Edmund Nantes OP: Pastor Dominikan Pecinta Seni Kontekstual Budaya Dayak (1)

0
1,021 views
Father Nantes OP, Pastor Dominikan pecinta seni kontekstual Dayak dalam kesempatan Misa Imlek di Gereja Katedral St. Yoseph Pontianak, awal Februari 2019. (Sr. Maria Seba SFIC)

TERLAMPAUI sudah kurun waktu selama 10 tahun, Pastor Edmund Nantes OP tinggal di lingkungan Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia yang terletak di Siantan-Pontianak, jantung Tanah Borneo di Kalimantan Barat.

Imam religius anggota Ordo Dominikan ini berasal dari Filipina. Ia mulai menginjakkan kakinya pertama kali di Borneo untuk sebuah misi, yakni menjadi formator bagi para calon imam diosesan (praja) lintas Keuskupan se-Regio Kalimantan.

Karya penting di bidang formatio (pendidikan dan pembinaan) yang dia lakukan di Seminari Interdiosesan Antonino Ventimiglia itu terjadi, sejak dia didapuk resmi sebagai formator mulai tahun 2006.

Lazimnya setiap imam yang ditugaskan untuk berkarya sebagai formator di rumah pendidikan dan pembinaan calon imam di mana pun –terlebih di Seminari  Tinggi— maka tugas macam itu boleh dibilang tidak enteng. 

Ada tanggungjawab besar di pundaknya. Dari tangannya itu pula akan lahir para imam muda yang diharapkan berkualitas “luar-dalam”: berbudi baik, andal dalam kerasulan, dan juga mumpuni serta tidak “manja”.

Di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonina Ventimiglia itulah, Pastor Nantes OP sehari-hari terlibat aktif dalam komunikasi dan hidup bersama dengan para frater calon imam diosesan dari 8 Keuskupan se-Regio Kalimantan, yakni:

  1. Keuskupan Agung Pontianak.
  2. Keuskupan Ketapang.
  3. Keuskupan Sintang.
  4.  Keuskupan Sanggau.
  5. Keuskupan Palangka Raya.
  6. Keuskupan Agung Samarinda.
  7. Keuskupan Tanjung Selor.
  8. Keuskupan Banjarmasin.

Hidup bersama di asrama kaum lelaki calon imam yang tugas utamanya adalah studi Filsafat dan Teologi tentu tidak banyak dinamika hidup sosial yang terjadi di sini. Yang ada adalah ritme hidup harian yang rutin.

Rutinitas itu menjemukan. Namun, pada sisi lain, hidup di asrama para frater calon imam juga membutuhkan “daya tahan” sendiri. Yakni, mampu hidup disiplin ketat, membiarkan hari-harinya “diatur” oleh bel, terikat oleh “aturan bersama”.

Wisma Paulus di Kompleks Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia di Siantan-Pontianak, Kalbar.

Justru di tengah ketatnya rutinitas hidup yang tidak “biasa” itulah, Pastor Nantes OP malah bisa menyikapinya secara rileks meski juga serius. Inilah pola keseimbangan hidup yang saling “sinergi” bagi imam asal Filipina yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini.

Jiwa seni

Di sela-sela kegiatan utamanya  sebagai formator di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Pastor Bonus, imam yang akrab disapa Father Nantes ini masih menyisakan waktu dan atensinya untuk terus “membakar” passion-nya di bidang seni.

Yang dia hidupi adalah semangat mencintai seni budaya Dayak kontekstual  khas Kalimantan Barat di mana selama 10 tahun terakhir ini dia tinggal. Kecintaannya akan dunia seni itu akhirnya mengantarkanya bisa berkreasi memoles beberapa spot sentral bangunan seminari. Itu dia kerjakan dengan melakukan polesan seni bernuansa budaya Dayak kontekstual.

Pastor Edmund Nantes OP menjadi formator di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia di Siantan-Pontianak, Kalbar, dengan tanggungjawab membina para frater calon imam diosesan untuk seluruh Keuskupan di Kalimantan. (Ist)

Sinergi antara bakat dan cinta seni

Di sinilah, gabungan sinergis bakat dan hasrat di dunia seni Father Nantes itu makin mewujud diri secara intensif.

“Kata kuncinya adalah mengkontekstualisasikan budaya dengan agama. Seminari Tinggi ini bukan hanya untuk wilayah Provinsi Kalbar saja, tetapi seluruh Regio Kalimantan. Oleh karena itu, saya harus menghormati budaya lokal terlebih dahulu, supaya para frater di mana pun mereka itu berada agar selalu bisa feel at home,” tegasnya dengan kalimat bertenaga penuh intonasi.

Darah seni yang kini mengalir di tubuhnya serta melekat erat dengan dirinya itu bukanlah hasil proses karbitan. Pengalaman berjibaku mempelajari nilai seni dari berbagai budaya itu telah dilakoninya bertahun-tahun.

“Ini bukan sim silabim, langsung jadi you know, namun butuh waktu dan mengalami proses,” ungkapnya dengan nada dialek campuran Indonesia-Tagalog.

Salah satu konsep Bunda Maria dan Yesus model sentuhan seni khas Dayak yang menjadi inspirasi P. Nantes dalam mengkontekstualkan bakat seninya.

Ruang kreatif

Father Nantes OP saya temuidi ruangan ‘samadi’ yang penuh pajangan koleksi suvenir dari berbagai budaya. Di ruang inilah, ia biasa mendesain sketsa di atas kertas. 

Ruang ini bisa jadi cerminan. Di situ terjadi kerapian dan kebersihan. Semua berada pada tempatnya. Demikian kesan saya saat diajak masuk ke ruang samadi oleh imam yang menerima tahbisan imamatnya pada tanggal 25 Maret 1981.

Bincang-bincang bersama Father Nantes di hari Minggu pagi itu diwarnai dengan suasana santai, sesekali disertai gelak tawa. Pembawaannya yang humoris, supel, ramah, lincah meski sudah menginjak usia sepuh, membuat saya kerasan untuk mendengarkan kisah tentang perjalanan panggilannya menjadi seorang Dominikan.

Juga, bagaimana ia menemukan bakat seninya yang pada akhirnya menyediakan diri pergi  bermisi ke Tanah Borneo dan kemudian menjadi Rektor sekaligus formator di Seminari Interdiosesan Antonino Ventimiglia. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here