Sejarah Perkembangan
KEHADIRAN Seminari Tinggi St. Paulus tidak bisa dipisahkan dari kepedulian Mgr. Petrus J. Willekens SJ, Vikaris Apostolik Batavia (1933-1952) yakni komitmennya untuk mengakarkan warta Injil Yesus Kristus dalam Gereja Indonesia. Untuk mewujudkan kepedulian tersebut, maka pada tahun 1936 ia merintis berdirinya Seminari Tinggi untuk para calon imam diosesan di Indonesia dan itu mengambil tempat sebagai lokasinya di Kompleks Misi Muntilan.
25 tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1911, Mgr. Antonius van Velsen (Vikaris Apostolik Batavia) telah mendirikan Seminari Menengah di Muntilan demi pengembangan jumlah imam pribumi. Sebagian dari lulusan Seminari Menengah inilah yang nantinya akan masuk ke Seminari Tinggi.
Prakarsa mendirikan Seminari Tinggi itu didasarkan pada suatu visi untuk membangun Gereja pribumi atau Gereja lokal yang mandiri dan kokoh. Maka tanggal 15 Agustus 1936 ditetapkan sebagai hari berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus.
Baca juga:
- Panen Pastor di Keuskupan Agung Semarang, Juni-Juli 2016
- 80 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta: Sembilan Kali Berpindah Tempat (1)
Suster-suster Abdi Kristus (AK) dan Bruder Rasul
Untuk menopang perkembangan Gereja lokal yang semakin membumi, dalam periode waktu yang berdekatan, Mgr. P.J. Willekens SJ juga memprakarsai berdirinya Kongregasi Bruder Rasul dan Kongregasi Biarawati pribumi yang bernama Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) dan yang sekarang dikenal dengan nama Suster-suster Abdi Kristus (AK). Kongregasi Bruder Rasul yang dirintis di Yogyakarta sejak 1 Juni 1929 tersebut diresmikan sebagai Kongregasi Bruder Diosesan pada tanggal 18 Juni 1938, namun pada tanggal 1 Oktober 1964 dibubarkan. Sedangkan decretum atau Surat Kekancingan yang menetapkan berdirinya Kongregasi ADSK itu ditandatangani oleh Mgr. Willekens SJ pada tanggal 29 Juni 1938.
Sembilan kali pindah tempat
Situasi politik yang tidak menentu dan ditandai suasana perang dan penindasan dari penjajah membuat proses pendidikan di Seminari Tinggi harus mengalami beberapa kali perpindahan tempat.
- Pada tanggal 3 September 1938, pendidikan Seminari Tinggi diselenggarakan di Mertoyudan.
- Pada bulan Januari 1941 Seminari Tinggi berpindah ke Jl. Code ,Yogyakarta.
- Setahun kemudian, tepatnya tanggal 24 Januari 1942, Seminari Tinggi berpindah ke Girisonta.
- Tiga hari kemudian (27 Januari 1942), proses pendidikan Seminari dipindahkan ke kompleks Novisiat Suster-suster CB, Jl. Colombo 19 Yogyakarta.
- Tanggal 29 Juli 1944, Seminari Tinggi pindah ke Kompleks Asrama Boedi Oetomo di Sindunegaran Yogyakarta.
- Pada tanggal 10 Desember 1945, Seminari pindah ke Kolese St. Ignasius (Kolsani), Yogyakarta,
- Kemudian pindah lagi ke Jl. Code pada tanggal 20 Agustus 1952.
- Akhirnya, pada tanggal 6 Januari 1968, Seminari Tinggi Paulus menempati lahan yang luas di Kayen, Kentungan, Yogyakarta.
Pada zaman penjajahan Jepang, Seminari Tinggi St. Paulus Keuskupan Agung Semarang ini pernah ditutup oleh Pemerintah Kolonial Jepang. Para fratr calon imam lalu dititipkan di paroki-paroki untuk nyantrik sambil belajar teologi serta pastoral dari para rama paroki.
Muntilan, Bethlekem van Java
Pada tahun 1936 ada lima calon pertama yang memulai pendidikan mereka di Seminari Tinggi Muntilan dan disusul angkatan-angkatan berikutnya di tahun-tahun kemudian. Kota Muntilan mempunyai makna historis yang mendalam bagi pendidikan calon imam dan Gereja Indonesia.
Muntilan merupakan tonggak misi yang diwarnai oleh tiga pilar kekuatan, yaitu pendidikan, penghargaan terhadap budaya dan visi transformasi sosial. Rama F. van Lith SJ merintis karya misi untuk Tanah Jawa di kota Muntilan melalui pendekatan budaya dan karya pendidikan bagi kaum muda yang nantinya diharapkan mengemban misi transformasi kehidupan bangsa Indonesia.
Di kota Muntilan inilah seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang mencurahkan darah kemartirannya sebagai tanda bakti kepada Gereja dan masyarakat di tengah menjalankan perutusan untuk mendidik calon-calon imam pribumi untuk kepentingan penggembalaan Gereja.
Kota Muntilan tetap menyimpan semangat dan jejak-jejak misioner. Di kota ini didirikan pusat pengembangan pastoral dan misi Keuskupan, antara lain Pusat Animasi Misioner (PAM), Museum Misi Muntilan (MMM) dan Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (DKP KAS).
Di kota ini Rama F. van Lith SJ, Rama R. Sandjaja Pr, Bapak Kardinal Justinus Darmajuwana, dan banyak imam serta para pejuang iman Katolik bersemayam untuk selamanya.
Pada tahun 1942, empat calon imam diosesan pertama hasil didikan Seminari Tinggi ditahbiskan menjadi imam di Gereja St. Yusup Bintaran Yogyakarta. Keempat calon imam tersebut ditahbiskan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang sejak tahun 1940 telah diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang.
Mereka adalah Rm. Aloysius Purwadihardja (Keuskupan Agung Semarang dan berasal dari Paroki Wedi), Rama Hubertus Voogdt (Keuskupan Padang), Rama Simon dan Vincensius Lengkong yang keduanya untuk Keuskupan Manado.
Sampai dengan tahun 1968 tercatat 72 imam diosesan dari 10 Keuskupan di Indonesia: 54 limam Keuskupan Agung Semarang; 3 imam Keuskupan Manado; 4 imam Keuskupan Surabaya; 1 imam Keuskupan Amboina; 1 imam Keuskupan Agung Makasar; 2 Keuskupan Bandung; 2 imam Keuskupan; 3 Keuskupan Malang, 1 imam Keuskupan Agung Jakarta dan 1 imam Keuskupan Tanjungkarang.
Tahun-tahun berikutnya menyusul Keuskupan-keuskupan lain mengirimkan para fraternya untuk studi di Seminari Tinggi St. Paulus di Dusun Kayen, Kentungan, Yogyakarta. Yakni, Keuskupan Weetebula, Larantuka, Sintang, Sumba, Denpasar, Pangkalpinang, Sanggau, Ketapang, Padang, Atambua, Manokwari-Sorong, Medan, Merauke, Sibolga, Palembang, Ruteng, Jayapura, dan Timika juga mengirimkan calon-calon mereka untuk menjalani masa pendidikan di Seminari Tinggi St. Paulus. Tarekat religius Trappist OCSO dan tarekat CSsR serta OMI juga pernah mengirimkan calon-calon mereka untuk menjalani proses pendidikan di Seminari Tinggi.
Tantangan dan perjuangan mendidik calon imam
Selama 32 tahun, proses pendidikan calon imam di Seminari Tinggi mengalami masa-masa sulit, penuh tantangan, jerih payah dan perjuangan di tengah keprihatinan hidup masyarakat. Para pendahulu yang terus berjuang menyelenggarakan pendidikan Seminari Tinggi dan pelayanan para imam pendahulu secara jelas memberikan kesaksian bahwa Seminari Tinggi secara nyata menghayati dan memberi kesaksian tentang ketekunan, kesederhanaan, semangat berkorban dan siap sedia untuk diutus melayani Gereja dan masyarakat secara tulus dan jujur.
Di tengah perjalanan sejarah Gereja dan masyarakat Indonesia yang diwarnai berbagai tantangan dan keprihatinan, Mgr. PJ Willekens SJ menyampaikan pesan khusus kepada Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: “Apa pun yang terjadi, pendidikan imam harus berjalan terus, juga kalau karya-karya gerejani lainnya dilarang dan diambilalih”.
Pesan visioner tersebut mengobarkan semangat para pendidik dan calon-calon imam untuk menyelenggarakan proses pendidikan imam yang melahirkan imam-imam praja yang sederhana, tangguh dan mencintai pelayanan.
Rama Anton Soenarjo SJ (Provinsial SJ) memberi kesaksian bahwa “Sejak tahbisan pertama, rama praja sudah terbiasa dengan bermacam-macam kesulitan yang tidak mengizinkan munculnya rasa takut gagal atau putus asa. Apalagi satu di antara imam-imam itu secara mulia telah mempersembahkan hidup bagi imamat dan bagi imannya”.
Berdasarkan awal sejarah perjalanannya, Seminari Tinggi yang didirikan di Muntilan ini merupakan Seminari Tinggi Vikariat Apostolik Batavia. Sejak tahun 1940, lembaga Seminari Tinggi berada di bawah reksa pastoral Vikariat Apostolik Semarang.
Inter-diosesan
Empat imam tahbisan pertama menginkardinasikan diri pada tiga dioses berbeda menunjukkan secara kuat bahwa lembaga ini berciri inter-diosesan. Bahkan di dalam perjalanan selanjutnya, beberapa keuskupan yang lain dan kongregasi religius pernah menitipkan anggota-anggota mereka untuk mengalami pendidikan di Seminari Tinggi.
Seminari Tinggi Santo Paulus merupakan lembaga pendidikan calon imam yang mengembangkan wawasan panggilan, perutusan dan pelayanan untuk kepentingan Gereja yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada kepentingan Gereja Keuskupan Agung Semarang.
Dear Sir/madam,
Related to a historical research project, I would like to make a request to pater F. Hastop Rosariyanto form the Seminari Tinggi kentungan. is it possible to give his mailadress to me?
I am family of father F. van Lith (1862-1923), who was the founder of the mission in Eastern-Java.
Kind regards,
Jan-Willem van den Braak