SEORANG Rahib Eremit yang hidup di padang gurun pernah bertutur, “Godaan terbesar dari seorang manusia di dunia ini adalah ingin menyamai dirinya dengan Tuhan.”
Ada begitu banyak karya spektakuler yang telah dibuat oleh manusia dalam berbagai bidang kehidupannya dan terkadang sebagian manusia mengklaim, bahwa hasil karyanya tersebut bisa sejajar dengan yang diciptakan oleh Tuhan.
Contoh:
- Di dunia kedokteran zaman ini, orang bisa membuat bayi tabung dan bisa membuat kloning hewan.
- Di salon kecantikan, para dokter bisa memermak hidung pesek menjadi mancung, wajah keriput menjadi wajah baby, rambut keriting jadi lurus, kulit hitam jadi putih bahkan katanya bisa meremajakan tulang dan sel-sel yang sudah uzur dalam tubuh.
- Lagi-lagi, informasinya saat ini yang masih dalam tahap penelitian adalah usaha untuk meremajakan umur dan masih mencari formula anti kematian.
Kalau pasien yang sedang sakit dan membutuhkan tindakan operasi, itu secara etik memang harus diupayakan, tetapi kalau yang dibedah itu manusia normal dan dijadikan pasien dadakan hanya karena demi penampilan fisik ini yang disebut over normal alias genit-genitan.
Cuma satu kekhawatiran saya adalah, bagaimana kalau nanti ajal menjemput manusia yang genit-genit ini, apa Tuhan masih bisa mengenali mereka? Karena semua onderdil asli yang Tuhan ciptakan, sudah pada diganti dengan yang palsu di ruang bedah oleh para dokter yang mempermak mereka.
Jangan-jangan setiba di sana, ada yang kemudian bertanya: “Kamu ini siapa?”
“Aku Sinta, Tuhan, koq lupa sih?”
“Bagaimana Aku tidak lupa, habis kamu berubah dari Sinta jadi Sinting…”
Oleh Nabi Yeremia, orang-orang yang over normal atau genit-genitan ini, dikategorikan sebagai “ateis” (hidup tanpa iman kepada Tuhan). Dan kepada mereka yang hidupnya seperti itu, dikutuk atau dibinasakan.
Nasib hidup mereka di hadapan Tuhan akan seperti, semak bulus di padang belantara, hari-hari hidupnya akan menuai kesusahan, jiwanya akan mengalami kemarau dan sunyi senyap.
Sedangkan oleh pemazmur mereka yang over normal ini disebut sebagai orang fasik. Hidup mereka di mata Tuhan seperti sekam yang ditiup angin, tidak berbobot. (Bdk. Mzm 1:4).
Hal berbeda dengan orang yang mengandalkan Tuhan. Orang yang mengandalkan Tuhan seperti:
- Seorang yang sebelum bekerja, selalu berdoa meminta petunjuk dan penyertaan kepada Tuhan.
- Selesai bekerja, dia akan berterima kasih kembali kepada Tuhan.
- Ketika pekerjaannya berhasil, dia tidak menganggapnya sebagai hasil karyanya sendiri.
- Ketika pekerjaannya gagal, dia tidak menyalahkan siapa pun.
- Semua kekhawatiran, kecemasan, kebingungan dan ketakutan manusiawinya, dia limpahkan kepada-Tuhan.
- Dia paham bahwa Tuhan adalah pemberi solusi terbaik atas persoalan hidupnya.
Orang yang demikian, oleh Nabi Yeremia, disebut sebagai orang yang terberkati. Dengan kata lain, orang yang dicintai bukan yang “disintingkan”. Hidup mereka di hadirat Tuhan seperti pohon yang ditanam di tepi air, subur dan setiap musim selalu menghasilkan buah yang baik dan banyak.
Lagi-lagi, pemazmur menyebut mereka ini, orang benar. Hobi utama mereka ini, membaca dan merenungkan Taurat Tuhan, baik pagi maupun malam. Ia diibaratkan, “Seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mzm 1:3).
Dari uraian di atas, sudah cukup bagi kita untuk membedakan nasib orang ateis totalitas, yang sok-sok genit jadi ateis zaman now dan yang beriman kepada Tuhan tanpa embel-embel genit-genitan (apa adanya), di hadapan Tuhan.
Renungan: Dalam setiap kegiatan apa pun, apakah aku sudah menjadi bagian dari yang mengandalkan Tuhan atau yang mengandalkan diri sendiri?
Di hadapan Tuhan, apakah aku masih menjadi “Sinta” atau sudah berubah jadi “Sinting”?
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 21.03.2019