Demi Membangun Bangsa, Pemimpin Butuh Mendulang Suara

0
205 views
Seruan moral Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo tentang Pemilu tanggal 17 April 2019: Ayo memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. (Ist)

HINGAR bingar kehidupan pasar sangatlah menarik. Seorang penjual menawarkan dagangannya sesuai dengan ketersediaan barang yang ada di sana, sehingga terjadilah  komunikasi dan transaksi antara penjual dan pembeli.

Hingar bingar dalam kehidupan politik pun demikian. Di sana terdapat suatu visi dan misi dari setiap kandidat yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau pun sebagai calon petinggi negara.

Visi dan misi yang ditawarkan kepada masyarakat inilah yang menjadi barometer masyarakat untuk dapat memilih secara LUBER dalam pemilihan yang sudah berlangsung pada tanggal 17 April 2019 lalu. Pada Pemilu yang baru lalu itu, BAWASLU bertanggung jawab menjadi Badan Pengawas Umum terhadap keberlangsungan pemilu 2019.

Salah satu hal yang diantisipasi dalam pemilihan umum beberapa waktu lalu itu  adalah agar tidak terjadi jual beli suara. Praktik transaksi jual beli suara ini memang sering kita dengar pada setiap pemilihan umum,  seperti yang ditulis oleh surat kabar Tempo.co, edisi 17 April 2019 yang menulis:

 “….menemukan adanya kasus dugaan politik uang (jual beli suara) dalam Pemilu  2019.  Kejadian ini terjadi sebelum di lakukan pencoblosan (masa tenang). Barang buktinya berupa 48 amplop masing-masing berisi uang pecahan Rp 25 ribu, Rp 20 ribu, Rp 100 ribu, dan ada yang berupa sembako”.

Dari kasus ini, pihak BAWASLU berusaha keras menanganinya.

Kurang paham UU

Terjadinya praktik jual beli suara dalam Pemilu ini disebabkan, karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Masyarakat yang merasa diperhatikan oleh kandidat tertentu lalu menerima bantuan berupa uang, sembako atau pun barang lainnya, terlebih bagi mereka yang memiliki ekonomi rendah.

Ada pula yang menganggap bahwa tidak boleh menolak rejzeki yang diberikan oleh orang lain.

Hal ini memicu adanya kesempatan bagi mereka yang berkehendak ingin membeli suara dalam pemilu.

Kesempatan ini digunakan supaya masyarakat tidak melihat visi dan misi dalam setiap kandidat, namun masyarakat lebih berfokus pada apa yang dijanjikan untuk diri mereka sendiri.

Hal ini di sebabkan karena semakin banyak persaingan antar kandidat dalam pemilu, dan pula kursi yang disediakan terbatas, sedangkan yang mendaftarkan diri pada pemilihan ini lebih banyak, maka praktik jual beli suara masih bisa terjadi.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa  semakin tinggi pohon, maka tiupan angin semakin kencang. Maka, begitu juga kehidupan ini. Semakin tinggi kedudukan suatu kursi maka persaingan akan semakin ketat.

Untuk dapat memduduki kursi tersebut, hendaknya kita berusaha keras, dengan apa yang kita kerjakan, kita perbuat dan kita lakukan sehingga orang lain yang melihat kita setidaknya terkesan dengan tindakan kita.

Hal ini merupakan kesaksian hidup dan juga salah satu promosi atau iklan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Masa depan bangsa Indonesia ini ditentukan oleh suara rakyat, seperti yang terjadi pada saat pesta demokrasi tanggal 17 April 2019 kemarin. Di situlah, masyarakat diberi kebebasan memilih pemimpin.

Dengan berbekalkan iman, kita diharapkan dapat memilih dengan jujur dan damai. Kedewasaan dalam berpikir akan menuntun untuk melihat siapa kandidat yang layak menduduki kursi.

Mari membangun bangsa Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here