“Kula namung pitados Gusti badhe paring margi lan rezeki kangge kula lan anak-putu kula … Kula dereng purun ngrepoti anak-putu. Saksaged-saged-e kula pados upa… kangge nyambung urip. Enjing dumugi siang angkat junjung, diparingi arto sak-ikhlase kangge tumbas wos lan kabetahan nggriya ”
Kata-kata itu menyentakkan hatiku…..menampar sisi terdalam hatiku. Mengoyakkan kesadaranku sebagai pribadi dan sebagai imam. Kata-kata indah, kata yang terlontar dari bibir kering seorang ibu renta, 75 tahun buruh gendong di Pasar Bringharjo Yogyakarta, berhiaskan keringat di sekujur tubuhnya. Sebuah ketulusan hati dan cinta seorang istri untuk sang suami Mardi Utomo (80 tahun), dan anak-cucu di Sentolo Kulon Progo.
Siang itu, pukul 10. 00 WIB, aku datang di Pasar Beringharjo membawa seribu pertanyaan, ketika mendapat pesan dari sahabat, untuk menyerahkan “berkat” bagi seorang nenek yang berprofesi sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku berjalan bertanya ke sana kemari, mencari seorang Ibu yang pernah ditayangkan dalam sebuah acara stasiun TV swasta.
Berbekal nama dan foto di Handphone, aku bertanya kepada koordinator pasar Beringharjo. Satu jam berjalan, aku dapat kabar, bahwa Mbah Waginah sedang bekerja “nggendong gawan”. Setelah ada informasi yang jelas, aku diantar Pak Sabaryanto Koordinator pasar, menemui Mbah Waginah. Dalam bayanganku, yang namanya buruh gendong itu adalah wanita kuat perkasa yang mampu membawa bekal berat. Masih bertenaga, energik.
Saat Mbah Waginah mendengar ada informasi “dicari orang” atau “ada yang mau ketemu” rupanya ada kesan ketakutan yang mendalam dan berusaha menghindar dariku. Saat itulah seorang ibu muda datang menuntun seorang nenek yang sudah bungkuk, berkaos kusam (gambar Megawati), kurus, renta, rambut putih beruban, kulit keriput, membawa jarik/kain dan dengan segala ketuaannya itulah Mbah Waginah Buruh Gendong itu.
Betulkah kenyataan ini? Benarkah ini? Apa mataku tidak salah? Mimpikah aku? Saat itu tak bisa dibendung, air mataku menetes meski sempat aku sembunyikan dalam saputanganku. Mengapa ada peristiwa ini? Tuhan mengapa ada ketidakadilan? Mengapa orangtua renta semacam ini masih harus bekerja. Mengapa orang setua ini, yang harusnya momong cucu sambil menikmati masa pensiun, menyiapkan surga namun masih harus banting tulang mencari uang untuk menghidup keluarganya? Mengapa?
Mbah Waginah aku tarik tangannya, aku ajak ke tempat yang sepi. Mbah Waginah tak berani menatap mataku.Perlahan aku memeluk pundaknya, merangkulnya. Aku perkenalkan diriku sebagai warga Kulonprogo (KTPku tertulis sebagai warga Kulonprogo). Aku merasakan ada kasih yang luar biasa di tempat itu. Suasana nyaman membuatnya tenang. Saat itu tak ada satupun kata yang muncul. Namun gerak dan sorot mata yang menerawang jauh perlahan membantuku untuk tahu lebih banyak darinya.
Istirahat di Pasar Beringharjo
Setiap hari, Mbah Waginah memulai aktivitasnya setelah bangun dari istirahat malamnya. Istirahat malam yang ia nikmati di lantai pendopo Pasar Beringharjo, dengan hanya beralaskan kardus bekas. Tempat seadanya, dalam balutan dingin malam, tak ada obat nyamuk, tak ada selimut tebal. Yang ada hanya harapan bahwa besok pagi akan semakin banyak orang membutuhkan tenaganya. Setiap hari ia bangun jam 04.00 WIB, kemudian berdoa, cuci muka dan mencari orang yang membutuhkan tenaganya, membawa barang belanjaan ke parkiran atau dari mobil pedagang sayur ke kios-kios.
Saat dua lembar ribuan pindah ke tangannya, dengan penuh syukur ia menyimpan di dalam kembennya. Ya, Rp. 2.000, untuk perolehan sekali mengangkut barang, atau Rp. 5. 000 untuk mengangkut beban 20-40 kg dari dalam pasar menuju parkiran mobil (500 m). Beban itu digendong dengan penuh ceria di sisa-sisa tenaganya. Ia tetap tersenyum di sisa-sisa kecantikan.
“Kula mburuh kangge nguripi keluarga” (red: saya menjadi buruh untuk menghidupi keluarga). Betapa berharganya uang Rp 2.000 bagi Mbah Waginah. Jam 07.00 WIB ia datang ke sebuah warung, untuk sarapan. Aku membayangkan sepiring nasi hangat, dengan lauk yang hangat. Teryata, “kula nggih sarapan tumbas teh anget. Rp. 500, niku sampun cekap”
Siang semakin panas, Mbah Waginah menanti “mangsa” di undhak-undhakan/tangga naik kios Pasar Bringharjo. Sambil berkipas-kipas dengan selendang lusuhnya. Saat siang makin panas, lapar menyerang, namun rupiah belum banyak terkumpul, Mbah Waginah datang ke warung makan. Bukan di Warung Steak, bukan di Bebek Goreng Slamet, bukan pula di Hartz Chicken, Jejamuran, Pringsewu, Mac Donald, KFC, dll, namun di sebuah warung kecil dengan memesan sebungkus nasi putih, sayur dan lauk tempe. Rp 3. 000 sudah bisa menyambung hidup memberi kekuatan untuk melanjutkan “tugas dan perutusannya”.
Setelah istirahat, dimulai lagi perburuannya mencari mangsa mendulang rupiah. Saat ada yang yang belanja banyak butuh tenaga buruh gendong, Mbah Waginah kadang kalah dengan yang buruh gendong muda, yang trengginas mencari mangsanya. Ia harus rela dan mengalah. “Padha-padha golek rejeki, kaya sedulur kabeh…” Terasa sekali eratnya persaudaraan di antara sesama buruh gendong.
Sore menjelang malam, 18.00 WIB saat pasar mendekati sepi penjual dan pembeli, Mbah Waginah siap-siap mandi di toilet pasar, siap-siap membeli makan malam. Rp 3.000 cukup untuk memberi bekal istirahat, menghimpun kekuatan di hari berikutnya. Setiap malam, sambil menatap atap pendopo pasar, Mbah Waginah berdoa untuk anak-cucunya.
“Mugi-mugi anak-putu kula saged manggih begja, ayem tentrem gesangipun. Dados migunani kangge tiyang sanes, tansah dipun berkahi Gusti sakdalan-sakmarginipun ”
Dalam hati saya mengucap “Mbah, ini sebuah doa yang sempurna. Tak ada dalam Kidung Adi, tak ada dalam buku Madah Bakti, Puji Syukur, tak ada dalam Brevirku. Mbah, mengapa tak meminta uang yang banyak, mobil mewah, rumah megah, jabatan, pangkat, ketenaran, dll. seperti yang banyak diminta dan dikejar banyak orang yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan?.
Bagi Mbah Waginah, kebahagiaannya ketika dua minggu sekali bisa pulang ke Kulon Progo, membeli beras, membeli lauk, bisa ‘nyangoni” putu itulah kebahagiaannya. Saat melihat senyum suaminya makan dengan nasi anget, lauk tempe, saat melihat cucunya memegang snak jajanan. Saat melihat cucunya berangkat sekolah, semua terasa indah. Beban beratnya menggendong beban 30 – 40kg tak terasakan lagi. Peluh itu hilang tersapu kebahagiaan keluarga besarnya.
Aku tak sanggup lagi bertanya-tanya. Bibirku beku. Aku memeluk dengan separuh tanganku. Aku usap peluhku di kening. Kuusap air yang menggenang di mataku, air mata bahagia melihat senyum Mbah Waginah, senyum keriput, mata sayu namun tatapan kebahagiaan itu terasakan sekali.
Pelan-pelan kurogoh amplop kecil di sakuku berisi uang Rp 1.5 juta. Kuletakkan amplop putih itu di tangannya. Sebuah pesan wasiat dari seorang sahabat untuk diserahkan pada Mbah Waginah.
“Mbah….sakniki Simbah kondur Kulon Progo nggih! Amplop niki titipan saking rencang kula caoske Simbah. Mugi dados berkah kangge brayatipun Simbah, nyuwun donganipun Mbah!”
Tak mampu aku melanjutkan kata-kata itu. Simbah menatapku sambil meremas amplop itu, tanganku dipegang erat, senyum lepas dan napas panjang menghiasinya.
Saat aku pamitan, berfoto sejenak, memeluknya erat. “Nyuwun pamit Mbah, maturnuwun sadayanipun, kula sampun dipun paringi tuladhaning gesang” Tak mampu aku melanjutkan kata-kata. aku ingin cepat berlari pulang ke Mlati.
Aku merasakan sebuah pelajaran iman, harapan dan kasih sejati. Iman yang hidup, saat keadaan apapun. Meski dalam perjuangan keras, ada pasrah pada Tuhan. Saat seharian tak ada rezekipun, selalu ada harapan bahwa besok pasti akan ada rezeki. Rezeki sudah di atur “Yang di atas”. “Gusti ora sare, mesti bakal paring berkah. Urip mung sadremo mampir ngombe”, Kata-kata Mbah Waginah itu selalu terngiang di telingaku.
Saat masuk Adven, sungguh sebuah keteladanan yang indah. Sebuah magic moment yang aku rasakan di penantian kedatanganNYa. Bukanlah kata-kata dari William Shakespeare, Mahatma Gandhi, Anand Krisna. Bukan pula kata-kata Pendeta, Kyai, Ustad, Romo, Uskup. Bukan pula kata-kata pejabat pemerintahan. Hanyalah kata-kata Mbah Waginah seorang renta buruh gendong pasar Beringharjo.
Ia tidak beragama Katolik , namun kata itu membawaku pada keteladanan iman yang tak ternilai harganya. Mbah Wagihan tak hanya mengatakan kata-kata itu. Mbah Waginah tak hanya kotbah, ceramah, namun ia menghidupinya. Kata-kata itu adalah hidup Mbah Waginah. Mbah Waginah tak hanya memberi contoh, ia menjadi contoh. Itulah hidup, keteladanan dalam tindakan.
Sebuah Refleksi:
Apakah aku sudah berani memiliki iman, harapan dan kasih yang mewujudnyata dalam hidupku, dalam seluruh ritme hidupku? Apa yang aku lakukan untuk menyambut Natal ini? Selamat merenung.
Keteladan justru sering kita dapatkan dari orang kecil, sederhana dan tidak sedikit yg termarginal…tetapi sikap kesehariannya justru memberikan gambaran nyata akan sebuah tanggung jawab, keluhuran budi dan cinta kasih.
Terima kasih atas sharingnya Romo Slamet …
Apa yg aku baca semoga bisa menjadikan teladan bagiku jg,itulah mengenal habitat hidup dari yg kecil demi sesuap nasi,demi cinta kasih anak demi mempertahankan hidup dalam kondisi apa pun hanya ingin mencapai hidup yg lebih baik dg pengorbananya akan dilalui dg penuh keyakinan,walau didunia kita miskin semoga kelak bagi yg sengsara menderita dll menghadapi dg sabar ikhlas suatu saat mendapatkan hidup yg abadi dan bahagia Tuhan selalu ada untuk kita,makasih Romo Slamet atas pengalamanya,sukses sll ya …………