KETIKA Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran dan staf kabinet RI kembali ke Jakarta pada tahun 1949, Sultan HB IX memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta yang dapat digunakan untuk membangun republik yang masih muda dan kocar kacir ekonominya akibat perang.
Pada saat upacara perpisahan dan memberikan cek itu, seorang raja Jawa, dalam sambutan di muka umum, mengakui kemiskinannya seraya mengatakan: “Yogyakarta tidak memiliki apa-apa lagi”.
Sultan tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘keraton’, tetapi mengatakan ‘Yogyakarta’, sebuah cerminan ‘manunggaling kawula Gusti’ (Bersekutunya rakyat dan raja), penghargaan atas orang-orang jelata yang telah ikut berjuang demi kemerdekaan, bukan hanya untuk Yogyakarta, tetapi untuk Indonesia.
Dalam suara yang bergetar dan uraian air mata, Soekarno berpidato pendek meneguhkan hal tersebut; “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”
“Apa yang akan terjadi dengan Republik, jika tidak ada Hamengku Buwono IX?”. Judul artikel Mohammad Roem menerangkan peran Sultan HB IX pada masa perjuangan kemerdekaan.
Hari ini Gereja merayakan Pesta Tahta Santo Petrus. Petrus diberi kuasa untuk memegang kunci Kerajaan Surga. Apa yang dilepaskan di dunia akan terlepas pula di surga. Tahta menunjukkan sebuah kuasa. Kuasa itu dipergunakan untuk keselamatan semua orang. Kuasa bukan untuk menindas tetapi untuk melayani.
Kuasa Petrus itu diwariskan kepada para uskup. Para uskup dibantu oleh para imam. Bagaimana para uskup dan para imam mengemban kuasa ini demi pelayanan kepada umat. Kalau tidak hati-hati kuasa ini bisa disalahgunakan.
Beberapa waktu lalu sepulang dari Uni Emirat Arab, 6 Februari 2019, Paus mengakui adanya kasus pelecehan terbaru. Vatikan sedang berusaha menyelesaikannya. Ada masalah korupsi, penyalahgunaan jabatan, dll.
Belajar dari Sultan HB IX yang menggunakan tahta untuk mengabdi rakyat, para pemangku hirarki gereja semestinya juga menggunakan kuasanya untuk mengabdi kepada umat, bukan sebaliknya. Sedikit-sedikit mengeluh, belum apa-apa minta mobil atau fasilitas, kecewa ditugaskan di daerah atau di luar keuskupan, merasa dipersulit dan masih banyak lagi litani lain. Orang seperti ini mau mengabdi atau mencari kenyamanan sih?
Dalam buku Quo Vadis? Petrus mau lari keluar kota Roma akibat penindasan Kaisar Nero. Ia berjumpa dengan Yesus di tengah jalan dan bertanya, “Quo vadis Magister?”
Yesus menjawab, “Mau memanggul salib lagi karena engkau lari dari salibKu”. Tahta bagi Kristus adalah salib. Mau larikah kita?
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” (Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidik)
Berkah Dalem,