RENDAH hati, apa adanya, dan tidak menutupi kekurangan, begitu kesan yang muncul terhadap sosok Uskup Emeritus Keuskupan Malang dan kemudian Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong: Mgr. FX Sudartanta Hadisumarta O.Carm.
Sosoknya masih kelihatan segar. Namun, beliau mengatakan bila kondisinya sudah semakin menurun, dan saat wawancara berlangsung, beliau baru saja sembuh dari sakit.
Mgr. Hadi bercerita, ada tiga ruas tulang belakangnya yang harus dioperasi di Singapura. Itulah alasan mengapa dia menggunakan penyangga tulang belakang. Meski menggunakan penyangga tulang belakang, hal itu tidak mempengaruhi aktivitas memimpin misa.
“Saya selalu pakai penyangga tulang belakang, kadang saya susah berjalan. Kalau berdiri saat misa berlangsung tidak masalah, hanya jika berjalan agak sulit. Rasanya seperti kesemutan, jadi berjalan harus perlahan-lahan,” kata Mgr. Hadi.
Bagi Mgr. Hadi, selama 13 tahun berada di Wisma Karmel Jakarta, beliau mengaku senang. Namun, beliau mengisyaratkan akan lebih senang lagi jika bisa hidup wajar.
“Hidup wajar di sini agak sulit ya. Salah satu contohnya, orang harus menggunakan AC, karena udara Jakarta memang sangat panas sekali. Jadi ya, memang sulit untuk bisa hidup wajar,” kata Mgr. Hadi.
Jika diminta memilih, yang berkaitan dengan pola hidup wajar tersebut, Mgr. Hadi suka tinggal di Malang. “Memang di sini kelihatan agak mewah ya. Tapi sebenarnya wisma ini ada sejarahnya. Karmelit di Jakarta tidak mempunyai rumah, pastoran itu milik keuskupan. Jadi tidak enak, apabila kita numpang di pastoran”, kata Mgr. Hadi.
Soal pilihan tinggal, memang di Malang lebih nyaman, namun Mgr. Hadi justru memilih tidak tinggal di Malang.
“Nah, terkait dengan soal pilihan tadi, saya lebih baik tidak tinggal di Malang, meski lebih suka. Keuskupan Malang biar hanya ada satu Uskup, kalau saya di Malang akan menjadi tidak baik, meskipun saya Uskup Emeritus. Saya lebih baik di sini. Ibaratnya kapal, biar hanya satu nakhoda saja,” tutur Mgr. Hadi.
Pengalaman berharga di Keuskupan Manokwari-Sorong
Jika membicarakan perjalanan pelayanan Mgr. Hadi, yang paling berharga justru saat melayani Keuskupan Manokwari-Sorong, Papua.
Memang, Mgr. Hadi mengaku sangat berat melayani umat Katolik di Papua Barat. Namun justru kini dia merasakan begitu berharganya pelayanan yang dilakukan selama 15 tahun di Papua.
“Saya justru merasakan pelayanan yang saya lakukan selama 15 tahun tersebut sangat berharga,” ungkap Mgr. Hadi.
Dari cara berfikir, kebudayaan, kebiasaan, dan tingkah laku juga sangat berbeda antara melayani di Pulau Jawa dan di Papua.
“Selalu muncul perbedaan. Tidak semua orang bisa mengikuti cara pikir saya. Orang Papua tidak mengenal apa arti rendah hati. Tidak mengenal banyak hal lainnya yang sudah menjad hal biasa di Jawa. Namun, justru perbedaan ini terasa sangat berharga sekali bagi saya,” kata pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 13 Desember 1932.
Tahun 2020 ini, Mgr. Hadi telah genap berumur 87 tahun.
Di Papua, mereka mengatakan harus ada kepastian. Termasuk ketika Mgr. Hadi blusukan di pasar-pasar.
Mgr. Hadi mendapatkan hal yang berbeda dari cara berdagang orang Jawa dan Papua.
“Soal tawar-menawar harga, misalnya, tidak pernah terjadi. Harga mereka selalu pas, tidak bisa ditawar. Artinya, mereka mematok harga pas, jika tidak mau membeli dengan harga tersebut, ya tidak apa-apa. Jadi tidak ada tawar menawar,” tegas Mgr. Hadi yang ditahbiskan menjadi Imam Karmelit (O.Carm) pada 12 Juli 1959 ini.
Masih soal perbedaan kebiasaan, budaya dan cara menyampaikan pendapat.
Mgr. Hadi bercerita, dalam sebuah pertemuan komunitas basis, dia dikritik secara tajam di depan umum oleh orang Papua.
“Saya dikritik di depan umum. Di hadapan sekitar 175 orang, komunitas basis. Mereka mengatakan demikian. Mari kita bandingkan kepemimpinan Mgr. Petrus Malachias van Diepen OSA dengan Mgr. FX. Sudartanta Hadisumarta O.Carm. Memang saat itu saya tidak bisa menilai, baru terasa berharga saat ini, setelah saya berada di wisma ini,” tutur sahabat alm. Romo Y. Mangunwijaya ini.
Naik skuter rute Malang-Jakarta
Situasi revolusi di Jawa Tengah pada awal tahun kemerdekaan Republik Indonesia memaksa Mgr. Hadi menjadi semiaris diaspora. Itu karena aeminari diduduki Belanda.
Saat itu, seluruh tempat pendidikan tidak memungkinkan untuk menampung para seminaris belajar dengan tenang. “Saya bersama almarhum Romo Mangun dipanggil dan disarankan ke Jawa Timur (Malang) untuk melanjutkan pendidikan. Itu terjadi sekitar tahun 1948,” ungkap Mgr. Hadi.
Ada cerita menarik tentang alm. Romo Mangun, sahabat Mgr. Hadi ini.
“Romo YB Mangun itu aslinya namanya Bilyarta. Mangun itu nama ayahnya. YB itu bukan Yohanes Baptis, tapi Jusuf Bilyarta. Dia diberi nama Bilyarta, karena lahir saat ayahnya sedang main bilyar,” kenang Mgr. Hadi tentang nama Romo YB Mangunwijaya ini.
Pada tahun 1949, Mgr. Hadi bersama Romo Mangun berangkat ke Malang. Dari Magelang, mereka menuju Pelabuhan Semarang, lalu naik kapal menuju Surabaya.
Setelah itu disambung dengan kereta api menuju Malang.
“Saya bersama Romo Mangun masuk SMA Santo Albertus (Dempo) Malang. Lalu kami berdua masuk Seminari Tinggi,” jelas Mgr. Hadi yang kemudian lebih dikenal sebagai “arek Malang”.
Setelah menyelesaikan pendidikan seminari, Romo Mangun dikirim ke Jerman untuk mengambil studi arsitektur. Setelah 10 tahun menjalani studi dan menjadi “arek Malang”, Mgr. Hadi ditahbiskan imam pada tahun 1959, lalu pada tahun 1960, Mgr. Hadi melanjutkan studi ke Roma (Italia).
“Kami bertemu lagi di komunitas mahasiswa katolik Indonesia di Eropa, minimal satu tahun sekali ada pertemuan,” kata Mgr. Hadi.
Perjalanan menuju Italia ternyata tidak segampang saat ini. Mgr. Hadi membutuhkan waktu tiga pekan (sekira 21 hari) perjalanan dari Jakarta menuju Italia (Eropa).
“Saya naik kapal, selama tiga pekan di tahun 1960. Rutenya, kapal berangkat dari Sydney menuju Jakarta, Singapura, India, lewat terusan Suez menuju Pelabuhan Genoa (Italia),” kata Mgr. Hadi.
Pada tahun 1965, usai studi di Roma, Mgr. Hadi pulang ke Malang untuk mengajar. Satu tahun mengajar di Malang, Mgr. Hadi kemudian ditugaskan ke Pematangsiantar pada tahun 1966.
Saat itu situasi Indonesia juga kurang baik, karena pada September 1965, isu PKI sangat menakutkan.
Sebagai pastor muda yang energik, Romo Hadi dikenal senang naik skuter (Vespa). Nah, saat menuju Jakarta – sebelum berangkat ke Pematang Siantar – inilah, Mgr. Hadi melakukan perjalanan dengan menggunakan skuter (Vespa) selama 3 hari.
“Saat itu, transportasi susah. Isu PKI masih sangat menakutkan. Akhirnya saya naik skuter ke Jakarta. Selama tiga hari perjalanan dari Malang ke Jakarta. Rutenya, saya dari Malang ke Magelang pamit bapakiIbu, lalu lanjut ke Jakarta lewat Ambarawa, Semarang, Pekalongan, Tegal istirahat di Cirebon, lalu menuju Jakarta,” kata Mgr. Hadi.
Selama perjalanan menuju Jakarta, Mgr. Hadi selalu memakai jubah yang digulung, lalu ditutup jaket agar aman dari terpaan angin dan debu.
“Mengapa saya pakai jubah? Agar perjalanan saya aman. Karena, sepanjang perjalan Malang-Jakarta, selalu ada pemeriksaan PKI atau bukan. Dengan menggunakan jubah, mereka mengenal saya sebagai Pastor (Romo) dan bukan ateis (komunis),” terang Mgr. Hadi.
Di Pematangsiantar, setiap Senin-Jumat saya mengajar di Seminari Tinggi, selain melakukan pelayanan pastoral.
“Romo Yohanes Indrakusuma CSE, alm. Mgr. Herman Joseph Sahadat Pandoyoputro O.Carm, dan Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga OFM.Cap adalah manta murid saya,” kata Mgr. Hadi yang pernah melakukan studi tafsir Kitab Suci di Yerusalem.
Dua bulan tak sadar dampak kecelakaan di kebun karet
Mgr. Hadi sempat mengalami kecelakaan di kawasan perkebunan karet yang jaraknya cukup jauh di luar kota Pematangsiantar. Kecelakaan itu menyebabkan dia tidak sadarkan diri selama dua bulan.
Setelah kecelakaan tersebut, ia dirawat di rumah sakit di Pematangsiantar dan di Medan sebelum akhirnya dirawat selama tiga bulan di Nijmegen, Belanda. Lalu menjalani pemulihan selama enam bulan di Bonn, Jerman.
Setelah pulih, dia meneruskan tugasnya mengajar di Seminari Tinggi Pematangsiantar dan Seminari Tinggi Malang.
“Hingga saat ini, saya tidak pernah tahu, apa, bagaimana, mengapa dan karena apa saya kecelakaan. Yang pernah diceritakan kepada saya, bahwa saya tidak sadar selama dua bulan. Tetapi Tuhan itu baik.”
“Dan saya sama seperti ibu saya sampai usia 90 tahun lebih, rambutnya masih hitam. Juga masih bisa mandiri, mencuci pakaian sendiri. Satu nasihat ibu yang selalu saya ingat dan itu selalu saya pegang teguh: sing wis, yo wis (yang sudah, ya sudah),” ungkapnya.
“Kadang kita mengalami kegagalan dalam studi atau pun hal lainnya. Kita tidak usah terlalu mengingat-ingat kegagalan itu. Biarlah hal itu sudah berlalu. Kita harus membuat diri sendiri menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya,” tutur Uskup Emeritus Keuskupan Manokwari-Sorong ini menutup pembicaraan dengan penulis di Jakarta beberapa bulan lalu.