PADA tanggal 25 Juni 2019 Gereja Katolik Lokal Keuskupan Agung Semarang (KAS) merayakan ulang tahun ke-79. Tonggak sejarah kelahiran Gereja Lokal KAS ini ditandai dengan Konstitusi Apostolik Vetus de Batavia.
Dalam Konstitusi Apostolik tersebut, Paus Pius XII menyatakan bahwa Vikariat Apostolik Semarang resmi berdiri pada tanggal 25 Juni 1940. Sebelumnya, “KAS” waktu itu masih berstatus Stasi dan berada dalam reksa pastoral Vikariat Apostolik Batavia –kini Keuskupan Agung Jakarta.
Motto dan logo pastoral
Biasanya visi kepemimpinan seorang Uskup disimbolkan dengan logo dan motto penggembalaannya. Hal ini kemudian dilengkapi dengan tongkat gembala.
Tongkat gembala para Uskup KAS sangat khas.
Konon, Bapak Justinus Kardinal Darmojuwono (alm) yang menggantikan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ mulai menggunakan tongkat gembala yang diwariskan kepada Uskup Agung Semarang beserta seluruh umat sampai sekarang.
Kepala tongkat gembala tersebut diawali dengan huruf “C” untuk “Christus”, dan bergambar burung Pelikan.
Kisah tentang burung pelikan
Almarhum Mgr. Johannes Pujasumarta pernah berkisah tentang keluarga burung Pelikan. Berikut ini kisahnya:
Di kalangan bangsa burung ada kisah tentang keluarga burung Pelikan di hutan yang subur. Konon, ketika musim kemarau tiba, kekeringanlah terjadi.
Makhluk-makhluk hutan menderita, tidak terkecuali keluarga burung Pelikan. Bencana kelaparan melanda hutan tersebut.
Induk Pelikan tidak diam saja, ketika menyaksikan anak-anaknya mulai hampir mati kelaparan dan kehausan.
Ada suara lirih namun jelas terdengar oleh Induk Pelikan, “Kamu harus memberi mereka makan.” Namun, tidak tersedia makan dan minum lagi untuk mereka.
Induk Pelikan tidak kehilangan akal. Ia sorongkan temboloknya, seakan berkata kepada anak-anaknya, “Makanlah tubuhku, minumlah darahku.”
Kalau induk Pelikan saja, menurut Mgr. Pujasumarta, mendengar suara tersebut dan bertindak menurut suara itu, agar anak-anaknya selamat, tentu kita manusia, perempuan dan laki-laki, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah akan mampu bertindak secara betanggungjawab, ketika mendengar suara Tuhan.
Santo Thomas Aquinas telah membandingkan Kristus dengan Induk Pelikan, yang bersedia memberikan hidupnya, agar anak-anaknya hidup.
Kisah tersebut tersimpan dalam bait 5 “Adoro Te, devote” atau “Allah Yang Tersamar” (Puji Syukur No. 560).
Sudah sejak lama burung Pelikan dijadikan ornamen untuk liturgi Gereja.
- Panti imam di Ganjuran berhiaskan burung Pelikan. Di altar kapel Rumah Sakit Sint Elisabeth Semarang juga berhiaskan burung Pelikan.
- Konon, lencana para peserta Kongres Ekaristi di Yogyakarta tahun 1939 juga bergambar burung Pelikan.
- Begitu juga lukisan kaca pintu rumah Uskup KAS dan mitra yang dikenakan Bapa Uskup salah satunya berhiaskan burung Pelikan.
- Di gedung baru Pusat Pasatoral Sanjaya Muntilan juga dihiasi gambar dan patung burung pelikan.
Gereja Yesus dan Maria
Chiesa Santissimi nomi di Gesù e Maria atau Gereja Nama Kudus Yesus dan Maria di Roma ini ternyata mempunyai ikatan batin dengan kami –para imam diosesan– yang berasal dari Keuskupan Agung Semarang, Indonesia.
“Keberadaan” Kardinal Justinus Darmojuwono ada di gereja yang berada di Roma. Gereja ini berlokasi di Via del Corso no. 45 Roma, dekat Piazza del Popolo Italia.
Di dalam biara gereja itu tersimpan lukisan bergambar (alm) Justinus Kardinal Darmojuwono, Uskup kedua KAS sekaligus Kardinal pertama Indonesia.
Kami jelas merasa bersukacita bisa menemukan “jejak” Kardinal Darmojuwono di dalam gereja tersebut. Ada rasa bangga dan bersyukur.
Lukisan Kardinal Darmojuwono yang kami lihat di gereja itu masih terawat dengan baik.
Mengapa ada lukisan Kardinal Darmojuwono di gereja itu? Paus Paulus VI mengangkat Mgr. Justinus Darmojuwono menjadi Kardinal Indonesia pertama pada Konsistori 26 Juni 1967 dengan gelar Kardinal-Imam Santissimi Nome di Gesù e Maria in Via Lata.
Sebagai seorang Kardinal, Mgr. Darmojuwono mempunyai “tahta” di Roma. Chiesa Santissimi nomi di Gesù e Maria disediakan Bapa Suci untuk Kardinal Darmojuwono.
Gelar jabatan Kardinal-Imam Santissimi Nomi di Gesù e Maria in Via Lata ini dikenakan padanya dari tahun 1967–1994.
Motto penggembalaannya adalah “In Te Confido” (Kepada-Mu, Aku Percaya).
Setelah Kardinal Justinus Darmojuwono wafat tahun 1994, maka gelar jabatan Kardinal-Imam Santissimi Nomi di Gesù e Maria in Via Lata itu diteruskan oleh Kardinal Avery Robert Dulles SJ dari Amerika Serikat.
Terimakasih kepada komunitas para imam “Ordo Augustiniensium Discalceatorum” (Ordine degli Agostiniani Scalzi) yang setia menjaga, memelihara dan merawat lukisan tersebut.
Bagi penulis, lukisan yang dibuat pada tahun 1967 itu menjadi simbol yang sangat nyata bagaimana pentingnya merawat “ingatan” atau anamnese dalam perjalanan hidup beriman dan menggereja sepanjang zaman.
Usia lukisan itu sudah lebih dari 50 tahun, tepatnya 52 tahun, saat kami berziarah dan melihat lukisan tersebut.
Dua kali saya melihat langsung lukisan itu pada tanggal 9 April 2019 dan 23 April 2019.
Sepulang dari kuliah di Pontificia Università Gregoriana 9 April 2019, saya mampir ke gereja itu. Saat itu saya bertemu dengan Frater Justin Mbuyi OAD dari Congo, yang sedang bertugas melayani para peziarah di dalam gereja itu.
Atas izinnya, saya boleh masuk ke dalam Sakristi dan ke biara mereka untuk melihat lukisan Kardinal Darmojuwono itu.
Kesempatan berikutnya pada tanggal 23 April 2019. Saya bersama-sama dengan Rama FX Sukendar Pr, Rama Agustinus Agus Widodo Pr, dan Frater Gregorius Deddy.
Pada saat itu, ada Frater Tasimo Gael OAD dari Kamerun dan Pastor Gabriele Ferlisi yang sedang bertugas-servizio di gereja. Setelah memperkenal diri dan menyatakan maksud kedatangan, kami pun diizinkan melihat lukisan itu, bahkan ditawari minum kopi dan menikmati hidangan di ruang makan biara mereka.
Simbol sangat penting
Sebuah simbol sangat dihargai dan dihidupi oleh Gereja Katolik dari masa ke masa, baik simbol dalam liturgi maupun simbol non liturgi. Simbol bisa menjadi sarana untuk membantu orang dalam menghidupi iman katolik. Simbol itu dapat berupa benda peninggalan, warna, tata gerak, lukisan, gambar, patung, dsb.
Melihat kembali lukisan Kardinal Darmojuwono di Kota Abadi Roma, yang jauh dari Tanahair itu berbeda rasanya. Lukisan itu pun penuh dengan simbol yang istimewa dan tiada duanya. Kami belum pernah melihat model lukisan seperti itu, yaitu Kardinal Darmojuwono mengenakan jubah merah.
Lukisan itu membawa anamnese (kenangan-ingatan) kami akan sosok pribadi Kardinal Darmojuwono yang berwibawa, dikagumi dan dihormati oleh Pemerintah Indonesia maupun Umat Katolik Indonesia pada kurun masa zamannya. (Berlanjut)