RITUAL iman selama Trihari Suci di Stasi Konga itu akan dimulai dengan apa yang biasa disebut “Rabu Trewa”. Prosesi ritual iman ini akan berakhir sampai pada hari Minggu Paskah yang menurut tradisi orang lokal di Desa Konga sering disebut Ari Bae yang artinya “Hari Baik”.
Kekhasan perayaan dan tata upacara prosesi ini memang unik dan hal ini sangat terkait erat dengan kebiasaaan orang Portugis di zaman abad ke-16. Tidak jelas sebenarnya, sejak kapan secara historis upacara prosesi ritual iman yang sangat khas ini awalnya dimulai dan kemudian dipraktikkan di Konga sedari awal hingga sekarang ini.
Namun secara umum sudah dapat dipastikan bahwa misi para misionaris Katolik dari Portugis itu memang pernah masuk ke Konga. Dan misi Katolik dari Eropa ini terjadi mulai abad ke-16.
Tradisi Ari Bae ini lalu diterima sebagai suatu warisan prosesi devosi iman.
Saya bersyukur bahwa pernah bisa mengikuti prosesi perayaan iman di Desa Konga ini secara dekat. Apalagi tidak terlalu banyak jumlah peziarahnya seperti yang biasa terjadi di Kota Larantuka.
Penulis memang sengaja memilih tempat ini.
Selain demi misi kunjungan keluarga kolega suster PI yang aslinya berasal dari daerah Konga, kami ingin sekalian bisa mengikuti prosesi ritual iman bernama Samana Santa di Desa Stasi Konga.
Rabu Trewa
Prosesi besar itu diawali dengan Rabu Trewa.
Pada hari itu, segenap umat Katolik lokal telah menyiapkan segala sesuatunya yang nantinya diperlukan untuk perayaan prosesi. Itu antara lain dari mulai memasang turo yaitu tempat untuk pemasangan lilin dan pembuatan armida sepanjang jalan yang akan dilalui untuk prosesi.
Namun dalam praktiknya, pemasangan turo dan armida itu sudah dilakukan pada hari Selasa atau sehari sebelum datangnya Rabu Trewa.
Mengapa demikian?
Ini karena acara pada hari Rabu akan menjadi sangat padat. Kalau dilakukan pada hari Rabu-nya, maka hal itu malah akan bisa mengganggu ibadat lamentasi (ratapan) yang biasanya berlangsung pada malam Rabu Trewa tersebut.
Setelah itu, barulah masuk Hari Kamis Putih.
Pertama-tama yang dilakukan adalah prosesi upacara memandikan dan mengenakan pakaian patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan patung Tuan Ana. Keduanya patung itu telah diletakkan secara terpisah di Kapel Tuan Ana dan Kapel Tuan Ma.
Upacara ini dilakukan secara tertutup oleh Confreria. Uniknya, yang memandikan patung Tuan Ma dan Tuan Ana adalah semuanya kaum pria.
Patung Tuan Ana diletakkan di dalam sebuah kotak semacam peti jenasah. Kita tidak dapat melihatnya, karena patung itu telah ditutup dengan kain hitam.
Berkhasiat menyembuhkan
Ini antara percaya dan tidak percaya. Yang bisa penulis lihat adalah air bekas untuk memandikan patung ini konon katanya selalu memiliki “kekuatan tersendiri” bagi orang-orang yang percaya.
Beberapa masyarakat asal Desa Konga yang sudah lama hidup merantau maupun yang masih tinggal di Konga sangat mempercayai hal itu. Mereka sangat meyakini, air bekas memandikan patung Tuan Ma maupun Tuan Ana akan bisa menyembuhkan penyakit.
Ada juga yang memberi kesaksian.
Seorang ibu yang lama sudah menikah dan tidak mempunyai anak merasa terbantu setelah minum air tersebut.
Saya sempat berbincang dengan beberapa ibu-ibu pekerja migran asal Konga yang pernah merantau bekerja di Malaysia dan Kalimantan Utara (Tanjung Selor).
Setiap tahun, mereka ini selalu menyediakan waktu dan uang agar bisa pulang ke Desa Konga. Tujuannya antara lain hanya untuk bisa mengikuti prosesi ritual iman dan mengambil air bekas memandikan patung Tuan Ana dan Tuan Ma dan kemudian bisa membawanya “pulang” ke tempat perantauan.
Ini sudah menjadi semacam kepercayaan yang turun-temurun dan itu hidup di hati semua anggota masyarakat lokal di Konga.
Setelah acara memandikan patung Tuan Ma dan Tuan Ana, maka para petugas yang disebut Denga Deo –semuanya nggota Confreria– akan membuka pintu kapel tersebut. Mereka mempersilahkan para peziarah umum yang mempunyai devosi untuk bisa masuk.
Selama pintu kapel dibuka, maka akan dinyalakan lilin di depan patung Tuan Ma dan peti jenasah Tuan Ana.
Di situlah maka para peziarah lalu diizinkan boleh mencium patung tuan Ma dan peti jenasah Tuan Ana. (Berlanjut)
Editor: Mathias Hariyadi