dan kepeduliannya kepada keluarga-keluarga lain. Dengan demikian, keluarga sungguh menjadi Gereja Rumah-Tangga yang tidak terkungkung dalam dirinya sendiri, tetapi menjalankan tugas perutusannya dalam memajukan Gereja dan menyejahterakan masyarakat (bdk. Familiaris Consortio 42).
Penutup
16. Kekayaan pengalaman dan aneka diskusi selama SAGKI 2015 tak mungkin dirangkum seluruhnya dalam rumusan hasil Sidang ini. Namun, kesaksian keluarga, diskusi kelompok, peneguhan dari ahli, kebersamaan, dinamika kerja panitia, dan kreasi bersama tim animasi dalam SAGKI tetap akan terdokumentasikan dalam bentuk buku, video, dan foto. Kita semua yakin bahwa para peserta SAGKI IV inilah yang sepantasnya berperan sebagai “dokumen” dan saksi hidup yang kaya akan pengalaman sukacita Injil dalam keluarga.
17. Pada akhir Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia ini, marilah kita semakin percaya bahwa Allah menjumpai para anggotanya untuk membimbingnya menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani. Kita bersyukur kepada Allah karena keluarga katolik mengalami sukacita baik dalam kesetiaan perkawinannya maupun dalam perjuangan menghadapi tantangan.
Kita percaya bahwa Roh Kudus menyertai keluarga memelihara dan merawat kesuciannya. Kita turut prihatin bersama keluarga yang berada dalam situasi sulit. Semoga Gereja sebagai sumber air hidup dapat menjadi Guru bijaksana dan Ibu pemberi harapan bagi keluarga.
Keluarga Kudus Nazaret, doakanlah kami untuk mewujudkan keluarga katolik yang memancarkan sukacita Injil.
Kredit foto: Ilustrasi (Yohanes Indra/Dokpen KWI