PADA bulan tanggal 9-10 Maret 2019, saya mengikuti pertemuan CWTC-IBSI di Duren Sawit. Saya malah bertemu Mbak Among dari IOM (International Organization for Migration) dan para suster dari Kongregasi berbeda-beda yang sama-sama menjadi peserta pertemuan tersebut.
Dalam kesempatan itu, saya berkisah tentang kasusnya J.
Saya pun lalu berani mengatakan bahwa J itu masih hidup. Itu karena Romo Perno sempat melihatnya memang berada di shelter KBRI dan Romo melihatnya hanya dari kejauhan.
Mbak Among menyarankan saya segera melakukan korespondensi dengan KBRI di Kuala Lumpur. Sebelum bersurat, saya mendapatkan kabar dari Pak Timo bahwa tanggal 25 Maret 2019 lalu di waktu siang, J akhirnya berhasil pulang kembali ke Indonesia dan tiba mendarat di Kupang dengan pesawat Garuda.
Pada jam siang dan dengann pesawat yang sama, ikut datang juga beberapa peti jenasah PMI. Saya pergi mendatangi ke bagian kargo bandara mengecek situasi. Setelah selesai urusan, saya langsung berkoordinasi dengan Pak Timo. Maka kami pun bertemu di kantor.
Syukur pada Allah, akhirnya bertemu juga dengan gadis pekerja migran bernama J yang telah dikabarkan hilang selama 14 tahun itu. Ia pergi merantau ke Malaysia saat masih anak dan kini sudah menjadi gadis menjelang dewasa. Ia tampak dalam keadaan sehat, meskipun saya amati dia agak bingung. Bisa jadi juga, karena kami belum pernah saling kenal dan bertemu pandang.
Sebelumnya, saya sempat berkoordinasi melalui telepon dengan LT, seorang relawan dari TTS yang berhasil menghubungkan saya dengan keluarga J. Dan saya pun sempat telepon juga dengan kakak kandungnya J yang di Kupang, sehingga kami berjumpa di kantor untuk menyambut kedatangan adiknya.
Bayangan saya, saat itu adalah perjumpaan yang penuh haru dan air mata kebahagiaan. Namun pemandangan yang seperti itu tidak bisa saya saksikan, karena memang demikian adanya. Detik-detik saat perjumpaan antara adik dan kakak kandungnya itu terjadi begitu saja tanpa ada luapan emosional seperti biasanya.
Berjabat tangan seperti orang asing yang baru saja bertemu.
J berhasil pulang dengan membawa hak-haknya sebagai seorang pekerja migran yaitu hasil jerih payahnya selama 14 tahun berkat bantuan dari KBRI.
Hasil yang diperolehnya selama 14 tahun ini berupa sejumlah uang yang tersimpan di rekening bank. Sedangkan uang cek yang dibawanya ada sekian juta plus perhiasan dari emas (kalung, gelang,emas batang dan gelang).
Menurut keterangan Pak Sabda dari KBRI Kuala Lumpur, J sering diajak majikan yang “baik” pergi ke Hong Kong dan Jepang. Di situlah, J lalu membelanjakan gajinya untuk membeli perhiasan emas tersebut.
14 tahun bukan waktu yang sedikit dalam sebuah perjuangan hidup dan saat melihat reaksi J perihal kedekatannya dengan petugas KBRI yang mendampinginya itu kok sangat berbeda. J terlihat sedih saat acara penyerahan dirinya kepada BP3TKI. Ia sempat menangis dan berpelukan sangat erat.
Menjadi pertanyaan bagi saya yang masih harus digali lebih teliti .
Pada keesokan harinya, kami pun mengurus pemindahan uangnya dari Bank Muamalat ke rekening BRI dengan rekomendasi BP3TKI agar yang bersangkutan dapat melakukan transaksi tersebut. Setelah selesai urusan dengan bank, kami pun bersiap-siap melanjutkan misi kami yaitu menghantarkan J pulang ke kampung halamannya.
Perjalanan menuju Paroki Oenlansi ditempuh dalam waktu empat jam. Maka kami pun tiba di Paroki Oinlansi pukul 16 sore tepat, dan disambut oleh Romo Sebast Kefi selaku Pastur Paroki Oinlansi .
Sebenarnya kami akan melanjutkan perjalanan langsung menuju Desa Kaileu, namun karena cuaca kurang mendukung dengan medan yang sangat berat maka kami berunding dengan Romo Sebast dan diputuskan untuk bermalam di paroki dan pagi harinya baru perjalanan di lanjutkan.
Keesokan harinya kami awali hari yang baru dengan mengikuti Perayaan Ekaristi agar mendapatkan kekuatan yang baru baik, rohani dan jasmani. Perjalanan menuju desa tersebut ditempuh dalam waktu tiga jam dengan medan yang terjal dan berliku-liku. Perjalanan ini dipimpin oleh navigator yang sudah andal dan menguasai medan yaitu Romo Sebast Kefi.
Pukul 09.30 kami pun tiba di perkampungan Kaeliu dan siap untuk mendaki sebuah bukit di mana Bapak Thomas Missa tinggal. Di kaki bukit itu, kami disambut oleh sanak-saudara J dengan isak tangis kebahagiaan. Selanjutnya, kami siap melanjutkan perjalanan untuk naik ke bukit tersebut.
Dengan nafas terengah-engah… akhirnya tiba di atas bukit. Kami disambut oleh isteri dan adik-adik J.
Bapak TM tinggal bersama isterinya lima 5 anaknya yang masih kecil-kecil. Namun saat tiba di halaman rumahnya, Pak TM itu tidak tampak karena sedang sakit. Kakinya bengkak dan tidak dapat berjalan dengan baik. Ia berada dalam “rumah bulat” yang sangat sempit.
Saat itu, J malah tidak mau masuk ke “rumah bulat” tersebut. Karena itu, saya paksa dia masuk rumah dan akhirnya kami pun memasuki rumah tersebut.
Dalam rumah adat TTS itu, kami berdialog secara singkat dalam bahasa daerah dan akhirnya dengan perjuangan Bapak TM akhirnya mau keluar untuk menemui kami.
Di halaman yang sangat sederhana kami berkumpul untuk acara penyerahan dari pemerintah ke keluarganya.
Beralaskan tikar kecil dan bebatuan yang ada di sekitar pondok tersebut,penyerahan dilakukan dengan sangat sederhana.
Dalam peristiwa yang sangat unik dan langka ini diawali penandatanganan berita acara dari BP3TKI. Dan saat itu kami bingung untuk mencari meja sebagai alas dengan spontan saya membungkukkan badan memberikan diriku untuk dijadikan meja untuk digunakan untuk “Cap Jempol” Bapak Thomas Missa dan tanda tangan J. Akhirnya penyerahan anak ke bapak kandungnya secara resmi selesai.
Setelah itu kami bersantap siang dan bersyukur bersama keluarga tersebut. Dengan kesederhanaan keluarga ini menjamu kami berupa hasil kebun yaitu buah pisang luan yang direbus, buah Jeruk Bali yang sangat segar untuk melepas dahaga.
Saya sadar bahwa waktu 14 tahun bukanlah waktu yang singkat. Ditambah dengan beban berat saat ia harus meninggalkan kampung halamannya serta beban pekerjaan yang harus dipikulnya tanpa gaji selama 14 tahun.
Waktu berjalan mengalir begitu saja tanpa tujuan jelas. Yang pasti, harus kerja dan harus kerja.
Tidak seperti lazimnya orang merantau bertahun-tahun, maka kalau pulang ke kampung halamannya pasti akan merasa senang dan bahagia serta menangis karena terharu. Namun, dalam kisah ini hal itu tidak terjadi sama sekali.
Saya jadi bingung dibuatnya, apakah karena tekanan pekerjaan sehingga lupa untuk bersedih dan lupa bagaimana caranya menangis?
Kadang aku tak mengerti jalan-Mu, tapi ini kurasakan dan kualami, dengan keterbatasan dan ketidakberdayaanku Engkau memberikan kekuatan padaku untuk keluar dari “zona nyamanku” pergi dengan suka cita merangkul kehidupan yang terancam.
Mereka membutuhkan uluran tangan-Mu yang kuat .
Engkau yang selalu setia menemukan cara tak pernah salah selalu memberi daya, inspirasi, merengkuh, memberi kekuatan, semangat.
Di saat aku merasa aman, Engkau mengajakku keluar dari zona nyaman. Dengan sukacita aku pun pergi meretas batas, mengikuti jejak-jejak-Mu yang tak pernah lelah, kujumpai anak-anak Gereja yang terluka dan teraniaya agar bisa bersama-Mu aku bisa datang menjadi hati-Mu, tangan-Mu, kaki-Mu, dan mata-Mu. Amin
Salam Solidaritas
Kupang, 3 April 2019
Sr. Laurentina PI