Lima Suster OSA Misionaris Belanda Merintis Karya: Belajar “Menjadi Orang Dayak” di Ketapang (3)

0
949 views
Suster misionaris OSA mencoba serius agar semakin bisa melibatkan diri dalam ritme hidup keseharian orang-orang Dayak di Ketapang. (Dok OSA/Repro MH)

KURUN waktu tahun 1949 hingga tahun 1950 adalah waktu yang teramat singkat bagi para suster OSA untuk mulai  merintis karya awal mereka di bidang kesehatan di Ketapang. Namun, nyatanya mereka telah berhasil menjadikan waktu yang sedemikian pendek itu untuk bisa secepat mungkin beradaptasi diri.

Lima suster muda OSA dari Nederland itu berusaha sekuat tenaga agar bisa mengikuti irama hidup orang Dayak dan lainnya di Ketapang yang mereka layani sehari-hari di RS Daerah Ketapang dan yang juga mereka jumpai di setiap sudut “kota” Ketapang waktu itu.

Usaha mereka “menjadikan diri orang Dayak” membuahkan hasil. Karena dalam setahun itu, mereka sudah merasa diri “nyaman” hidup dan bekerja di Ketapang.

Keberhasilan itu menjadikan mereka bahagia.

Suster misionaris OSA belajar bersosialisasi dan berteman dengan semua kalangan di Ketapang. (Dok OSA/Repro MH)
Pemimpin Umum Kongregasi OSA Moeder Sr. Agneta OSA melakukan kunjungan ke Ketapang menengok lima suster muda perintis misi OSA ke Ketapang, 20 Mei 1950. (Dok OSA/Repro MH)

Moeder Sr. Agneta OSA dari Heemstede di Nederland datang berkunjung ke Ketapang tahun 1950. Tampak dalam foto dia bersama seorang pastor Passionis. (Dok OSA/Repro MH)

Visitasi Pemimpin Umum Nederland

Kegembiraan yang membuncah itu dialami oleh kelima suster muda OSA –para perintis misi ke Ketapang—terlebih di bulan Mei 1950.  Persisnya tanggal 25, ketika Pemimpin Umum Kongregasi OSA Nederland, Moeder Sr. Agneta OSA, datang dari Negeri Belanda menjenguk mereka di Ketapang.

Moeder Agneta OSA sampai harus menyediakan diri dan waktu hampir sebulan lamanya tinggal di Ketapang. Dari situ, beliau lalu menjadi sadar diri bahwa keputusannya di akhir tahun 1948 untuk mengirim lima suster muda OSA demi merintis karya misi di Ketapang, Kalbar, itu jauh dari bayangan.

Semua aspek kehidupan di Ketapang di akhir tahun 1949 masih serba sulit. Terutama ketersediaan air bersih yang sangat minim. Juga tantangan alam berupa genangan air di waktu hujan dan banya nyamuk.

Para suster misionaris OSA dengan keluarga Dayak di Ketapang di tahun 1949-1950. (Dok OSA/Repro MH)
Bersama sebuah keluarga Dayak di Ketapang. (Dok OSA/Repro MH)

Agnes dari Randau

Sebut saja namanya Agnes.

Sama seperti mayoritas orang Dayak kebanyakan  yang suka memakai hanya satu kata sebagai identitas namanya, begitu pula nama gadis remaja Dayak asal Randau ini. Ia “hanya” bernama Agnes.

Selama kurun waktu tertentu mulai tahun 1952, Agnes yang berasal dari Randau ini memutuskan  tinggal bersama para suster Belanda di “pusat kota” Ketapang. Randau adalah nama  kampung  halamannya dan itu berlokasi di kawasan pedalaman di wilayah Hulu. Butuh waktu bisa sehari dari Ketapang untuk bisa mencapai Randau ini melalui aliran sungai.

Agnes, gadis Dayak dari Randau yang tinggal bersama para suster misionaris OSA di asrama Ketapang. (Dok OSA/Repro MH)
Agnes, gadis Dayak dari pedalaman Randau, yang ikut tinggal di asrama Susteran OSA yang mulai dibangun sejak tahun 1952. (Dok OSA/Repro MH)

Namun yang paling menjadikan para suster misionaris Belanda itu berbahagia adalah peristiwa kecil berikut ini.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Agnes, gadis asli Dayak dari Randau, ini akhirnya  menerima Sakramen Baptis di Ketapang. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here