SAAT perjumpaan yang pertama kali itu, saya sangat terharu dan hampir menitikkan air mata, namun bisa saya tahan.
Ya, melihat kondisi bapak tersebut yang sangat memprihatinkan. Fisiknya sudah tak kuat lagi. Badan membungkuk dan kalau berjalan harus memakai tongkat penyangga.
Ia tinggal di rumah tradisional di atas ketinggian bukit dengan ditemani isterinya bersama dengan lima anak yang masih kecil-kecil dan tidak bersekolah semua.
Hati siapa yang tidak miris menyaksikan semua ini?
Kami pun duduk di bebatuan yang ada di sekitar rumah itu, karena memang tidak mempunyai meja maupun kursi.
Rumah kecil itu dihuni oleh tujuh orang. Tidak ada kamar (los); satu buah rumah bulat untuk dapur dan kamar bapaknya saja.
Inilah kondisi yang sangat memprihatinkan .
Pak JT sebagai penerjemah sangat berjasa, karena tanpa kehadirannya, kami tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Meskipun Romo Sebast bisa berbahasa Dawan, namun untuk pendekatan ke masyarakat, kami tetap harus mengandalkan orang lokal yang sudah biasa keluar masuk kampung tersebut.
Kami tiba di lokasi itu sudah sore, maka kami pun langsung pada pokok persoalannya.
Pertama saya langsung mengatakan hal ini. “Apakah anak bapak ada yang bernama J?,” kata saya.
Bapak tersebut spontan menjawab demikian. “Anak perempuan saya sudah lama pergi ke Malaysia. Entah hidup atau sudah meninggal, saya tidak tahu. Itu karena sudah lama sekali,”
Langsung saya juga menunjukkan foto anaknya. Bapak TM itu pun menangis. “Iya ini adalah anak saya,” ungkapnya mengharukan.
“Namun apakah ia sudah meninggal atau masih hidup, saya sungguh tidak tahu,” lanjutnya bertanya.
Dan saya langsung menjawab. “Anak bapak masih hidup, namun sampai saat ini masih berada di Malaysia dalam keadaan sehat. Saya juga mengatakan, saat ini teman-teman masih berusaha untuk mengurus proses pemulangannya. Doakan saja ya Pak, semoga segala urusannya lancar dan cepat selesai.”
Dengan harapan yang pasti, Pak TM lalu mengatakan demikian. “Saya bersyukur bahwa anak saya “U” itu masih hidup dan nanti kalau pulang ke kampung, Suster harus antar anak saya kesini ya,” demikian pintanya.
Saya pun hanya bisa terdiam dan hanya bisa “menghibur diri” dengan tersenyum sendiri sembari mengangguk-anggukkan kepala. Bisa jadi, bahasa tubuh itu yang bisa saya ungkapkan sebagai “jawaban” sekaligus merupakan janji pribadi untuk memenuhi harapan keluarga TM.
Dengan modal iman kepercayaan pada Penyelenggaraan Ilahi, maka saya berani untuk mengatakan ya pada Bapak TM tersebut.
Tak lama waktu pun berlalu dan hari mulai gelap. Maka kami pun berpamitan pulang. Namun kami sempat ditahan dan diajak untuk makan malam dengan hidangan sederhana yang telah disiapkan oleh keluarga.
Tidak menunggu lama, kami pun menyantap makanan yang telah disediakan tersebut. Dan setelah makan akhirnya kami pun berpamitan dengan turun gunung dalam kegelapan menyusuri jalan yang terjal dan berliku.
Saat kami sudah tiba di perkampungan, tiba-tiba saja terdengar teriakan Bapak Yohanis Missa dari atas bukit dengan lengkingannya yang keras.
Saya spontan tanya kepada Pak JT. “Pak, suara apa itu? Kok mengerikan?”
“O itu Suster, suara Bapak TM yang sedang mendoakan kita agar kita selamat sampai tujuan.”
Memang saat itu, cuaca agak mendung gelap dengan kondisi jalan yang kurang bersahabat. Maka dengan perasaan was-was, saya dalam hati juga memanjatkan doa agar perjalanan lancar dan diberikan cuaca yang baik.
Selama hampir dua jam kami berjalan dalam doa dan akhirnya kami pun berhasil tiba kembali ke Paroki Oenlansi dengan selamat sekitar pukul 21.00. Dan kami pun makan malam bersama. Setelah itu. dalam kelelahan kami pun beristirahat.
Esok harinya, kami pun bersiap-siap pulang ke Kupang.
Romo Sebast mengantar kami ke Paroki Niki-niki dan akhirnya kami pulang menuju Kupang.
Setelah kunjungan, saya menjalin kontak Pak Timo bagaimana perkembangan kasus J. Namun belum ada kabar sama sekali dari KBRI di Kuala Lumpur.
Dengan doa dan usaha yang bisa dilakukan, maka saya minta bantuan Mbak Among dari IOM dan teman jaringan yang lain. Saat Mbak Among melakukan kunjungan ke Kuala Lumpur, ia sempat menyinggahi shelter KBRI dan mengatakan bahwa tidak menemukan yang namanya J.
Maka saya mulai ragu. Apakah anak ini masih hidup?
Namun saya tidak putus asa dan mencoba lagi bertanya Romo Perno yang saat itu sedang mengadakan kunjungan ke Malaysia.
Hati saya dibuat lega, ketika dalam persinggahan mengunjungi shelter KBRI, ia mengaku bertemu dengan J.
Menurut ceritanya, kondisinya remaja itu masih kurang baik dan masih perlu pendampingan sebelum bisa dan layak dipulangkan ke Indonesia. (Berlanjut)