PUNCAK kesempurnaan metamorfose ada pada kupu-kupu. Wujud mengerikan berupa ulat, yang suka menghancurkan dedaunan dan, kadang, dianggap sebagai hama.
Gigi setajam silet selalu siap memamah dedaunan, tanpa henti. Bila berbulu, bulu terasa gatal, panas, bahkan dapat membuat iritasi di kulit manusia.
Wajar, jika didengar ungkapan, wong kae pancen dadi uler.
Ungkapan orang itu hanya menjadi ulat saja di sini mencerminkan watak seperti ulat.
Mempertontonkan watak: menghancurkan, intoleran, menang sendiri, rakus, gelojoh, pongah. Tiada setitik pun kebaikan.
Ungkapan Jawa mungkin cocok ireng thuntheng, gelap segelap-gelapnya.
Tetapi, ternyata, selalu ada momentum khusus dianugerahkan atas kerahimanNya. WajahNya bukan wajah garang, suka menghukum, tetapi wajah yang penuh belas kasih, misericordiae vultus.
Momentum itu datang untuk menatap Wajah penuh belas kasih.
Menangkap momentum, si ulat, yang jahat, menggulung diri. Menutupi seluruh diri, badan dan jiwa dengan benteng benang halus kokoh. Ia menutup diri, mencari dan menghidupi keheningan dalam kepompong.
Tak tahu bagaimana dibentuk dan dipintal oleh Sang Wajah penuh belas kasih. Ia berubah rupa.
Pada saat yang ditentukan, yang buruk, jahat, rakus, penghancur, berubah menjadi indah. Elok dipandang dengan kepakan sayap di pagi hari. Berwarna warni.
Kupu-kupu.
Tak lagi ada yang merasa takut, bunga membiarkannya hinggap untuk disesap madunya; serbuk tertempel di kaki dipindah ke bunga lain untuk menjadi biji.
Seperti metamorfose kupu-kupu, puasa dianugerahkan sebagai momentum untuk menggulung diri, masuk dalam kesunyian dan keheningan. Lalu, menatap WajahNya yang berbelas kasih dan pengampun. Membiarkan diri diubah olehNya.
Sebelum lupa, metamorfose dicomot dari kata Yunani kuna: metamorphoo: to change into another form, to transform, to transfigure.
Salam menyambut Ramadhan dari Stasiun Pasuruan, Jatim.
03.05.2018. bm-1982.
ac eko wahyono